'Khilafah' Din Syamsuddin yang Kehilangan Konteks
Cari Berita

Advertisement

'Khilafah' Din Syamsuddin yang Kehilangan Konteks

Duta Islam #02
Kamis, 04 April 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto atas: demo HTI di Jakarta. Bawah: teroris di Suriah kibarkan beberapa bendera, Ahrar Al Sham, FSA, dan Al Nusra. Samping: screenshot web HTI th 2014. (ket. Dina Sulaeman)
Oleh Dina Sulaeman

DutaIslam.Com - Salah satu tips penting agar kata-kata Anda berdampak pada audiens: katakan/tulislah sesuatu yang ada konteksnya. Dengan kata lain, hantarkan tulisan dengan konteks yang langsung nyambung dengan audiens.

Misalnya, ibu ingin menasehati anak agar rajin belajar. Nasehati ia saat ada konteksnya, misalnya si anak sedang tergila-gila pada Gundam dan ingin sekali bisa kuliah di Jepang. “Belajar yang rajin dari sekarang, biar dapat beasiswa!”

Sebaliknya, penulis/pembicara pun harus menyadari bahwa audiens akan menangkap perkataan mereka sesuai dengan konteks yang ada. Jangan salahkan kalau tulisan Anda ditangkap berbeda, karena Anda yang tidak sadar konteks.

Contohnya, ada seorang ustadz 212 yang baru-baru ini saja bicara soal jahatnya hoax. Dia juga menyeru kedua kubu baik 01 dan 02 jangan saling ejek atau saling hina. Dia kasih nasehat soal akhlak, dan bahwa perilaku para politisi sekarang ini merupakan pelanggaran atas ayat 11 dan 12 surah Al-Hujurat. Well, perkataannya bagus. Tapi konteksnya sudah telat.

Kemana saja dia, ketika ada kemarin-kemarin ada hoax-hoax jahat tersebar? Setahu saya, dia tidak memberi komentar soal hoax penganiayaan RS atau hoax 7 kontainer.

Akibatnya, kata-katanya yang baik dan benar itu “ke laut aja”, tidak berdampak pada audiens, bahkan diolok-olok.

Nah, soal khilafah. Ini terkait kasus Prof Din Syamsuddin. Awalnya beliau membuat press-release soal “khilafah itu ajaran Islam, jangan benturkan dengan Pancasila”.

Dalam ‘ruang kosong’, perkataan beliau sangat bagus didiskusikan, “Khilafah mana yang antum maksud Prof?”

Saya pernah berada satu forum dengan beliau (2011). Saat itu juga ada Dubes Iran untuk Indonesia. Kami tertawa-tawa berkat joke Prof Din yang amat jenaka, dalam bahasa Inggris fasih. Saya simpulkan, Prof Din bukanlah seorang radikalis.

Apalagi beberapa hari setelah press-release yang menghebohkan itu, beliau menjelaskan panjang lebar apa khilafah yang beliau maksud dan menurut saya itu pemikiran yang brilian (istilahnya: khilafah cultural-civilizational).

Problemnya adalah: pernyataan pertama Prof Din itu ditangkap publik dalam konteks pilpres (dan ini tidak salah, karena memang pernyataan Prof Din terkait pilpres).

Dalam konteks pilpres, sulit untuk ditepis, saat bicara khilafah ya maksudnya HTI. Apalagi press-release itu juga langsung dimanfaatkan rame-rame oleh kubu pro HTI.

Dalam kajian geopolitik pun, sejak 2012 (sejak deklarasi khilafah para ‘jihadis’ di Suriah) kata khilafah akan merujuk pada konteks khilafah ala Suriah (dan salah satu pendukungnya adalah Hizbut Tahrir). Jangan salahkan bila audiens mendengar kata khilafah, pikiran mereka akan tertuju pada khilafah ala kelompok-kelompok teror itu.

Akibatnya, ketika Prof Din memberikan penjelasan yang sangat menarik mengenai khilafah yang beliau maksudkan, penjelasannya menjadi tidak berdampak pada audiens. Beliau kehilangan konteks.

Tentu, siapalah saya dibandingkan Prof Din yang saya hormati. Jadi ini tidak dalam rangka menggurui Prof Din. Saya sekedar sharing pemikian sederhana.

Terakhir, saya ingin cerita. Beberapa waktu yll saya bicara di sebuah forum diskusi anak-anak muda Bandung, saya bilang:

“Di alam demokrasi, ide khilafah itu sebenarnya bebas saja disampaikan. Orang liberalis di Barat, orang Syiah di Iran, orang sosialis di Venezuela, masing-masing punya ide tentang pemerintahan (dan sudah mereka praktekkan). Lalu mengapa para pengusung khilafah dilarang? Harusnya, dalam kondisi normal, ya bebas saja. Adu ide, debat. Justru akan mencerdaskan.

Masalahnya, orang-orang Hizbut Tahrir itu mengusung idenya dengan menebar hoax. Mereka provokasi orang-orang di Indonesia untuk mendukung jihad Suriah, padahal yang terjadi di sana adalah upaya penggulingan rezim melalui terorisme.”

Juga masalahnya, mereka menciptakan politik identitas yang jahat di Indonesia. Dulu saat perang Suriah masih panas, mereka memfitnah, bahwa yang antikhilafah adalah Syiah. Sekarang, di masa pilpres, yang antikhilafah difitnah PKI atau anti-Islam.

Artinya apa? Para pemikir, silahkan saja menyampaikan ide mengenai khilafah versi Anda. Karena faktanya, konsep khilafah itu ada banyak versi. Iran dan Vatikan pun, kalau ditelisik bisa disebut "khilafah" juga (pemerintahan yang dipimpin ulama). Tapi, jangan lupa menegaskan penolakan pada khilafah yang berbasis fitnah, hoax dan teror karena semua itu jelas bukan ajaran Islam. [dutaislam.com/gg]

Source: Dina Sulaeman

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB