"Tajamnya" Lisan, "Lukanya" Tak Terobati
Cari Berita

Advertisement

"Tajamnya" Lisan, "Lukanya" Tak Terobati

Duta Islam #02
Sabtu, 03 Februari 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Ilustrasi: Istimewa
Oleh Ahmad Rofiq

DutaIslam.Com - Puji dan syukur hanya milik Allah. Mari kita syukuri anugrah dan karunia Allah yang tak terhingga. Hanya karena anugrah dan pertolongan-Nya, kita sehat afiat dan dapat melaksanakan aktifitas kita. Jangan lupa niatkan ibadah, karena kita ada di dunia ini, hanyalah untuk beribadah dan mengabdi kepada-Nya. Shalawat dan salam mari kita wiridkan mengiringi shalawat Allah dan para Malaikat-Nya pada Baginda Rasulullah Muhammad saw. Semoga kasih sayang Allah meluber kepada keluarga beliau, sahabat, dan para pengikut yang istiqamah meneladani beliau. Insyaa Allah semua urusan kita dimudahkan oleh Allah, dan di akhirat nanti kita mendapat syafaat dan perlindungan beliau.

Saudaraku, beberapa hari belakangan ini, viral di media sosial, “kemarahan” beberapa pimpinan ormas Islam di luar Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, akibat terpicu oleh ceramah seorang pejabat lembaga yang mestinya mengayomi, melindungi, dan melayani masyarakat dan warga negara. Pasalnya, pejabat tersebut, begitu semangat ingin bekerjasama dari tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan dengan kedua ormas Islam tersebut. Sampai di sini sebenarnya, masih bisa difahami. Akan tetapi ketika kemudian ada kalimat, “kita tidak perlu bekerjasama dengan ormas Islam lainnya, karena mereka mau merontokkan NKRI”.

Saudaraku,  sebagai manusia biasa siapapun bisa keliru atau salah. Karena itu sekiranya itu bisa dimaafkan tentu akan lebih baik. Sabqu l-lisan atau “terpelesetnya lisan” dalam fatwa.islamweb.net disebut sebagai kesalahan atau kekeliruan yang termaafkan. Sesungguhnya terpelesetnya lisan sendiri adalah termasuk kekeliruan yang bisa dimaafkan, karena itu tidaklah dianggap, apa yang terjadi pada lisanmu dengan tanpa sengaja, walaupun secara lahiriyah memang dilarang karena tidak adanya kesengajaan. Rasulullah saw mengingatkan:

قال صلى الله عليه وسلم:إِنَّ اللَّهَ قَدْ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ، وَالنِّسْيَانَ، وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ.  رواه ابن ماجه وغيره وصححه الألباني.

“Sungguh Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah melewatkan dari umatku : keliru (khatha’), lupa (nis-yan), dan apa yang seseorang karena dipaksa” (Riwayat Ibnu Majah)

Meskipun demikian dalam kenyataannya, memaafkan - yang menjadi indikator ketaqwaan seseorang – tidak mudah. Apalagi jika terpelesetnya lisan itu dilakukan oleh seorang pejabat besar dan bicara dalam kepentingan makro mengelola sebuah negara bangsa, sudah barang tentu berisiko sangat tinggi. Dalam bahasa anak muda sekarang “mulutmu harimaumu”. Bahasa santunnya, “lisan adalah jendela kepribadian dan hati seseorang”. Seseorang yang tutur katanya baik, maka sesungguhnya ia menggambarkan keadaan bahwa hatinya adalah baik.

Sebaliknya, lisan juga membawa manfaat yang sangat besar jika digunakannya secara benar. Lisan juga bisa menjadi indikator kualitas keberagamaan seseorang. Imam al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan:

عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْمُسْلِمِينَ أَفْضَلُ قَالَ:  مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ [ متفق عليه ]

Riwayat dari Abu Musa berkata, Rasulullah saw ditanya seseorang: “(Wahai Rasulullah) mana orang-orang Islam yang lebih utama?” Beliau bersabda: “Orang yang orang Islam (lainnya) merasa selamat (nyaman, tenteram) dari (tutur kata) lisannya dan (kekuasaan) tangannya” (Muttafaq ‘alaih).

Kisah berikut, kiranya perlu disimak secara saksama sebagai pelajaran yang sangat berharga. Suatu saat, Khalifah Harun Al-Rasyid sedang melaksanakan haji. Oleh pasukannya, - seperti para pejabat sekarang - semua tempat yang akan dilaluinya ditutup untuk jamaah lainnya. Pada saat Khalifah sedang melakukan sa'i (lari kecil) antara Shafa dan Marwah seorang diri, dan  disaksikan ribuan jamaah, salah seorang dari mereka kepada ulama (Abdullah bin Abdul Aziz al-Amri):, "Wahai tuan guru, apakah benar seorang khalifah yang sedang ibadah, mencegah rakyatnya beribadah kepada Allah?”

Syeikh al-Amri menjawab: “Apakah kamu ingin aku mencegah kedzaliman ini, sementara kamu tidak berani melakukannya? Orang yang tidak mampu membela dan menegakkan kebenaran adalah syetan bisu”. Setelah itu, Abdullah Al-Amri berjalan ke tempat sa'i, tibalah di dekat bukit Shafa, saat itu khalifah baru saja tiba di situ. Berkatalah al-Amri dengan nada agak tinggi :, “Haruuun ….!” (tanpa menyebut jabatan khalifah). Mendengar suara keras itu, jamaah haji –termasuk khalifah– menengok ke arah sumber suara. Setelah khalifah Harun mengetahui siapa yang memanggilnya, segera beliau menjawab, “Labbaika ya amin.”

Syeikh al-Amri melanjutkan: “Naiklah ke bukit Shafa! Lihatlah ke Ka'bah, berapakah jumlah manusia di sana?” Khalifah menjawab: “Tidak ada yang bisa menghitungnya kecuali Allah”. Masih dengan nada tinggi Al-Amri melanjutkan: “Ketahuilah, setiap orang dari mereka akan diminta pertanggungjawaban oleh Allah atas dirimu dan seluruh rakyatmu. Lihatlah pada dirimu! Apakah pantas engkau perlakukan umat seperti ini? Kamu melaksanakan sa’i sendirian, sementara umatmu harus berhenti menahan diri”?  Mendengar ucapan ulama tersebut, menangislah khalifah seraya mengakui kesalahannya yang dilakukan itu.

Saudaraku, kita dapat mengambil pelajaran bahwa lidah itu mempunyai peran yang sangat penting dalam menegakkan kebenaran. Dan benarlah pepatah “Lidah lebih tajam dari pedang”. Allah SWT memuji orang-orang yang mengaktifkan lidahnya untuk berda'wah.

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

 “Siapakah yang lebih baik perkataannya dari pada orang-orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri”. (QS. Fushshilat: 33).

Suatu saat Imam Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111 M) bertanya kepada muridnya : “Apa ynag paling tajam di dunia ini?” Murid-murid beliau menjawab: “Pedang”. Al-Ghazali mengagakan dengan tutur bahasa yang halus dan tidak mau mengecewakan santri-santri beliau: “Jawaban kalian benar, tetapi ada yang lebih benar, bahwa yang paling tajam di dunia ini adalah lidah (lisan)”. Karena melalui lidah, manusia dengan mudahnya menyakiti hati dan melukai perasaan orang lain. Lidah dapat menyeret manusia ke dalam neraka.

Riwayat dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia berkata yang baik atau – kalau tidak dapat berkata yang baik -hendaklah ia berdiam diri” (Muttafaq ‘alaih). Dalam bahasa sehari-hari, “diam adalah emas”. Rasulullah saw dalam riwayat dari Sahl bin Sa’ad ra. juga menegaskan : “Barangsiapa yang dapat memberikan jaminan kepadaku tentang kebaikan apa yang ada di antara kedua tulang rahangnya – yakni mulut atau lidah – serta antara kedua kakinya – yakni kemaluannya - maka saya memberikan jaminan syurga padanya” (Muttafaq ‘alaih).

Saudaraku, lisan adalah bagian dari kehormatan kita. Marilah kita jaga baik-baik, karena dengan lisan kita, menjadi indikator apakah kita beriman kepada Allah dan hari akhir. Karena orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hanya akan berbicara dan bertutuer kata yang baik. Apabila tidak bisa bertutur kata yang baik, maka lebih baik diam. Karena diam itu adalah emas. Tentu akan lebih baik, apabila kita mampu menggunakan lisan kita untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, maka kita bisa menggunakannya untuk berdzikir dan mengingat Allah di mana saja dan kapan saja, berdiri, duduk, dan berbaring. Dengan berdzikir hati kita menjadi nyaman san thuma’ninah. Allah SWT mengingatkan:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

 “(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram”.

Semoga Allah senantiasa melimpahi kita kebenihan hati, kejernihan fikiran, dan kefashihan lisan mampu menjaganya dari omongan dan ucapan yang tidak berguna. Mari kita jaga lisan kita, karena “tajamnya lisan, lukanya tidak terobati”. Meskipun bisa dimaafkan, namun tak terlupakan. [dutaislam.com/gg]

Ngaliyan, Semarang, 3/2/2018.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB