Melihat Dengan Mata Batin, Dua Hal Ini Akan Didapati Manusia
Cari Berita

Advertisement

Melihat Dengan Mata Batin, Dua Hal Ini Akan Didapati Manusia

Duta Islam #03
Senin, 30 April 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Alam semesta merupakan ciptaan Allah SWT. Foto: Istimewa
Oleh Kuswaidi Syafiie

DutaIslam.Com - Sesungguhnya berapakah jumlah wujud itu? Satu, dua, tiga atau sampai tak terhingga dengan keanekaragaman yang tak terkira-kira? Di panggung kehidupan yang senantiasa bergemuruh dan selalu menagih perhatian ini, kita bisa dengan mudah menyaksikan aneka warna, aneka rupa, aneka bentuk dan berbagai macam penampilan makhluk-makhluk. Bahkan sampai terkesan tak terhingga.

Secara substansial, ternyata wujud itu sebenarnya hanyalah satu. Bagaimana mungkin tidak, bukankah segala yang aneka itu berasal-usul dari yang satu juga? Tidak hanya itu. Bukankah segala yang aneka itu juga tidak bisa lepas dari genggaman Allah sebagai satu-satunya wujud yang mutlak? Bukankah hakikat keberadaan segala yang aneka itu adalah keberadaan hadirat-Nya? Segala yang aneka itu tidak mungkin ada dan tidak mungkin eksis tanpa-Nya.

Keanekaragaman itu tak lain merupakan "sempalan" atau derivasi dari secuil kemahaanNya saja yang tidak akan pernah memiliki otonomi dan kemutlakan untuk dirinya sendiri. Keanekaragaman itu merupakan pengejawantahan dari dimensi lahiriah-Nya atau bahkan malah dimensi lahiriahNya itu sendiri. Sebagai dirinya sendiri, segala yang aneka itu senantiasa berada dalam "ruang" yang seolah-olah, tak lebih dan tak kurang: seolah-olah ada, seolah-olah eksis dan seolah-olah berbeda antara yang satu dengan yang lain. Sebenarnya semua itu satu warna sebagai ketiadaan yang menganga.

Selain dimensi lahiriah yang tidak lain adalah alam semesta ini, wujud tunggal yang mutlak itu juga memiliki dimensi batiniah. Yaitu, nama-nama Allah yang senantiasa beroperasi sesuai dengan profesi masing-masing. Obyek garapan dari nama-nama itu adalah seluruh anasir alam raya. Tidak ada satu atom pun yang luput dari garapan nama-nama itu. Seandainya nama-nama itu mengundurkan diri setitik debu, dari sebuah pohon, dari sebuah bangunan, maka semua itu akan lenyap seketika, tanpa bekas dan tanpa sisa sedikit pun. Demikian pula kalau nama-nama itu undur diri dari segenap alam semesta, maka segalanya itu akan kembali lagi ke lumbung ketiadaan sebagaimana segala sesuatu belum bermula.

Hubungan nama-nama keilahian dengan seabrek garapannya itu merupakan suatu kepastian. Sebab, makna dari nama-nama itu jelas-jelas konotatif terhadap segala sesuatu yang bertebaran di alam semesta. Tak ada satu pun nama hadirat-Nya yang nganggur. Pun, tidak ada sesuatu yang terlepas dari cengkraman nama-Nya. Karena itu, secara logis dapat dipastikan bahwa namaNya itu adalah "sesuatu" di alam semesta. Dan sesuatu di alam semesta tak lain merupakan nama-Nya. Kalau demikian, coba tunjukkan yang manakah yang bukan hadirat-Nya? Sedang nama dan dzat Allah tidak terpisahkan kecuali hanya dalam penjelasan tentang keduanya.

Antara dimensi lahiriah dan dimensi batiniah keilahian itu sesungguhnya tidak ada demarkasi sama sekali. Akan tetapi persoalannya akan menjadi lain ketika yang kita pakai untuk mengamati hanyalah mata kepala belaka. Pasti yang bisa kita saksikan adalah makhluk-makhluk yang empirik semata. Di sini, makhluk-makhluk tidak bisa tampil sebagai dimensi lahiriah-Nya, tapi hanya tampak sebagai onggokan-onggokan yang profan, penuh kekurangan, mengalami kerusakan dan pada akhirnya akan ambruk dan musnah oleh gilasan waktu.

Agar tidak terlihat profan, agar tidak terkesan imanen semata, kita mesti melihat alam raya ini dengan kekuatan mata batin, dengan bashirah. Dengan penglihatan spiritual ini, kita akan diantarkan pada dua "kenyataan" sekaligus. Pertama, kemutlakan Allah di balik segala keterbatasan alam raya. Sebagaimana seorang salik yang menemukan samudera raya tak bertepi yang bersemayam di balik setetes embun yang dijumpainya.

Kedua, sesungguhnya tidak ada apa-apa atau siapa pun selain hadiratNya. Secara hakiki, seluruh ada atau wujud tak lain adalah ada-Nya juga. Tidak mungkin betul-betul ada wujud yang lain. Allah itu senantiasa sendiri, sampai kapan pun. Nabi Muhammad Saw bersabda: "Allah ada dan tidak ada apa pun yang bersama-Nya. Dia sekarang adalah sebagaimana yang dulu juga." Wallahu a'lamu bish-shawab. [dutaislam.com/pin]

Kuswaidi Syafiie adalah penyair, juga pengasuh PP Maulana Rumi Sewon Bantul Yogyakarta. Tulisan ini diambil langsung dari akun FB Kuswaidi Syafiie. 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB