Mengungkap Makna Rahasia Alif Lam Mim
Cari Berita

Advertisement

Mengungkap Makna Rahasia Alif Lam Mim

Duta Islam #03
Jumat, 23 Februari 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
Oleh Kuswaidi Syafiie

DutaIslam.Com - Judul di atas (sebagaimana juga yang mirip dengannya seperti Alif Lam Ra, Ha Mim, Ya Sin dan lain sebagainya) dalam wacana tafsir Quran disebut dengan istilah al-huruf al-muqaththa'ah (huruf-huruf "terputus") yang berada di awal beberapa surat dalam Al-Qur'an. Yakni, huruf-huruf tersebut dibaca satu-persatu, tidak digabungkan menjadi suatu kata atau idiom.

Apakah sesungguhnya makna dari huruf-huruf tersebut? Yang jelas firman Allah pasti penuh makna. Bahkan maknanya sampai tidak terhingga. Akan tetapi kapasitas dan paradigma para penafsir Al-Qur'an tentu sangatlah beraneka ragam. Dari yang mulai interpretasinya sangat sederhana hingga yang sangat filosofis dan mendalam. Dari yang sangat hati-hati sampai yang begitu leluasa mengulasnya.

Bahkan salah satu kitab tafsir paling ringkas untuk para pemula, yaitu kitab Tafsir al-Jalalayn yang ditulis oleh Syaikh Jalaluddin as-Suyuthi (1445-1505 M) dan Syaikh Jalaluddin al-Mahalli (wafat 1459 M), dengan tegas "menyerah" untuk memberikan pemaknaan terhadap huruf-huruf tersebut dengan menyatakan: "Wallahu a'lamu bi muradiHi bi dzalik/ Allah yang lebih mengetahui apa yang dikehendakiNya dengan memfirmankan huruf-huruf tersebut."

Syaikh Ahmad Mushthafa al-Maraghi (1881-1945 M) dalam kitab tafsirnya menandaskan bahwa huruf-huruf tersebut berfungsi untuk menyadarkan para pemirsa dan pembaca terhadap ayat-ayat sesudahnya. Dalam konteks judul di atas sebagaimana termaktub di awal surat al-Baqarah, huruf-huruf tersebut didedahkan untuk mengarahkan pikiran dan renungan para pembaca terhadap sifat Al-Qur'an yang tidak akan pernah bisa ditandingi oleh karya-karya sastra yang paling andal sekalipun di sepanjang zaman.

Lain Syaikh Mushthafa al-Maraghi, lain pula Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani (wafat pada 1166). Dalam tafsirnya yang terdiri dari enam jilid (Istanbul: al-Markaz al-Raisi, cetakan kedua, 2009), Sulthan al-Awliya itu mengisyaratkan bahwa Alif Lam Mim di permulaan surat al-Baqarah tersebut secara spesifik dikonotasikan terhadap Nabi Muhammad SAW.

Bagi beliau, huruf-huruf itu merupakan simbol sapaan untuk Nabi Terkasih Ilahi: "Wahai manusia sempurna yang pantas mengemban mandatKu, yang tekun menyingkapkan rahasia-rahasia rububiyyahKu, yang menunjukkan nilai-nilai agung substansi zatKu yang mengalir pada seluruh semesta, itulah al-Kitab yang sama sekali tidak terkandung keraguan di dalamnya," (QS. al-Baqarah: 1-2).

Dalam perspektif sufisme Syaikh 'Abdul Qadir al-Jailani diungkapkan bahwa nabi akhir zaman itu memang sengaja diproyeksikan oleh Allah SWT sebagai hambaNya yang paling otoritatif untuk menampung dan menjalankan missi khilafah atau kepemimpinan bagi semesta kehidupan. Karena itu, beda dengan para nabi dan rasul sebelumnya yang cakupan risalah mereka bersifat lokal dan temporal, Nabi Muhammad SAW diutus untuk semesta alam hingga zaman yang fana ini berakhir dengan datangnya kiamat. Itulah pula sebabnya kenapa di kalangan seluruh makhluk Rasulullah saw merupakan aqrabul wasail ilallah, paling dekatNya perantara kepada hadiratNya.

Lain lagi dengan hasil investigasi spiritual yang dituturkan oleh Syaikh Muhyiddin ibn 'Arabi (wafat pada 1240 M) dalam kitab tafsirnya. Menurut asy-Syaikh al-Akbar itu, Alif merupakan isyarat atau simbol yang menunjuk kepada awwal al-wujud, yaitu asal-usul dari segala yang ada yang tidak lain adalah Allah SWT itu sendiri.

Lam adalah lambang yang merujuk kepada al-'aql al-fa''al, yaitu akal kreatif yang sedemikian cekatan dalam melakukan tindakan yang dipersonifikasikan oleh Malaikat Jibril. Itulah perantara wujud yang menerima aliran sungai realitas ilahiat dari hulu segala sesuatu (Allah al-Awwal) dan mengalirkannya hingga ke kesudahan semua yang ada (Allah al-Akhir).

Mim merupakan suatu penanda yang mengacu terhadap diri Nabi Muhammad SAW yang tampil dalam kehidupan ini sebagai puncak kesempurnaan dari seluruh rangkaian wujud. Artinya adalah bahwa melalui Sayyidul Kawnayn yang secara empirik lahir di Mekkah dan wafat di Madinah itu semesta yang fana ini mengalami titik kulminasi kegemilangan. Yakni melalui cirmin ilahiat paling terang itulah Allah SWT dengan lebih seksama menyaksikan peran-peran diriNya sendiri yang dipantulkan oleh Nabi Pungkasan dalam kehidupan yang nyata.

Itulah sebabnya kita kemudian bisa mengafirmasi sebuah hadis yang menyatakan bahwa sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana keadaannya sendiri semenjak Allah SWT menciptakan langit dan bumi. Yakni bahwa berputarnya zaman itu berlangsung menuju puncaknya sebagaimana rute yang sudah diimajinasikan dan diplot oleh hadiratNya jauh sebelum ruang dan waktu tergelar.

Maka menjadi gamblang bagi diri kita bahwa zaman Rasulullah SAW adalah zaman keemasan secara spiritual dan generasi beliau jelas merupakan generasi yang paling unggul dan paling baik sebagaimana yang telah disabdakannya sendiri: "Khayr al-qurun qarni, tsumma alladzina yalunahum, tsumma alladzina yalunahum."

Kemudian setelah itu dengan perlahan tapi pasti kehidupan jadi makin merosot nilai moral dan spiritualnya, terus makin lama makin parah hingga akhirnya membentur datangnya huru-hara kiamat. Moga kita semua husnul khatimah, amin. [dutaislam.com/pin]

Kuswaidi Syafiie, pengasuh Pondok Pesantren Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Yogyakarta. 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB