(14) Sang Wali Bingung Mendengar Sapu, Sandal dan Lainnya Berdzikir Allah, Tapi Gus Dur Tertawa
Cari Berita

Advertisement

(14) Sang Wali Bingung Mendengar Sapu, Sandal dan Lainnya Berdzikir Allah, Tapi Gus Dur Tertawa

Jumat, 12 Januari 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: ilustrasi Wali Paidi
DutaIslam.Com - Wali Paidi tidak tahu apa yang dialaminya saat ini. Dia sering mendengar benda-benda yang berada di sekitarnya berdzikir. Mulai sapu lidi yang biasa dipergunakan, sandal para santri yang ditatanya, semuanya berdzikir.

Sampai suatu pagi, Wali Paidi dipanggil mbah romo kiai, dan seperti biasanya, beliau menemuinya di teras ndalem, didampingi kopi plus rokok kretek kesayangannya.

"Nak, apa yang kamu alami itu hal yang wajar saja, kamu jangan risau. Setiap orang yang belajar membersihkan hati dan mengajaknya untuk berdzikir setiap saat, maka akan mengalami seperti apa yang kamu alami sekarang ini. Bahkan mendengar lolongan anjing pun akan terdengar seperti suara orang yang berdzikir. Itu semua pantulan dari hatimu. Kamu pasti ingat dengan hadist yang menceritakan ketika Nabi mendengar kerikil yang dipegangnya itu, terdengar nyaring sedang berdzikir," kata mbah romo yai.

"Inggih, kiai".

"Besok kamu berangkatlah ke Malang, berziarahlah ke makam Habib Abdullah Bilfaqih dan ayahnya, Habib Abdul Qadir Bilfaqih. Tapi sebelum kamu duduk, bacalah salam ini," romo kiai menyerahkan secarik kertas kecil kepada Wali Paidi. Diterima dengan penuh takdzim, tanpa bertanya doa itu bid'ah, sesuai sunnah atau tidak. Pokoknya dia terima. Husnudzan paling utama.

"Bacalah!" perintah romo kiai.

"Salamullahi, ya saadah…..dan seterusnya," Wali Paidi langsung membacanya melagukan salam tersebut dalam syiir khas pesantren, yang biasa disebut Bahar Thowil dalam Ilmu Aridl (gubahan syiir Arab).

"Salam itu memang sudah umum, dan di setiap makam wali, banyak tergantung ucapan salam itu. Andai nanti ketika kamu sudah sampai di makam habib, dan habib tidak berada di makam, maka ketika habib mendengar ucapan salammu itu, insyaAllah habib akan kembali pulang ke makamnya dan menemui kamu," jelas romo kiai.

"Inggih kiai," sekali lagi Wali Paidi mengiyakan, tunduk, patuh.

"Kamu naik sepeda motor si Sofyan saja!" Sofyan adalah putra romo kiai.

Besoknya, Wali Paidi berangkat ke Malang, ke pemakaman umum Kasin. Romo kiai mengatakan kalau makam habib Abdullah dan Habib Abdul Qadir berada di pemakaman umum Kasin. Hanya itu petunjuk yang diberikan.

Sementara, Wali Paidi tidak tahu di mana daerah Kasin itu. Wali Paidi tidak berani bertanya lebih jelas pada romo kiai karena menjaga tata krama. Wali Paidi manut dan berusaha melaksanakan perintah romo kiai tanpa banyak bertanya dan protes.

Sesampainya di Malang, Wali Paidi langsung menuju alun-alun Kota Malang. Setelah memarkirkan sepeda, Wali Paidi clingak-clinguk mencari tukang parkir. Alhamdulillah, tidak lama kemudian ada tukang parkir yang menghampirinya.

Setelah mendapat penjelasan dari tukang parkir tersebut soal makam habib, Wali Paidi langsung berangkat ke daerah Kasin, sesuai petunjuk yang diterima. Kira-kira sepuluh menitan. Wali Paidi sudah berada di daerah Kasin.

"Sekarang tinggal mencari di mana letak pemakaman umum Kasin," bathin Wali Paidi.

Wali Paidi bertanya kepada orang-orang yang ditemuninya. Menurut keterangan, pemakaman umum Kasin ternyata ada dua. Biar jelas jawaban, ia menerangkan kalau berniat ziarah ke makam Habib Abdullah Bilfaqih dan abahnya, Habib Abdul Qadir Bilfaqih.

Setelah mendapat petunjuk yang jelas mengenai arah ke makam, Wali Paidi melanjutkan perjalanan. Namun Wali Paidi tetap tidak dapat menemukan makam tersebut. Ada saja orang yang menunjukkan arah yang salah meski letak makam sudah dekat sekali. Jadinya, ia muter-muter saja di wilayah Kasin hingga setengah jam lebih.

Akibatnya, Wali Paidi kecapaian. Dia menghentikan sepeda motornya di tepi jalan. Turun dari sepeda, sejurus kemudian Wali Paidi mengeluarkan rokok dan menyalakannya. Di tengah-tengah merokok itu, Wali Paidi mulai tawasulan, dalam hati, ia berdoa dan berucap begini,

"Mbah Habib Abdul Qadir, mbah Habib Abdullah, saya mau ke makam panjenengan, tolong tunjukkan di mana makam panjenengan".

Mantap betul, Wali Paidi mulai naik sepeda motornya dan melanjutkan perjalanan. Ia hanya mengikuti apa kata hatinya. Kira-kira baru berjalan 50 meter, Wali Paidi mencium bau harum semerbak,

"Alhamdulillah makam mbah habib sudah dekat," batinnya.

Wali Paidi mengikuti bau harum yang diciumnya itu, dan tidak begitu lama akhirnya Wali Paidi sudah berada di depan makam umum Kasin. Ia masuk makam, berputar dari gerbang samping. Tampak di tengah makam itu ada bangunan kecil yang atasnya ada kubah hijau. Di bawah kubah inilah makam Habib Abdul Qadir Bilfaqih dan putranya, Habib Abdullah Bilfaqih.

Ketika berada tepat di depan makam yang ada pagar stainlessnya, Wali Paidi membaca salam yang dicatatkan oleh romo kiainya tadi,

"Salaamullahi ya saadah minarrohmani yaghsyakum…."

Baru satu bait dibaca, hawa di sekitar Wali Paidi terasa sudah lain dari yang tadi. Saking terkejutnya, Wali Paidi sampai terdiam sebentar, lalu dia melanjutkan membaca syiir Salam itu sampai selesei. Ia menunduk penuh ta’dzim. Wali Paidi merasa ada dua sosok agung yang mengawasinya dari dalam.

Setelah selesai membaca syiir Salam, Wali Paidi beranjak ke dekat makam dan duduk, memulai membaca tahlil.

Baru saja Wali Paidi duduk, tiba-tiba ada suara bedug yang ditabuh, dum…..diiringi hawa yang menerpa tubuh Wali Paidi. Ketika hawa itu menerpa tubuhnya, seluruh tubuh Wali Paidi serentak berdzikir… Alah…Allah…Allah….

Wali Paidi membaca tahlil diiringi dengan suara bedug dum….Allah…Allah…Allah/ dum….Allah…Allah…Allah… ketika hawa itu menerpa Wali Paidi, serentak seluruh tubuhnya berdzikir……

****

Wali Paidi menyelesaikan pembacaan tahlilnya tepat adzan Maghrib berkumandang. Ia berjalan mundur ketika keluar dari makam dan langsung menaiki sepedanya mencari masjid terdekat. Wali Paidi mengikuti adzan yang didengarnya berniat shalat. Tapi semakin mendekat, suara adzannya justru kian menjauh. Akhirnya, Wali Paidi memutuskan untuk putar balik mencari masjid yang lain. Wali Paidi merasa masjid yang dituju tidak mau menerimanya.

Wali Paidi menyusuri jalan ke arah alun-alun Kota Malang. Dia berjalan pelan, bersiap kalau ada masjid yang dilaluinya berharap akan berhenti. Ketika Wali Paidi berada di depan rumah makan Cairo (resto menu Timur Tengah), hatinya menyuruh belok kiri.

Setelah berjalan 20 meteran, Wali Paidi melihat ada masjid di sebelah kiri jalan, masjid tersebut posisinya agak masuk ke dalam. Dia memasukkan sepedanya dan parkir di halaman masjid itu. Terlihat sebagian jamaah sudah keluar dari masjid karena sholat Maghrib sudah selesai.

Wali Paidi melangkah masuk mencari kamar kecil, lalu keluarlah seorang yang kulitnya agak hitam dan berambut agak gondrong dari dalam masjid, yang seakan menyambutnya, "melihat dari sarungnya yang ngelinting dan baju kokonya yang putih lusuh serta mangkak mburik, mungkin orang ini tukang becak," gumamnya.

Wali Paidi kaget (dia sering kegetan memang), ketika bertanya padanya di mana letak kamar kecil itu, wajah orang tersebut terlihat jelas mirip wajah Arab habaib. Sorot mata dan wajahnya sangat tajam.

Ke kamar kecil, kencing Wali Paidi mobat mabit tidak tenang. Dia merasa berdosa karena mengira habib tersebut sebagai adalah tukang becak yak nah. Habis dari kamar kecil, dia berniat meminta maaf kepadanya.

Anehnya, ketika Wali Paidi selesai berwudlu dan mau masuk ke masjid, habib yang dimaksud sudah tidak ada. Disusul ke parkiran, tidak ada, ke dalam masjid, juga tidak ada. Wali Paidi merasa menyesal karena gampang berburuk sangka kepada orang lain, gampang menilai seseorang dari tampilan luarnya saja.

Wali Paidi tidak tenang ketika melaksanakan sholat Maghrib. Dalam shalatnya, dia meminta kepada Allah untuk dipertemukan dengan habib tersebut. Mengakhiri sholat, mengucapkan salam, menoleh ke kiri, ajibnya, habib yang dicarinya sudah berdiri di samping. Ya Allah, ini siapa sebetulnya?

Wali Paidi berniat mendekat, mau mencium tangannya, tapi habib muda tersebut langsung lari ke luar masjid menuju jalan raya terus, hilang entah kemana.

"Subhanallah, ternyata di Kota Malang yang hiruk pikuk dunia ini masih ada kekasih Allah yang berseliweran, seharusnya aku tadi minta kepada Allah tidak hanya bertemu, tapi juga minta bisa diberi kesempatan untuk mencium tangannya," gumamnya.

Setelah berdzikir sebentar, datanglah seorang pemuda pengurus masjid mendekatinya sambil memberi secangkir teh jahe kepadanya, dan Wali Paidi melihat banyak habib-habib sepuh mulai berdatangan memasuki masjid. Rupanya, sehabis Maghrib di masjid ini, diadakan rutinan membaca Raatibul Haddad.

Wali Paidi berniat untuk keluar karena merasa tidak pantas mengikuti acara tersebut. Bagaimana tidak, yang datang semuanya berjubah, sedang dirinya bercelana jeans dan berkaos oblong hitam dengan gambar Gus Dur sedang tertawa lebar. Hahaha.

Ketika Wali Paidi berdiri, dia mendengar suara tanpa wujud yang berkata kepadanya (hatif), "kamu mau pergi ke mana, apakah kamu tidak malu menolak undangan Nabi Muhammad?"

Wali Paidi duduk kembali, mengurungkan niatnya untuk keluar masjid. Dia mengikuti pembacaan Raatibul Haddad sampai selesai. Wali Paidi merasa malu sekali kepada habib-habib sepuh yang hadir di majelis, terutama kepada Nabi Muhammad yang mengundangnya.

Lalu, siapa habib yang keluar dari masjid tadi? Wali Paidi masih bertanya-tanya? Jangan-jangan memang tukang becak betulan? Bersambung! [dutaislam.com/ab]

Baca edisi 15: Wali Paidi Lupa Mulan Jameela Karena Ucapan Mas Sakti Ini

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB