Pengertian Madzhab Shahabi dan Penerapannya dalam Ushul Fiqih [PDF]
Cari Berita

Advertisement

Pengertian Madzhab Shahabi dan Penerapannya dalam Ushul Fiqih [PDF]

Minggu, 11 November 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Ana Zakiyatul Muna

DutaIslam.Com - Sepeninggal Rasulullah Saw. banyak peristiwa dan kejadian baru yang muncul di kalangan sahabat sehingga menuntut adanya madzhab shahabi. Kehujjahan adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi Muhammad Saw. 

Kedudukan madzhab shahabi sebagai sumber hukum dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Madzhab shahabi yang berdasarkan sunah rasul (wajib ditaati), madzhab shahabi yang berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ shahabi, ini dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati, madzhab shahabi yang tidak mereka sepakati (tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak wajib ditaati).

Menurut jumhur ulama, sahabat adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah Saw. serta iman kepadanya, dan bersamanya dalam waktu yang cukup lama, dan ketika meninggal tetap dalam keadaan beriman. Dalam madzhab shahabi terdapat kehujjahan madzhab. 

Kehujjahan di sini membahas tentang perbedaan pendapat ulama, -di antaranya adalah menurut jumhur ulama kalangan Hanafiyyah, Imam Malik, Asy-Syafi’i yang lama (qaul al-qadim) dan pendapat Ahmad bin Hanbal yang terkuat,- qaul ash-shahabi merupakan hujjah. 

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. 

Namun menurut Imam Syafi’i, hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil yang pasti yaitu Al-Quran dan Sunnah. 

Pandangan ulama’ Syafi’iyah terhadap madzhab shahabi.
Di sini yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah “pendapat para sahabat Rasulullah Saw. tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah.   

Sedangkan menurut ulama’ Fiqh, yang dimaksud madzhab shahabi yaitu pendapat yang dikemukakan oleh seorang atau beberapa sahabat Rasulullah secara individu tentang suatu hukum syara’ yang tidak terdapat ketentuannya dalam Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah Saw. 

Madzhab shahabi itu sendiri menunjukkan pengertian pendapat hukum para sahabat secara keseluruhan tentang suatu syara’ yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah, dimana pendapat para sahabat tersebut merupakan hasil kesepakatan di antara mereka.

Yang dimaksud madzhab shahabi menurut Syafi’iyah adalah pendapat orang tertentu di kalangan sahabat dan tidak dipandang sebagai hujjah. Beliau memperkanankan untuk mengistimbatkan pendapat lain. Alasannya, pendapat mereka adalah pendapat ijtihad secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum. 

Pengertian kehujjahan
Kehujjahan adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi Muhammad Saw. 

Contoh madzhab shahabi, antara lain: 1). Kasus pembagian warisan, nenek mendapat bagian 1/6. 2). Pendapat Utsman bin Affan tentang hilangnya shalat Jumat apabila bertepatan dengan Idul Fitri dan Idul Adha, 3). Pendapat Ibnu Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian anak kecil.

Kedudukan madzhab shahabi sebagai sumber hukum
Menurut pendapat para sahabat dibagi 3 yaitu:

  1. Madzhab shahabi yang berdasarkan sunah rasul (wajib ditaati).
  2. Madzhab shahabi yang berdasarkan ijtihad dan sudah mereka sepakati (ijma’ shahabi) dapat dijadikan hujjah dan wajib ditaati.
  3. Madzhab shahabi yang tidak mereka sepakati (tidak bisa dijadikan hujjah dan tidak wajib ditaati).

Kehujjahan Madzhab Shahabi
Maksud kehujjahan di sini adalah kekuatan yang mengikat untuk dijalankan oleh umat Islam, sehingga akan berdosa jika meninggalkannya sebagaimana berdosanya meninggalkan perintah Nabi.

Pembicaraan tentang apakah mazhab shahabi itu menyangkut beberapa segi yang menyangkut beberapa segi pembahasan yaitu: pendapat sahabat yang berada di luar lingkup ijtihad atau hal lain yang secara qath’i berasal dari Nabi meskipun secara terang tidak disebutkan berasal dari Nabi, dapat menjadi hujjah. Bila terdapat dua pendapat atau lebih yang berbeda dalam bentuk ini, maka diselesaikan dengan cara atau metode yang lazim (berlaku).

Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. 

Para ulama’ juga sepakat, qaul ash-shahabi menjadi rujukan hukum berkaitan dengan ketentuan hukum dari masalah yang disepakati oleh para sahabat (ijma’ ash-shahabi) baik kesepakatan tersebut bersifat pernyataan bersama (ijma’ ash-sharih) maupun yang dipandang sebagai kesepakatan bersama karena tidak ada pendapat yang berbeda dengan pendapat yang berkembang  (ijma’ as-sukuti), yang dalam istilah lain disebut dengan mazhab ash-shahabi

Sebaliknnya, para ulama’ juga sepakat bahwa qaul ash-shahabi yang merupakan hasil ijtihad perorangan tidak menjadi hujjah terhadap sahabat lainya. Sebab fakta sejarah menunjukkan bahwa di kalangan sahabat sendiri terjadi perbedaan pendapat dalam beberapa masalah hukum syara’ tertentu. 

Sekiranya pendapat seorang sahabat menjadi hujjah terhadap sahabat lainya, tentu perbedaan pendapat tersebut tidak terjadi. Pendapat perorangan merupakan hujjah bagi generasi tabi’in dan generasi berikutnya.  

Madzhab Sahabat secara mutlak tidak menjadi hujjah/dasar hukum atas madzhab shahabi. Pendapat ini berasal dari jumhur Asyariyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam madzhabnya (Syafi’iyah) dan juga Abul Hasan Al-Kharha dari golongan Hanafiyah. Alasannya sebagai berikut:

  1. Bahwa sahabat itu tidak maksum (terpelihara) dari kesalahan. Tidak lain halnya dengan seorang mujtahid yang yang bisa berbuat kesalahan. Mengenai keutamaan sahabat dengan ilmu dan takwanya, tidaklah mewajibkan untuk mengikutinya.
  2. Bahwa sebagian sahabat itu menyelisihi sahabat lainnya.
  3. Bahwa ada sebagian tabi’in yang menyalahi madzhab/qaul sahabat. 

Dalam hal ini Imam Syafi’i mengatakan sebagaimana dikutip oleh Abdul Wahhab Khallaf dalam kitabnya, begini : “Tidak menetapkan hukum atau memberikan fatwa kecuali dengan dasar yang pasti, yaitu Al-Qur’an dan al-Hadits, atau sebagaimana yang dikatakan para ilmuan yang dalam suatu hal tidak berbeda pendapat (ijma’), atau dengan mengqyiaskan kepada sebagian dasar ini". 
Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama di antaranya: menurut jumhur ulama dari kalangan ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Asy-Syafi’I yang lama (qaul al-qadim) dan Ahmad bin Hanbal yang terkuat, qaul ash-shahabi merupakan hujjah. 

Bahkan menurut mereka qaul ash-shahabi didahulukan dari pada al-qiyas. Pendapat ini didasarkan kepada beberapa dalil sebagai berikut:

1. Firman Allah SWT pada surah Ali Imran (3) ayat 110, yang berbunyi:

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ ۗ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ ۚ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ

Artinya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasi. 
Menurut mereka, qaul sahabat merupakan salah satu dalil naqli di antara dalil dalil yang lain. Dan ayat ini ditunjukan kepada para sahabat.

2. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman dalam Q.S. At-Taubah ayat 100: 

وَالسّٰبِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهٰجِرِينَ وَالْأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسٰنٍ رَّضِىَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا الْأَنْهٰرُ خٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿التوبة:١۰۰﴾

Artinya: 
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah, 9:100) 

Dalil Madzhab Shahabi


Adapun dalil naqli yang mendukung pendapat para ulama di atas, antara lain, sebagaimana dinyatakan bahwa para sahabat adalah orang orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain.

Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereka lebih layak untuk diikuti.

Ulama Syafi’iyyah, Jumhur al-Asya’irah, Mu’tazilah dan Syi’ah mengatakan bahwa pendapat sahabat itu tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum, karena ijtihad mereka sama denga ijtihad ulama lainnya yang tidak wajib diikuti mujtahid lain.

Dalam penelusuran terhadap pendapat para sahabat, ditemukan bahwa sebagian pendapat mereka didasarkan kepada ijtihad, dan terjadinya kesalahan dalam ijtihad itu bukanlah suatu yang mustahil, karena tidak ada jaminan bahwa mereka tidak akan salah dalam melakukan ijtihad. Adakalanya para sahabat berbeda pendapat dalam menetapkan hukum pada suatu kasus.

Tentang hal ini, Imam Al-Ghazali juga mengatakan: "terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu bakar bin Umar ibn Khatab membiarkan saja orang orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka manganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing masing".

Meski tidak setuju qaul shahabi dijadikan hujjah (dalam qaul jadid), Imam al-Syafi’i, -menurut Mushthafa Dib al-Bugha,- ternyata juga banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial yang diambilnya dari pendapat para sahabat. 

Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’i cenderung mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat Ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang anak kecil. Dalam hubungan ini, Imam al-Syafi’i mengatakan pendapat Ibn ‘Abbas lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Qiyas. 

Imam Al-Syafi’i juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah disetujui atau tidak oleh kalangan sahabat lain, seperti pendapat Utsman ibn ‘Affan tentang hilangnya kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan dengan hari raya Idul Fitri atau Idul Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain -setuju atau tidak- berkaitan dengan pendapat Utsman ibn ‘Affan ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi’iyyah. 

Pendapat Khulafa al-Rasyidin selain Ali juga menjadi hujjah bagi Imam Syafi'i. Tidak dimasukkannya Ali dalam kelompok shahabat ini oleh al-Syafi’i bukan karena kurang kualitas keilmuan dibandingkan pendahulunya, tetapi karena setelah menjadi khalifah ia memindahkan kedudukanya ke Kufah dan waktu itu para sahabat yang bisa menjadi narasumber bagi khalifah dalam forum musyawarah pada masa sebelum ‘Ali, sudah tidak ada lagi.

Imam Syafi’i menyatakan bahwa hukum atau fatwa hanya boleh disandarkan kepada dalil yang pasti yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Pasalnya, madzhab/qaul sahabat dianggap hujjah oleh sebagian besar ulama, namun ditentang juga oleh sebagian kecil ulama.

Madzhab/qaul/fatwa sahabat tidak keluar dari enam kemungkinan, yaitu :
  1. Fatwa yang didengar Sahabat dari Rasulullah Saw.
  2. Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Rasulullah Saw.
  3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Al-Quran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
  4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh Sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
  5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Rasulullah Saw. dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah masuk sebagai hujjah yang wajib diikuti.
  6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak menjadi hujjah. 

Imam Syafi’i dan Madzhab Shahabi
Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut: “Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang sahabat, sementara pada waktu yang lain mereka meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” 

Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”.

Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247). 

Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Al-Quran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, jika pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Al-Quran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti.

Sementara, dalil naqli digunakan oleh segolongan ulama’ atas kebolehan menggunakan Syar’u Man Qablana sehingga qaul sahabat bisa dijadikan sebagai hujjah, khususnya di kalangan para ulama pengikut Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah yaitu:


شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ

Artinya:
"Dia telah mensyari’atkan bagi kamu yang telah diwasiatkannya kepada nabi Nuh dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendakinya dan memberi petunjuk kepada agamanya orang yang kembali kepadanya". (QS: Asy-Syuro, Ayat 13)

Ayat di atas menegaskan bahwa syariat yang telah Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW juga telah disyari’atkan kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad Saw. Ayat ini juga menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh syari’at yang diturunkan allah SWT merupakan satu kesatuan.  

Penerapan madzhab shahabi terhadap kehidupan masyarakat
Karena adanya perbedaan pendapat ulama’ mengenai hujjiyah qaul as- shahabi sebagai salah satu sumber hukum, menyebabkan perbedaan pula dalam menghukumi suatu permasalahan yang tidak ada nash sharih yang menjelaskan. Berikut ini adalah beberapa contoh yang ada, yang erat kaitannya denag kehidupan sehari-hari.

Hukum sujud Tilawah apakah wajib atau sunnah?
Menurut Imam malik, As-Syafi’i dan Ahmad hukum sujud tilawah adalah sunnah dan tidak mencapai wajib. Di sini Imam Syafi’i berdalil bahwa sujud dilakukan untuk shalat. Adapun perintah untuk shalat telah dijelaskan secara global oleh Al-Qur’an dan telah diterangkan oleh As-Sunnah secara terperinci. Maka hal ini menujukkan bahwa shalat yang diwajibkan adalah shalat lima waktu, sedangkan selainnya tidaklah wajib.

Hukum shalat Jumat bagi yang Shalat Id
Soal ini, Imam Syafi’i berpendapat bahwa kewajiban shalat Jumat bagi ahli balad. Adapun ahli qura di-rukhshah (diringankan). Imam syafi’i berdalil dari sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Malik dari ibnu Syihab dari Abi U’baid bekas hamba sahaya-nya Ibnu Azhar. Dia berkata: “Saya melakukan shalat Id bersama Utsman bin Affan maka Utsman shalat lalu berkhutbah dan berkata, sesungguhnya telah berkumpul pada hari dua Id. Maka barang siapa yang hendak menunggu dari ahli a’liyah maka tunggulah dan barang siapa yang hendak pulang maka telah diizinkan baginya".

Hukum potong tangan bagi seorang pembantu
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa hukum bagi seorang pembantu yang mencuri harta tuannya tidak dipotong.

Status pernikahan dalam masa ‘Iddah
Imam malik, Al-Auza’i dan Al-Laits berpendapat bahwa mereka harus dipisahkan, dan wanita itu menjadi haram bagi laki-laki tersebut selamanya. Adapun pendapat bahwa dipisahkan keduannya dan sang wanita boleh mendapatkan maharnya. Dan bila telah habis masa iddah-nya sementara sang wanita berkehendak untuk menikahinya lagi, maka tidak apa apa, sebagaimana dijelaskan oleh khalifah Ali bin Abi Thalib. [dutaislam.com/ab]
Ana Zakiyatul Muna, mahasiswa UIN Walisongo Semarang.
Artikel disampaikan di hadapan dosen pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A


DAFTAR PUSTAKA
Syarmin Syukur, Sumber-sumber Hukum Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas).
Abdul Wahhab Khallaf Syeikh, 1978, Ilmu Ushul Fiqh, (Kuwait: An-Nasyr Wattawzi’).
Abu Zahrah Al-Imam Muhammad, 1957, Ushul Fiqh, (Darul Fikri Al-Arabi).
Dahlan Abdur Rahman, 2010, Ushul Fiqh, (Jakarta: Amzah).
Abu Zahra Muhammad, 2008, Ushul Fiqh, cet 12, (Jakarta: Pustaka Firdaus).
Jazuli, dkk, 2000, Ushul Fiqh Metodologi Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada).

Keyword: fungsi mazhab shahabi | pertanyaan tentang mazhab shahabi | contoh mazhab sahabat | contoh mazhab shahabi brainly | mazhab shahabi pdf | contoh hukum mazhab shahabi | 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB