Kajian Tafsir Pungkasan Ramadhan, K. Sya’roni Bahas Iblis hingga Jahiliyah
Cari Berita

Advertisement

Kajian Tafsir Pungkasan Ramadhan, K. Sya’roni Bahas Iblis hingga Jahiliyah

Duta Islam #03
Selasa, 12 Juni 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Kajian Tafsir Al-Qur'an Kiai Sya'roni Kudus. Foto: Istimewa.
DutaIslam.Com - Suara Tarkhim masih berkumandang dari speaker Masjid Menara Kudus, terdengar sampai ke bilik kamar para santri yang sempit.  Udara dingin masih terasa menghujam dinding sum-sum.

Sementara para penjaga warung di pinggir jalan masih terjaga menunggu para pembeli makan sahur. Malam itu, jalanan Sunan Kudus masih lengang. Hanya satu dua kendaraan yang lalu lalang setiap beberapa saat.

Pemandangan berbeda di Masjid Menara Kudus. Beberapa jama’ah telah bersiap menunaikan shalat untuk kemudian mengikuti kajian Tafsir Al Qur’an oleh Kiai Sya’roni Ahmadi.

Rabu (06/06/2018) pagi itu, merupakan pengajian terakhir edisi Ramadan tahun ini. Dengan kata lain, sesi pungkasan atau “khataman ngaji”. Istilah khataman sudah lumrah disebut meski meski pembacaan kitab tafsir belum khatam. Saat itu baru sampai ayat 122 surat An-Nisa’.

Para jama’ah mulai berdatangan sekitar pukul 04.00 WIB, jelang imsak. Tak lain, keberangkatan jamaah pagi-pagi buta itu untuk mendapat posisi ideal, bisa menatap langsung wajah kiai yang umurnya hampir satu abad ini.

Para jamaah tidak hanya berasal dari santri menara. Justru yang lebih banyak dari orangtua yang mengajar di kampung masing-masing atau dikenal dengan Kiai kampung.

Salah seorang teman dari demak pernah bercerita, kiai di kampungnya sering berangkat ke Kudus untuk mengikuti pengajian tafsir Kiai Sya’roni. Kiai itu kemudian mengajarkannya di masjid kampungnya sendiri.

“Keterangan yang dijelaskan Kiaiku sama persis dengan yang dijelaskan Mbah Roni ketika mengajar di Masjid Menara,” Ungkapnya.

Pengajian tafsir yang diampu di bulan Ramadan dan di Juma’at fajar ini ibarat danau yang luas dan jernih. Orang-orang berbondong-bondong mengambil air dari danau kemudian menyebarluaskannya ke kampung masing-masing.

Kadar penyebarluasannya tentu tergantung apa yang mereka bawa. Ada yang membawa drum, ada yang membawa ember, ada yang membawa panci, tapi ada juga yang hanya membawa gelas. Lah ngantuk jeh hehe.

Begitulah Kiai Sya’roni ini. Kendati tidak memiliki pesantren (masih tahap pembangunan) kiai yang menjadi Mustasyar di PBNU ini memiliki santri di berbagai penjuru.

Dalam pengajian tersebut, kiai menerangkan kaitan kaum jahiliyah yang menyembah berhala yang jumahnya 364 di sekeliling Ka’bah.  Berhala yang besar ada  empat,  Latta, Uzza, Manatta, dan Hubbal.

“Jadi setiap hari Kafir Quraisy dulu itu menyembah berhala setiap hari berganti hingga genap 360 hari, ketika sudah genap akan ada upacara” urainya.

Menurutnya, masyarakat jahiliyyah bukan berarti bodoh dalam bisnis atau akademik atau hal lainnya. Tetapi bodoh dalam hal ketuhanan. Betapa tidak? patung yang mereka buat sendiri tapi kok disembah sendiri.

Pernyataan mbah Roni mengingatkan kita akan kisah Umar Bin Khattab saat menjadi khalifah yang terkadang menangis sendiri, tapi tiba-tiba tertawa sendiri. Hingga suatu ketika khalifah Umar ditanyai oleh para sahabatnya.

“Wahai Umar, kami melihat Anda suatu ketika menangis sendiri, namun tiba-tiba tertawa sendiri, sesungguhnya apa yang terjadi?,”

Umar Bin Khattab menjawab, guna menghilangkan rasa penasaran yang menghinggap di benak sahabat-sahabatnya.

“Dulu di zaman Jahiliyyah, saya pernah membunuh putriku sendiri dengan cara menguburnya hidup-hidup. Dan inilah yang membuatku sering menangis. Selain itu, saya juga pernah memakan Tuhanku sendiri,”

“Maksudnya bagaimana, wahai Amirul Mukminin?,” tanya para sahabat kebingungan.

“Dulu di zaman jahiliyah, ada waktu tertentu untuk melakukan ibadah (menyembah berhala), nah suatu hari, saya berpergian dan lupa membawa berhala padahal sudah waktunya untuk menyembah berhala. Akhirnya saya membuat berhala dari roti bekal perjalanan. Usai menyembah berhala dari roti itu perutku lapar, karena tidak ada bekal lain, akhirnya roti yang tadinya kusembah saya makan sendiri, kenangan inilah yang membuatku sering tertawa sendiri,” tutupnya.

Kiai Sya’roni dalam pengajian tersebut juga menyinggung perihal iblis kaitannya dengan tafsir ayat  la’anahullah . Beliau memaknai ayat tersebut dengan kalimat, semoga Allah menjauhkan Iblis dari rahmat.

Sebelum melanjutkan ke ayat berikutnya, Kiai Sya’roni bercerita bahwa dulu Iblis pernah meminta pertolongan kepada Nabi Musa untuk menanyakan kepada Allah SWT perihal masihkah ada pintu taubat baginya.

Sebagai kalimulllah, Musa pun dengan senang hati menanyakan hal itu kepada Allah SWT. Syukur-syukur nanti Iblis mau bertaubat beneran. Ternyata syaratnya Iblis diterima taubatnya sangatlah mudah, yaitu hormat terhadap pusaranya Nabi Adam.

Nabi Musa pun menyampaikan hal itu kepada Iblis, kemudian mengajaknya ke Pusara Nabi Adam. Sesampainya di sana, bukannya hormat kepada pusaranya Nabi Adam, Iblis malah berteriak dengan lantang,

“Dulu saya pernah disuruh untuk hormat kepada Nabi Adam ketika masih hidup saja saya tidak mau, apalagi saat ini Ia sudah mati,”

Begitulah Iblis, lebih memilih dilaknat oleh Allah Swt daripada hormat kepada Nabi Adam. Namun, iblis tidak mau sendirian, ia ingin mengajak anak keturunan Nabi Adam untuk disesatkan. Yakni, dengan cara memberi rasa was-was, mengisukan bahwa qiyamat, surga dan neraka tidak ada.

“Di neraka tidak apa-apa,asal banyak temannya,” ucapnya dengan nada congkak.

Padahal api neraka itu panasnya minimal 70 kali lipat panasnya api di dunia. Bahkan dalam suatu hadis disebutkan, ahli neraka jika dikeluarkan dari neraka, kemudian di masukkan ke dalam api dunia bisa sampai ketiduran.

Selain panasnya luar biasa, orang-orang kafir dan iblis akan mendekam di neraka untuk selama-lamanya. Akan tetapi ada sebuah pengecualian bagi Abu Lahab. Paman Nabi Muhammad ini akan mendapatkan keringanan siksa setiap hari senin. Pasalnya, saat Nabi Muhammad lahir, Abu Lahab ikut bergembira, yaitu dengan cara memerdekan budaknya yang bernama Tsuwabah.

“Lantaran menghormati dan merasa bahagia atas lahirnya Nabi Muhammad, Abu lahab yang kafir saja mendapatkan keitimewaan seperti itu. Apalagi jika mauludan itu seorang muslim,” terang Kiai yang berumur lebih dari 90 tahun itu. 

Pengajian Kiai Sya’roni diakhiri tahlil dan do’a sekaligus bersalaman. Dengan penjagaan ketat, para jama’ah diperbolehkan untuk bersalaman satu persatu.[dutaislam.com/rip/pin]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB