Ijtima Ulama, Tradisi MUI yang Dipakai 'Ulama Kampret' untuk Syahwat Politik Berbaju Agama
Cari Berita

Advertisement

Ijtima Ulama, Tradisi MUI yang Dipakai 'Ulama Kampret' untuk Syahwat Politik Berbaju Agama

Duta Islam #03
Selasa, 30 April 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ijtima Ulama III akan digelar 1 Mei 2019 di Bogor. Foto: Istimewa.
DutaIslam.Com - Politik berbaju agama sangat kental dalam perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Hal ini bisa dilihat salah satunya dari acara Ijtima Ulama yang telah digelar berkali-kali sepanjang perhelatan Pilpres 2019.

Ijtima Ulama I yang digelar pada 2018 lalu merekomendasikan Prabowo sebagai presiden dan dua cawapres pilihan untuk mendampngi Prabowo. Selanjutnya Ijtima Ulama II yang merupakan kelanjutan dari Ijtima Ulama I setelah usulan cawapres hasil Ijtima Ulama ditolak oleh Prabowo. Namun, meski rekomendasi para ulama itu ditolak oleh Prabowo, mereka masih masih tetap memmberikan dukungan pada Prabowo.

Ijtima Ulama III yang akan digelar di Bogor 1 Mei 2019 secara khusus akan membahas kecurangan Pemilu 2019 yang dianggap merugikan Prabowo. Ulama yang diundang dalam Ijtima Ulama III pun tidak semua ulama, tetapi hanya ulama yang mendukung Prabowo.

Menciderai Hakikat Ulama
Ulama adalah pewaris para nabi untuk melanjutkan risalah kenabian yaitu membimbing umat Islam agar paham agama. Ulama punya tanggung jawab membimbing seluruh umat tanpa terkecuali. Dalam kontek Pilpres 2019, ulama bisa terlibat dalam bentuk memberikan pencerahan kepada umat  mengenai kriteria pemimpin yang baik karena kepemimpinan termasuk  bagian dari Islam. Dengan catatan, cara yang dilakukan harus mempertimbangkan kemashalatan bersama dan dilakukan dengan cara yang santun.

Cara yang santun dapat tercermin dari langkah politik yang diambil, yaitu tidak menimbulkan kegaduhan di tengah-tengah umat. Hal ini bisa terjadi apabila ulama dapat memberikan nasehat yang baik kepada umat tanpa harus menjelekkan orang lain sehingga tidak menimbulkan kegaduhan.

Ironisnya, Ijtima Ulama yang berlangsung selama dua kali, menuju tiga kali, tidak memperlihatkan tujuan untuk kemashalahatan bersama umat Islam di Indonesia. Langkah politik yang terjadi justru demi kepentingan politik praktis. Isu agama menjadi topik hangat yang dihembuskan kepada masyarakat. Ijtima Ulama bukan menjadi gerakan yang menyejukkan suasana di tengah perhelatan Pilpres yang terlihat memanas, tetapi justru menjadikan suasana semakin panas.

Para ulama yang tergabung di Ijtima Ulama  telah mencederai hakikat ulama sebagai orang yang berilmu dan pewaris ajaran nabi dengan ciri dan cara yang santun dan menyejukkan.

Ijtima Ulama di MUI
Sebelum menjadi "baju" yang digunakan untuk politik berbaju agama, istilah Ijtima Ulama sudah dipakai Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ijtima Ulama di MUI sebagai wadah berkumpulnya para ulama. Ijtima Ulama di MUI menjadi istilah yang sangat kultural yang dipakai dalam kegiatan rutin untuk membahas masalah-masalah hukum Islam, dinamika sosial keumatan.

Mantan Ketua MUI KH Ma'ruf Amin pernah mengatakan bahwa Ijtima Ulama mempunyai arti penting sebagai forum untuk mengonsolidasikan ormas dan kelembagaan Islam di Indonesia, khususnya yang berkiatan dengan aspek kefatwaan.

Di sinilah peran MUI sebagai tenda besar umat Islam di Indonesia harus bisa merangkul semua komponen umat Islam di Indonesia. Kata "umat" tidak merujuk hanya pada kelompok tertentu dengan menegasikan yang lain. MUI punya kewajiban merangkul dan membimbing semua umat Islam tanpa memandang asal usul dan tempat perkhidmatannya.

Terdapat perbedaan yang cukup jelas antara penggunaan istilah Ijtima Ulama di MUI dan Ijtima Ulama yang saat ini mendukung Prabowo. Hal ini tergambar dari salah satu ungkapan Ketua Komite Ijtima Ulama III Slamet Ma'arif saat ditanya siapa yang diundang di Ijtima Ulama

"Semua yang diundang di Ijtimak Ulama I dan II akan kami undang, kecuali yang sudah menjadi cebong tidak akan kami undang," kata Slamet.

Istilah cebong dipakai oleh pendukung Prabowo untuk para pendukung Jokowi. Sebagai lawannya adalah kampret yang dipakai untuk menyebut pendukung Prabowo. Dengan menyebut tidak melibatkan ulama cebong, secara tidak langsung Slamet Ma'arif ingin mengatakan bahwa Ijtima Ulama III hanya melibatkan ulama kampret.

Ulama yang akan terlibat dalam Ijtima Ulama III bukan berdasar pada kedalaman ilmu agama atau pengakuan dari masyarakat mengenai status keulamaannya. Tetapi siapa saja yang menyebut dirinya ulama dan mendukung Prabowo di Pilpres 2019 bisa terlibat di Ijtima Ulama III. Sangat politis bukan? [dutaislam.com/pin]



Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB