![]() |
Napi Teroris. Foto: Istimewa |
Hal ini diungkapkan Peneliti pada Divisi Riset Psikologi Sosial Terapan atau Division for Applied Sosial Psycology Research(DASPR) Daya Makara Universitas Indonesia (UI) Vici Sofianna Putera sebagaima dilansir NU Online, Rabu (16/05/2018) lalu.
Vici mengatakan, di Indonesia ada pola di mana orang tua apalagi ibu sangat mengawasi anak-anaknya bahkan sampai si anak menikah, berkeluarga dan mempunyai anak. Hal ini menurutnya membawa sisi positif. Karena seorang anak akan mempertimbangkan pendapat ibunya dalam menentukan sebuah langkah.
Berdasarkan pengalaman terjun sebagai peneliti dan mewawancarai narapidana terorisme (napiter), banyak napiter yang menjawab tidak peduli dengan istri bahkan anaknya. Tetapi saat ditanya apakah ingat ibu, napiter bahkan menangis dan ingin kembali ke pangkuan ibu mereka. Mereka biasanya sadar bahwa bergabung dengan kelompok radikal dan melakukan tindakan teror adalah kesalahan.
“Sangat berbahaya bila seseorang yang terindikasi mengikuti kelompok radikal mulai memutuskan hubungan dengan orangtua mereka. Berani mengatakan orangtua kafir, ini yang memang sangat bahaya bila hubungan ini terputus,” ujarnya.
Vici meyakini setiap orang sebenarnya merasa ada kedekatan dengan ibunya. Setiap orang memiliki perasaan bahwa ibu adalah orang yang berperan sehingga patut didengarkan.
“Ibu tahu dari kecil, mengurus sejak kecil. Ibu pasti mampu mengubah paham radikal, sehingga orang tidak mau melakukan aksi teror,” paparnya. [dutaislam.com/pin]
Keterangan:
Diolah dari NU Online
