Pekok Sundul Langit Tuduh NU Mengamandemen Al-Qur'an
Cari Berita

Advertisement

Pekok Sundul Langit Tuduh NU Mengamandemen Al-Qur'an

Duta Islam #02
Minggu, 03 Maret 2019
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Berita gelora.co dan twit Fahri Hamzah.
DutaIslam.Com - Sidang komisi bahstul masail ad-diniyyah al-maudhuiyyah pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2019 yang membahas status non-Muslim di Indonesia menuai banyak tanggapan. Bahkan ada yang menuduh bahwa hasil Munas NU tersebut mengamandemen Al-Qur'an. Mereka berargumen kata "kafir" merupakan istilah al-Qur'an yang tidak bisa diganggu gugat. Sebuah tuduhan yang asal jeplak, tidak memahami persoalan, apalagi mau tabayyun.

Padahal para peserta bahstul masail mencoba mendudukkan status non-Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara dengan merujuk pada literatur klasik keislaman.

Dalam literatur klasik keislaman fiqih siyasah mempunyai penyebutan bagi non-muslim seperti kafir harbi, kafir dzimmi, kafir muahad, dan kafir musta'man. Masuk kategori mana non-muslim di Indonesia?

Setelah melewati diskusi panjang, forum ini menyimpulkan bahwa non-Muslim di Indonesia tidak memenuhi kriteria “kafir” sebagaimana disebutkan dalam fiqih siyasah.

Non-Muslim di Indonesia tidak perlu dipaksakan untuk dipadankan dengan kata “kafir” dalam fiqih siyasah karena keduanya memiliki kedudukan berbeda.

Dilansir dari NU Online, salah seorang peserta sidang komisi bahstul masail al-maudhuiyyah KH Mahbub Maafi menjelaskan bahwa kata “kafir” terdiri atas dua konteks berbeda. Menurutnya, pertama “kafir” dalam konteks aqidah.

Dalam konteks aqidah, ya tetap seperti itu. Dalam soal waris dan soal lain, ya tetap. Dalam konteks keyakinan, ya mereka tetap kafir dengan segala konsekuensinya itu,” kata Kiai Mahbub kepada NU Online, Jumat (01/03/2019) siang.

Sampai di sini paham?

Sementara konteks kedua adalah soal muamalah atau bernegara. Menurutnya, dalam konteks bernegara dalam fiqih siyasah itu pembagian kafir terdiri atas empat “kafir”, yaitu kafir muahad, kafir musta'man, kafir dzimmi, dan kafir harbi.

Ia menambahkan, ini pembagian juga dari ijtihad para ulama. Ketika ditarik dalam konteks sekarang, dalam konteks negara bangsa seperti negara Indonesia itu semua itu tidak masuk ke dalam non-Muslim.

“Kafir muahad itu tidak bisa ditarik dalam konteks Indonesia ini karena tidak masuk kriteria. Mau dikatakan kafir dzimmi, siapa yang ngasih dzimmah? Mau dikatakan kafir harbi, mereka tidak masuk karena Indonesia itu adalah didirikan oleh seluruh anak bangsa, bukan hanya Muslim, tetapi juga non-Muslim,” kata Kiai Mahbub.

Non-Muslim di Indonesia tidak bisa disebut sebagai orang “kafir”. Mereka tidak membayar jizyah dan seterusnya itu.

“Ini fakta yang nggak bisa dipungkiri. Jadi mereka berdiri setara. Dalam konteks bernegara, ya mereka adalah warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana warga negara lainnya,” katanya.

“Jadi mereka tidak bisa disebut ‘kafir ini’, ‘kafir itu’ karena tidak masuk kriteria pembagian kafir dalam fiqih siyasah itu. Jadi mereka disebut apa? Ya cukup disebut warga negara saja,” kata Kiai Mahbub.

Sementara Sekretaris LBM NU Jatim Ustadz Ahmad Muntaha yang mengikuti forum ini mengatakan bahwa Munas NU 2019 sebenarnya fokus membahas status non-muslim dalam negara bangsa seperti Indonesia.

Dalam forum disepakati, bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara status non-Muslim seperti di Indonesia adalah muwathin atau warga negara yang mempunyai kewajiban dan hak yang sama dan setara sebagaimana warga negara lainnya

“Mereka tidak masuk dalam kategori kafir dzimmi, muahad, musta'man, apalagi harbi. Tidak masuk kategori itu dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, namun tetap berstatus kafir,” kata Ustadz Muntaha kepada NU Online, Jumat (01/03/2019) siang.

Ini Dalilnya!

Ia mengutip Kitab Al-Qunyah dalam Bab Al-Istihlal dan Raddul Mazhalim yang menyebut ungkapan, "Andaikan seseorang berkata kepada Yahudi atau Majusi, 'Hai kafir', maka ia berdosa jika ucapan itu berat baginya (menyinggungnya).”

Konsekuensinya, pelakunya itu seharusnya ditakzir karena melakukan tindakan yang membuatnya berdosa sebagaimana dikutip dari Kitab Al-Bahrur Raiq, juz V halaman 47).

Ini yang melatari bahwa dalam konteks sosial kemasyarakatan seorang muslim semestisnya tidak memanggil non-Muslim dengan panggilan yang sensitif 'Hai Kafir', seiring dalam ranah akidah Islam tetap mantap menganggap mereka sebagai kafir atau orang yang tidak beriman.

“Ide ini disampaikan oleh delegasi dari PWNU Jawa Timur tepatnya oleh Kiai Muhammad Hamim HR (Hamim Hr) dan disimak secara seksama oleh seluruh musyawirin,” kata Kiai Muntaha. [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB