![]() |
Ahmad Baso saat mengisi Short Course Pengkajian Pesantren di kantor PCNU Kota Malang. |
Dalam paparannya, Baso mengatakan, selama ini, sebagian besar penelitian dalam ilmu pengetahuan dituntut objektif. Tak terkecuali ilmu sosial yang akhirnya terkena dampaknya.
Pakar studi pesantren ini menanggapi bahwa tuntutan objektivisme dalam penelitian justru tidak bisa diterapkan ketika meneliti pesantren.
Pesantren yang selama ini turut membangun mentalitas bangsa Nusantara hanya akan menjadi benda mati jika diamati dengan objektivisme. "Padahal pesantren bukan benda mati, dia memiliki pengaruh pada kehidupan kita," papar Baso.
Ketika meneliti pesantren, sambung dia. dibutuhkan metode dan paradigma yang berbeda. Sebab tujuan dari studi pesantren sendiri bukan hanya untuk mengetahui tradisi pesantren, tapi bagaimana kejayaan bangsa ini dibangun oleh tradisi pesantren.
"Kalau kita hanya meneliti pesantren sebagai benda, dari objektivisme, ya yang kita lihat seperti peneliti lain yang mengatakan pesantren itu jumud. Karena kita tidak hidup di dalamnya dan menganalisis apa pengaruh pesantren pada diri kita," jelasnya.
Berangkat dari paradigma yang melihat pesantren sebagai aktor atau subjek yang punya pengaruh, fokus metode yang digunakan mengarah pada cara atau alat yang menjadi sebab pesantren memberi pengaruh pada kita. Secara spesifik, kata Baso, cara-cara pesantren adalah memasyarakatkan Islam dengan prinsip muhafadzotu alal qodimish sholih wal akhdu bil jadidil aslah.
Terbukti, para ulama nusantara yang meskipun belajar islam di timur tengah, menuliskan naskah pengajaran Islam dengan aksara Jawa.
"Ketika berada di puncak keilmuan, yang muncul adalah kita bersahabat dengan apa yang kita teliti," ujarnya.
Karenanya KH Ahmad Baso berharap semakin banyak kajian pesantren yang tidak hanya mengamati hasanah pesantren saja, tetapi juga berusaha menghidupkan dan melestarikan hasanah pesantren. Ia pun yakin kader muda PCNU Kota Malang mampu melakukannya. [dutaislam.com/gg]
