![]() |
Foto: Istimewa |
DutaIslam.Com - Ada pernyataan menarik dari mas Bramantyo, seorang budayawan dan seniman otentik dari Ngawi yang mengunjungi gubug kami tempo hari. Menurutnya, ada pergeseran corak para idola generasi muda yang bisa menjadi kanalisasi emosi mereka yang meledak ledak.
Pada dekade 70an dan 80an ada Rhoma Irama yang bisa menjadi kanalisasi kaum muda yang sedang resah oleh tekanan keadaan. Lewat lagu-lagunya yang kritis dan kaya tema, Rhoma mendobrak kepengapan sosial politik waktu itu
Kritik tajam dan keras yang disampaikan melalui syair lagu, seperti tercermin dalam lagu Hak Azasi, Pemilu, Indonesia, Nafsu Serakah, Badai Fitnah dan sebagainya telah mewakili perasaan masyarakat dan generasi muda pada zamannya. Akibatnya lagu-lagu tersebut bisa menjadi sarana mengekspresikan kegalauan jiwa
Selain Rhoma Irama, pada era ini juga muncul sosok Gombloh, Dul Sumbang dan Frangky Sahilatua. Meski tidak semassif pengaruhnya Rhoma, tapi mereka bisa menjadi kanalisasi bagi komunitas kaum muda tertentu.
Pada dekade 80an hingga akhir 90an muncul Iwan Fals dan SLANK. Keduanya menjadi idola dan ikon pemberontakan atas kemapanan situasi yang berujung pada kegelisahan anak muda.
Lagu-lagu Iwan pada saat itu tidak saja kritis tetapi juga heroik. Sore di Tugu Pancoran, Siang di Sebrang Istana, Wakil Rakyat, Tikus Kantor, Umar Bakri, Bongkar, Bento adalah beberapa contoh yang bisa ditunjuk bagaaimana tajamnya kritik Iwan atas situasi sosial pada zamannya sehingga mampu membangkitkan heroisme kaum muda
Hal yang sama juga terjadi pada Slank. Meski disampaikan dalam genre musik yang berbeda, syair lagu-lagu Slank juga sarat dengan kritik sosial dan pesan perdamaian. Lagu Aktor Intelektual, Anarkhi RI, Virus, Preman Urban (Jerry), Bendera Setengah Tiang, Birokrasi Komplek adalah beberapa lagu Slank yang bisa menjadi kanalisasi anak muda yang sedang resah
Akibatnya baik Iwan maupun Slank mejadi kanalisasi emosi dan penyalur kegelisahan kaum muda. Pengaruh mereka melampaui batas dan sekat-sekat sosiologis dan geografis. Hampir semua anak muda di Indonesia pada dekade 80an 90an mengenal dan menyanyikan lagu-lagu Iwan Fals dan Slank.
Sejak reformasi bergulir terjadi kekosongan figur idola anak muda. Ketika semua orang berani memberikan kritik tajam dan bebas berbicara di ruang publik, maka lagu-lagu Rhoma, Iwan dan Slank mulai mengalami penurunan daya dobrak. Meski tetap populer tetapi tidak lagi menjadi kanalisasi emosi yang efektif.
Dalam suasana vakum idola ini, pada akhir dekade 90an muncul sosok Habib Rizieq yang mengkesplorasi simbol agama dengan retorika yang agitatif dan provokatif. Kemunculan Rizieq segera menarik perhatian kaum muda yang sedang resah dan penuh gejolak sehingga dengan cepat dia menjadi idola dan simbol perlawanan terhadap tatanan kehidupan yang tidak adil.
Berbeda dengan figur idola sebelumnya yang menggunakan seni dan budaya sebagai instrumen kritik sosial yang tajam, Rizieq justru menggunakan simbol-simbol agama dan gerakan anarkhi unt melakukan kritik sosial. Meski sama-sama bisa menjadi kanalisasi gerakan sosial namun masing-masing memiliki dampak yang berbeda.
Meski bisa memancing anarkhi nanun kanalisasi yang terjadi dengan pendekatan kebudayaan tidak sampai mengancam integritas bangsa dan keberagaman karena tidak bersifat sektarian. Kekerasan yang timbul juga hanya bersifat spontan, lokal, tidak massif dan sistematis sehingga mudah dipadamkan dan diatasi.
Ini berbeda dengan kanalisasi yang menggunakan pendekatan sentimen keagamaan. Pendekatan ini bisa mengancam integritas bangsa dan keberagaman yang ada karena watknya yang sektarian. Anarkhi dan kekerasan yang timbul juga sulit dipadamkan karena sarat dengan rasa kebencian, permusuhan dan caci maki sekalipun dibungkus dengan bahasa dan simbol-simbol yang sakral dan suci.
Dalam kondisi demikian rasanya rindu pada cara-cara dan pendekatan kebudayaan yang manusiawi dan beradab dalam menjawab keresahan sosial. Kita rindu pada karya-karya seni budaya yang bisa menjadi kanalisasi emosi seperti zamannya Rhoma Irama, Iwan Fals, Slank dan para seniman lain seperti Rendra, Gombloh, Franky Sahilatua dan sejenisnya.
Memang hanya orang-orang yang beradab yang bisa tersentuh jiwa dan tergerak hatinya oleh gerakan seni dan kebudayaan. Mereka yang tidak lagi tersentuh dan tergerak dengan seni budaya dan hanya bisa digerakkan dengan semangat kebencian dan kekerasan maka sesungguhnya telah mengalami degradasi kemanusiaan dan peradaban
Apakah kita sedang menjadi bangsa biadab yang mengalami degradasi kemanusiaan karena lebih tertarik pada cara kekerasan dan permusuhan? Jika kita tidak lagi tersentuh dan tergerak oleh keindahan seni budaya dan mengalami kekeringan spiritualitas dalam beragama maka sesungguhnya sedang mengarah menjadi manusia biadab. Naudzubillah... [dutaislam.com/gg]
