Sewindu Kepergian Gus Dur dan Pemilu 2019
Cari Berita

Advertisement

Sewindu Kepergian Gus Dur dan Pemilu 2019

Duta Islam #02
Minggu, 31 Desember 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Gambar: Istimewa
Oleh Zaimuddin Ahya

DutaIslam.Com - Tak terasa sudah sewindu Gus Dur meninggalkan kita. Bertepatan dengan sewindu wafatnya Gus Dur, satu tahun lagi kita akan memasuki tahun politik: Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Dan bagi beberapa daerah beberapa bulan lagi akan memilih pemimpin daerahnya. Lalu apa hubungannya, sewindu kepergian Gus Dur, pemilihan kepala daerah dan Pemilu 2019?

Memilih pemimpin, baik skala lokal, regional ataupun nasional, adalah hajat bangsa yang bertujuan mengupayakan kesejahteraan bersama dengan memilih wakil rakyat terbaik. Namun, pada prosesnya tak jarang terjadi percikan-percikan yang kadang memunculkan gesekan di masyarakat. Gesekan-gesekan tersebut sebenarnya tak masalah,  selagi terjadi pada tingkat yang wajar dan sehat. Dalam arti tidak berlanjut dan mendorong kepada perpecahan.

Kalau kita melihat perkembangan terakhir seperti yang terjadi pada pemilihan kepala daerah belum lama ini,  tampaknya gesekan yang terjadi sudah di luar batas kewajaran,  dan—dugaan penulis, semoga tidak benar—berpotensi menuju kepada perpecahan. Misalnya sampai ada masyarakat yang memasang spanduk di depan masjid bertuliskan Tidak akan menyalati (Shalat Jenazah) pemilih calon tertentu.

Penulis dan beberapa teman pernah mendiskusikan hal di atas, dan khawatir jika gesekan-gesekan semacam itu merembet dan terjadi daerah lain saat menunaikan hajat bersama: memilih pemimpin. Apalagi jika hal itu terjadi pada Pemilu tahun 2019 yang meilbatkan seluruh warga Negara Indonesia.

Kekhawatiran ini beralasan, mengingat sekarangg kita sedang memasuki era informasi, bahkan lagi pada tahap ke genit-genit-nya. Begitu banyak perdebatan yang terjadi di media sosial, yang justru berujung kepada saling menghina satu sama lain, adalah salah satu contonhya.

Belajar dari Gus Dur
Supaya hal-hal di atas tidak terjadi atau merembet ke daerah lain, tentu para politisi harus berperan aktif dalam menjaga kesatuan bangsa, menghindarkan perang saudara, karena gesekan-gesekan di atas sedikit banyak terjadi lantaran pilihan politik yang berbeda.

Di sinilah relevan kita kembali melihat bagaimana sepak terjang Gus Dur dalam perpolitikan Indonesia. Gus Dur adalah salah satu contoh tokoh yang merelakan jabatannya demi menghindarkan perang saudara. Sikap Gus Dur yang lebih menghindarkan perang saudara daripada mempertahankan jabatan, tampak jelas pada saat Gus Dur dilengserkan dari kursi Presiden.

Sebenarnya bisa saja Gus Dur mempertahankan jabatan itu. Para simpatisan Gus Dur yang miliitan sudah siap membela Gus Dur. Namun, Gus Dur memilih mundur, karena tak ingin bangsa saling perang antarsesama saudara,  apalagi dengan alasan membela dirinya. Ada kata-kata Gus Dur yang populer dalam konteks ini, “Tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan mati-matian.”

Sikap seperti itulah yang patut dilanjutkan oleh para politisi generasi sekarang, atau istilahnya politisi zaman now. Jangan sampai niat baik untuk memimpin Indonesia, justru tak mengindahkan atau tak peduli dengan gesekan-gesekan yang terjadi di masyarakat. Atau dalam bahasa kasarnya,  jangan sampai keinginan untuk memangku sebuah jabatan, membuat seseorang meghalalkan segala cara, termasuk menimbulkan perpecahan di tingkat bawah.

Popularitas Palsu
Menyambut satu tahun sebelum masuk tahun politik,  atau mungkin beberapa bulan bagi daerah atau provinsi yang akan memilih pemimpin, banyak terlihat para politisi yang popularitasnya berangsur naik. Apakah naiknya popularitas karena diupayakan oleh para politisi itu sendiri,  atau alami dari penilaian masyarakat,  tak jadi soal.

Upaya meningkatkan popularitas bagi para calon pemimpin masa depan, bukanlah hal yang buruk. Bagaimanapun masyarakat akan memilih tokoh-tokoh yang dikenalnya. Namun, jika popularitas yang melambung tinggi tak diikuti dengan aksi nyata, atau jika popularitas hanya berhenti pada popularitas itu sendiri, dan tidak dijadikan sebagai kendaraan menyuarakan hak-hak rakyat, maka ini namanya pseudo populer, atau popularitas palsu.

Terkait popularitas palsu ini,  lagi-lagi relevan kita melihat apa yang telah dilakukan Gus Dur di masa silam. Gus Dur pada akhir tahun 1998, melakukan upaya pencegahan bangsa dari perpecahan. Waktu itu, setelah reformasi, banyak terjadi kekacauan di berbagai daerah, lantaran banyak pengikut Pak Harto (panggilan akrab mantan Presiden Soeharto),  tak puas dengan perlakuan berbagai pihak kepada Pak Harto.

Gus Dur menilai jika hal tersebut tidak disikapi secara hati-hati, berpotensi menggiring bagsa ini kepada perpecahan dan perang saudara. Gus Dur menemui Mantan Presiden Soeharto, Wiranto, dan BJ Habibi (waktu itu menjabat sebagai Presiden, menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri). Menurut Gus Dur, kekacauan yang terjadi akan reda jika tiga tokoh ini bersepakat menyudahi.

Langkah Gus Dur ini dinilai tidak populer. Namun, Gus Dur menjawab, ia tak peduli dengan popularitas. Dia tidak tega melihat bangsa ini hancur. (Majalah Tempo edisi 28 Desember 1998)

Memenuhi Panggilan Kejujuran 
Langkah Gus Dur yang tidak tinggal diam saat melihat bangsanya terancam perang saudara, dan bahkan berani mengambil langkah yang tak populer ini,  patut untuk direnungkan kita bersama generasi sekarang, khususnya para politisi yang sebentar lagi akan berikhtiar memimpin bangsa ini.

Langkah Gus Dur mengingatkan penulis kepada kata-kata seorang penulis, Day Milovich tentang panggilan kejujuran . Menurutnya, biarpun seseorang jujur dan tidak pernah tersangkut tindak pidana atau perdata, belum tentu punya panggilan kejujuran. Baginya, jika seseorang diam saat ada situasi kacau, maka orang tersebut tidak menerima panggijan kejujuran, dan tidak termasuk orang jujur.

Jika kita mengaku sebagai penerus Gus Dur, jujur saja tidaklah cukup. Kita harus memenuhi penggilan kejujuran yang telah dicontohkan oleh Gus Dur. Bukan malah memanfaatkan kekacauan untuk kepentingan atau merealisasikan ambisi pribadi. Memenuhi panggilan kejujuran ini sepertinya tidak gampang. Kata Gus Dur di berbagai akhir tulisannya, 'Banyak hal yang mudah dalam konsep, tapi sulit dalam praktik.' [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB