![]() |
Politisi Demokrat Ferdinand Hutahaean. (Foto: istimewa) |
"Saat ini saya dan mungkin publik tdk melihat bahwa HTI melakukan gerakan yg radikal. Justru menurut saya yg radikal itu adalah YANG MENGUSULKAN PENGHILANGAN KATA KAFIR DAN MENCIPTAKAN ISLAM NUSANTARA. Inilah yg membuat Islam bergolak," tulis Ferdinand melalui akun Twitternya @Ferdinand_Haean, Kamis (07/03/2019), sebagaimana screenshot yang diposting akun @noeruzzaman, Kamis (07/03/2019), berikut:
Penelusuran Dutaislam.com, Jum'at (08/03/2019) pukul 09.11 WIB, status Ferdinand tersebut sudah tidak ada. Siapa maksud Ferdinand kalau bukan NU dan hasil Munas NU beberapa waktu lalu?
Padahal, bahstul masail Munas NU mencoba mendudukkan status non-Muslim dalam konteks berbangsa dan bernegara dengan merujuk pada literatur klasik keislaman.
Dalam literatur klasik keislaman fiqih siyasah mempunyai penyebutan bagi non-muslim seperti kafir harbi, kafir dzimmi, kafir muahad, dan kafir musta'man. Masuk kategori mana non-muslim di Indonesia? Tidak membahas tentang apakah non-muslim yang ada di Indonesia ini kafir apa bukan.
Setelah melewati diskusi panjang, forum ini menyimpulkan bahwa non-Muslim di Indonesia tidak memenuhi kriteria “kafir” sebagaimana disebutkan dalam fiqih siyasah.
Non-Muslim di Indonesia tidak perlu dipaksakan untuk dipadankan dengan kata “kafir” dalam fiqih siyasah karena keduanya memiliki kedudukan berbeda.
Literatur Islam klasik, dalam Kitab Al-Qunyah dalam Bab Al-Istihlal dan Raddul Mazhalim menyebutkan, "Andaikan seseorang berkata kepada Yahudi atau Majusi, 'Hai kafir', maka ia berdosa jika ucapan itu berat baginya (menyinggungnya).”
Bahkan konsekuensinya, pelakunya itu seharusnya ditakzir karena melakukan tindakan yang membuatnya berdosa, sebagaimana dikutip dari Kitab Al-Bahrur Raiq, juz V halaman 47).
(Adapun soal Islam Nusantara bisa dibaca di Cara Mudah Memahami Islam Nusantara dan Para Pengkritik Itu Tidak Paham Islam Nusantara). [dutaislam.com/gg]
