Hukum Melakukan Bid'ah Hasanah dan Dalilnya
Cari Berita

Advertisement

Hukum Melakukan Bid'ah Hasanah dan Dalilnya

Senin, 01 April 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
apakah bid'ah hasanah itu ada

Oleh Habib Mundzir Al-Musawa

DutaIslam.Com - Nabi Muhammad Saw memperbolehkan kita melakukan Bid’ah hasanah selama hal itu baik dan tidak menentang syariah, sebagaimana sabda beliau Saw:

bid'ah hasanah dan sayyiah

Artinya:
“Barangsiapa membuat - buat hal baru yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya dan pahala orang yang mengikutinya dan tak berkurang sedikit pun dari pahalanya, dan barangsiapa membuat buat hal baru yang buruk dalam Islam, maka baginya dosanya dan dosa orang yang mengikutinya dan tak dikurangkan sedikitpun dari dosanya”

(Shahih Muslim hadits No.1017. Demikian pula diriwayatkan pada Shahih Ibn Khuzaimah, Sunan Baihaqi Alkubra, Sunan Addarimiy, Shahih Ibn Hibban dan banyak lagi). Hadits ini menjelaskan makna Bid’ah Hasanah dan Bid’ah Dhalalah.

Perhatikan hadits beliau Saw, bukankah beliau saw menganjurkan? Maksudnya bila kalian mempunyai suatu pendapat atau gagasan baru yang membuat kebaikan atas Islam, maka perbuatlah. Alangkah indahnya bimbingan Nabi Saw yang tidak mencekik umat, beliau Saw tahu bahwa umatnya bukan hidup untuk 10 atau 100 tahun, tapi ribuan tahun akan berlanjut dan akan muncul kemajuan zaman, modernisasi, kematian ulama, merajalela kemaksiatan, maka tentunya pastilah diperlukan hal - hal yang baru demi menjaga muslimin lebih terjaga dalam kemuliaan.

Demikianlah bentuk kesempurnaan agama ini, yang tetap akan bisa dipakai hingga akhir zaman. Dan inilah makna ayat : “Alyauma akmaltu lakum dinakum (dst)/hari ini Ku-sempurnakan untuk kalian agama kalian, Ku-sempurnakan pula kenikmatan bagi kalian, dan Ku-ridhai Islam sebagai agama kalian”. (QS. Al-Maidah : 3).

Maksudnya, semua ajaran telah sempurna, tak perlu lagi ada pendapat lain demi memperbaiki agama ini, semua hal yang baru selama itu baik sudah masuk dalam kategori syariah dan sudah direstui oleh Allah dan Rasul-Nya, alangkah sempurnanya Islam.

Bila yang dimaksud adalah tidak ada lagi penambahan, maka pendapat itu salah, karena setelah ayat ini masih ada banyak ayat-ayat lain turun, masalah hutang dll. Berkata para Mufassirin bahwa ayat ini bermakna Makkah Almukarramah sebelumnya selalu masih dimasuki orang musyrik mengikuti hajinya orang muslim, mulai kejadian turunnya ayat ini, maka Musyrikin tidak lagi masuk Masjidil Haram, maka membuat kebiasaan baru yang baik boleh - boleh saja.

Namun tentunya bukan membuat agama baru atau syariat baru yang bertentangan dengan syariah dan sunnah Rasul Saw, atau menghalalkan apa - apa yang sudah diharamkan oleh Rasul Saw atau sebaliknya. Inilah makna hadits beliau Saw: “Barangsiapa yang membuat-buat hal baru yang berupa keburukan...(dst)”, inilah yang disebut Bid’ah Dhalalah.

Beliau Saw telah memahami itu semua, bahwa kelak zaman akan berkembang, maka beliau Saw memperbolehkannya (hal yang baru berupa kebaikan), menganjurkannya dan menyemangati kita untuk memperbuatnya, agar umat tidak tercekik dengan hal yang ada di zaman kehidupan beliau Saw saja, dan beliau saw telah pula mengingatkan agar jangan membuat buat hal yang buruk (Bid’ah Dhalalah).

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa hadits ini adalah khusus untuk sedekah saja, maka tentu ini adalah pendapat mereka yang dangkal dalam pemahaman syariah, karena hadits di atas jelas-jelas tak menyebutkan pembatasan hanya untuk sedekah saja, terbukti dengan perbuatan bid’ah hasanah oleh para Sahabat dan Tabi’in.

Siapakah yang pertama memulai Bid’ah hasanah setelah wafatnya Rasul Saw?
Hadits Nabi Saw menyatakan, “Bahwa Sungguh Zeyd bin Tsabit ra berkata: Abubakar ra mengutusku ketika terjadi pembunuhan besar-besaran atas para sahabat (Ahlul Yamaamah), dan bersamanya Umar bin Khattab ra, berkata Abubakar: “Sungguh Umar (ra) telah datang kepadaku dan melaporkan pembunuhan atas ahlulyamaamah dan ditakutkan pembunuhan akan terus terjadi pada para Ahlulqur’an, lalu ia menyarankan agar Aku (Abubakar Asshiddiq ra) mengumpulkan dan menulis Al-Qur’an, aku berkata: “Bagaimana aku berbuat suatu hal yang tidak diperbuat oleh Rasulullah? Maka Umar berkata padaku bahwa “Demi Allah ini adalah demi kebaikan dan merupakan kebaikan, dan ia terus meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar, dan engkau (zeyd) adalah pemuda, cerdas, dan kami tak menuduhmu (kau tak pernah berbuat jahat), kau telah mencatat wahyu, dan sekarang ikutilah dan kumpulkanlah Alqur’an dan tulislah Al-Qur’an!” Berkata Zeyd: “Demi Allah sungguh bagiku diperintah memindahkan sebuah gunung daripada gunung - gunung tidak seberat perintahmu padaku untuk mengumpulkan Alqur’an, bagaimana kalian berdua berbuat sesuatu yang tak diperbuat oleh Rasulullah saw??”, maka Abubakar ra mengatakannya bahwa hal itu adalah kebaikan, hingga ia pun meyakinkanku sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan mereka berdua dan aku mulai mengumpulkan Al-Qur’an”. (Shahih Bukhari hadits No.4402 dan 6768).

Nah saudaraku, bila kita perhatikan konteks diatas Abubakar Asshiddiq ra mengakui dengan ucapannya: “sampai Allah menjernihkan dadaku dan aku setuju dan kini aku sependapat dengan Umar”. Hatinya jernih menerima hal yang baru (bid’ah hasanah) yaitu mengumpulkan Al-Qur’an, karena sebelumnya Alqur’an belum dikumpulkan menjadi satu buku, tapi terpisah - pisah di hafalan sahabat, ada yang tertulis di kulit onta, di tembok, dihafal dll. Ini adalah Bid’ah hasanah, justru mereka berdualah yang memulainya.

Kita perhatikan hadits yang dijadikan dalil menafikan (menghilangkan) Bid’ah Hasanah mengenai semua bid’ah adalah kesesatan. Diriwayatkan bahwa Rasul Saw selepas melakukan shalat subuh beliau Saw menghadap kami dan menyampaikan ceramah yang membuat hati berguncang, dan membuat air mata mengalir, maka kami berkata: “Wahai Rasulullah.. seakan akan ini adalah wasiat untuk perpisahan.., maka beri wasiatlah kami..” maka Rasul Saw bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah, mendengarkan dan taatlah walaupun kalian dipimpin oleh seorang Budak Afrika, sungguh diantara kalian yang berumur panjang akan melihat sangat banyak ikhtilaf (perbedaan pendapat), maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’urrasyidin yang mereka itu pembawa petunjuk, gigitlah kuat – kuat dengan geraham kalian (suatu kiasan untuk kesungguhan), dan hati - hatilah dengan hal - hal yang baru, sungguh semua yang Bid’ah itu adalah kesesatan”. (Mustadrak Alasshahihain hadits No.329).

Jelaslah bahwa Rasul Saw menjelaskan pada kita untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah Khulafa’urrasyidin, dan sunnah beliau Saw telah memperbolehkan hal yang baru selama itu baik dan tak melanggar syariah. Dan sunnah khulafa’urrasyidin adalah anda lihat sendiri bagaimana Abubakar Asshiddiq ra dan Umar bin Khattab ra menyetujui bahkan menganjurkan, bahkan memerintahkan hal yang baru, yang tidak dilakukan oleh Rasul saw yaitu pembukuan Alqur’an, lalu pula selesai penulisannya dimasa Khalifah Utsman bin Affan ra, dengan persetujuan dan kehadiran Ali bin Abi Thalib kw dan seluruh sahabat Radhiyallahu’anhum.

Nah, sempurnalah sudah keempat makhluk termulia di ummat ini, khulafa’urrasyidin melakukan bid’ah hasanah, Abubakar Asshiddiq ra di masa kekhalifahannya memerintahkan pengumpulan Alqur’an, lalu kemudian Umar bin Khattab ra pula dimasa kekhalifahannya memerintahkan tarawih berjamaah dan seraya berkata: “Inilah sebaik - baik Bid’ah!” (Shahih Bukhari hadits No.1906) lalu pula selesai penulisan Al-Qur’an di masa Khalifah Utsman bin Affan ra hingga Al-Qur’an kini dikenal dengan nama “Mushaf Utsmaniy”, dan Ali bin Abi Thalib kw menghadiri dan menyetujui hal itu dan seluruh sahabat Radhiyallahu’anhum.

Demikian pula hal yang dibuat - buat tanpa perintah Rasul Saw adalah 2 kali adzan di Shalat Jumat, tidak pernah dilakukan di masa Rasul Saw, tidak di masa Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, tidak pula di masa Umar bin khattab ra dan baru dilakukan di masa Utsman bn Affan ra, dan diteruskan hingga kini (Shahih Bukhari hadits No.873). Seluruh madzhab mengikutinya.

Lalu siapakah yang salah dan tertuduh? Siapakah yang lebih mengerti larangan Bid’ah? Adakah pendapat mengatakan bahwa keempat Khulafa’urrasyidin ini tak paham makna Bid’ah?

Bid'ah Hasanah As-Syaukani
Mengenai ucapan Al Hafidh Al Imam Assyaukaniy, beliau tidak melarang hal yang baru, namun harus ada sandaran dalil secara logika atau naqli-nya, maka bila orang yang bicara hal baru itu punya sandaran logika atau sandaran naqli-nya, maka terimalah, sebagaimana ucapan beliau:

dalil bid'ah hasanah

Artinya:
“Hadits – hadits ini merupakan kaidah - kaidah dasar agama karena mencakup hukum - hukum yang tak terbatas, betapa jelas dan terangnya dalil ini dalam menjatuhkan perbuatan  para  fuqaha  dalam  pembagian  Bid’ah  kepada  berbagai  bagian  dan mengkhususkan penolakan pada sebagiannya (penolakan terhadap Bid’ah yang baik) dengan tanpa mengkhususkan (menunjukkan) hujjah dari dalil akal ataupun dalil tulisan (Alqur’an / hadits)".

Maka bila kau dengar orang berkata: “ini adalah bid’ah hasanah”, dengan kau pada posisi ingin melarangnya, dengan bertopang pada dalil bahwa keseluruhan bid’ah adalah sesat dan yang semacamnya sebagaimana sabda Nabi saw “semua bid’ah adalah sesat” dan (kau) meminta alasan pengkhususan (secara aqli dan naqli) mengenai hal bid’ah yang menjadi pertentangan dalam penentuannya (apakah itu bid’ah yang baik atau bid’ah yang sesat) setelah ada kesepakatan bahwa hal itu Bid’ah (hal baru), maka bila ia membawa dalilnya (tentang bid’ah hasanah) yang dikenalkannya maka terimalah, bila ia tak bisa membawakan dalilnya (secara logika atau ayat dan hadits) maka sungguh kau telah menaruh batu dimulutnya dan kau selesai dari perdebatan” (Naylul Awthaar Juz 2 hal 69-70).

Jelaslah bahwa ucapan Imam Assyaukaniy menerima bid’ah hasanah yang disertai dalil Aqli (Aqliy = logika) atau Naqli (Naqli = dalil Alqur’an atau hadits). Bila orang yang mengucapkan pada sesuatu itu Bid’ah hasanah namun ia TIDAK bisa mengemukakan alasan secara logika (bahwa itu baik dan tidak melanggar syariah), atau tak ada sandaran naqli-nya (sandaran dalil hadits atau ayat yang bisa jadi penguat) maka pernyataan tertolak. Bila ia mampu mengemukakan dalil logikanya, atau dalil Naqli-nya maka terimalah. Jelas - jelas beliau mengakui Bid’ah hasanah.

Berkata Imam Ibn Rajab:

bid'ah hasanah dalam islam

Artinya:
“Seluruh kalimat yang dikhususkan pada Nabi Saw ada 2 macam, yang pertama adalah Al-Qur’an sebagaimana firman-Nya Swt: “Sungguh Allah telah memerintahkan kalian berbuat adil dan kebaikan, dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat, dan melarang kepada keburukan dan kemungkaran dan kejahatan” berkata Alhasan bahwa ayat ini tidak menyisakan satu kebaikan pun kecuali sudah diperintahkan melakukannya, dan tiada suatu keburukan pun kecuali sudah dilarang melakukannya. Maka yang kedua adalah hadits beliau saw yang tersebar dalam semua riwayat yang teriwayatkan dari beliau Saw. (Jaamiul uluum walhikam Imam Ibn Rajab juz 2 hal 4), dan kalimat ini dijelaskan dan dicantumkan pula pada Tuhfatul Ahwadziy).

Jelas sudah segala hal yang baik apakah sudah ada dimasa Rasul Saw ataupun belum, sudah diperintahkan dan dibolehkan oleh Allah swt, apakah itu berupa penjilidan Al-Qur’an, ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mustalahul hadits, maulid, Al-Qur’an digital, dlsb. Dan semua hal buruk walau belum ada dimasa Nabi saw sudah dilarang Allah swt, seperti narkotika, ganja, dlsb [dutaislam.com/ab]

Sumber: Buku Kenalilah Akidahmu - Habib Mundzir Al-Musawa (Download PDF)

bid'ah hasanah duta islam
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB