Demi Ilmu, Imam At Thabari Pun Rela Membujang
Cari Berita

Advertisement

Demi Ilmu, Imam At Thabari Pun Rela Membujang

Sabtu, 02 Desember 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Al-Fauzi Abdullah

DutaIslam.Com - Abu Ja’far Muhammad bin Jarir al-Thabari adalah seorang sejarawan dan sekaligus ahli tafsir dari kota Amul (ibu kota Tabarstan). Sebenarnya banyak sekali ulama yang berasal dari kota ini, namun mereka tidak menisbatkan diri kepadanya, melainkan menisbatkan diri terhadap “Tabarstan”, termasuk al-Thabari. Menurut pendapat yang kuat, ia lahir pada tahun 839 M (pada akhir tahun 224 H atau diawal tahun 225 H). 

Saat umurnya masih dini, penulis Jami’ al-Bayan ini sudah mulai berinteraksi dengan ilmu dan saat itu pula sudah terlihat tanda-tanda kecerdasan dan kepiawaian pada dirinya. Al-Thabari pernah menegur salah seorang muridnya yang bernama Ibnu Kamil, karena melarang anaknya yang baru berusia sembilan tahun untuk mempelajari ilmu hadis, dengan alasan usianya masih terlalu muda untuk tingkatan ilmu tersebut. Ketika ia mengetahui hal itu, ia pun menegurnya dan mengatakan, “Aku telah hafal al-Quran ketika umurku tujuh tahun, menjadi imam shalat ketika umurku delapan tahun dan menulis hadis ketika umurku sembilan tahun.” 

Untuk memenuhi permintaan ayahnya, beliau menuntut ilmu dan pergi ke daerah Ray (sebuah kota di Persia), serta beberapa daerah yang ada disekitarnya. kemudian ia juga berpetualang ke Bagdad untuk mendengar penuturan dari para ulama di sana dan di dalam hatinya tertanam keinginan kuat untuk belajar langsung kepada Abu Abdillah Muhammad bin Hanbal. Namun hal itu tidak terwujud karena imam Ahmad bin Hanbal sudah meninggal terlebih dahulu sebelum ia sampai di Bagdad. Hal ini menjadi bukti betapa tingginya semangat al-Thabari dalam menuntut ilmu. 

Al-Thabari menghabiskan sebagian umurnya di Basrah dan Kufah, kemudian ia kembali ke Bagdad dan menetap di sana. Setelah itu, beliau menuntut ilmu ke Mesir, dalam perjanalannya ke negeri kinanah tersebut, ia menyempatkan diri untuk singgah di beberapa kota yang ada di Syam untuk belajar hadis. Usai belajar di Mesir, ia pulang ke Baghdad sampai meninggal di sana kisaran tahun 923 H.

Sebagaimana disebutkan dalam buku sejarah, al-Thabari pernah berguru kepada Syeikh Abu Kuraib Muhammad bin Ala’ Al-Hamdani (243 H). Ia tergolong guru yang perlakuannya sangat keras terhadap para muridnya, hingga banyak di antara mereka yang tidak dapat menyelesaikan proses belajar di majlisnya. Al-Thabari pun merasa khawatir tidak dapat menyelesaikan halaqah di majelis tersebut, namun ia bertekad untuk maju ke ‘medan laga’ dan tidak bersikap pengecut. 

Al-Thabari mengisahkan, “Suatu kali saya berkunjung ke rumah Abu Kuraib dengan beberapa orang teman, tiba-tiba ia keluar dari pintu rumahnya, kami pun meminta izin masuk. Namun ia bertanya, “Siapa yang masih hafal tentang materi yang penah aku diktekan?” Kami pun memandang antara yang satu dengan yang lain, kemudian mereka memandangiku dan mengatakan,  “Apakah kau hafal apa yang kau tulis darinya?’ aku menjawab “Ya.” Maka mereka pun berseru, “Orang ini hafal, coba tanyalah ia. Maka aku pun berkata, “Tuan pernah meriwayatkan kepada kami masalah ini pada hari ini, dan masalah ini pada hari ini.” Mendengarkan penjelasan itu Abu Kuraib terus menanyakan beberapa hal kepadanya,”Silakan kamu masuk kerumahku” dan ia pun mengagungkannya, padahal usianya masih muda, serta memperkenankannya menyimak perlajaran lainnya.

Sisi kehidupan Al-Thabari yang spesifik ini dicatat oleh para sahabat dan ulama lain yang sezaman dengannya, mereka mengatakan, “Tidak ada seorang pun dari para ulama yang mengingkari ketinggian ilmunya, kezuhudannya di dunia dan sifat qana’ah-nya dengan sedikit harta yang diterimanya dari peninggalan ayahnya di Tabarstan, kealimannya terlihat pada dua kitab karyanya yang sangat fenomenal yaitu Tarikh al-Rusul wa al-Muluk  dan tafsir al-Thabari. 

Ketika Al-Khaqani menjabat sebagai menteri, ia mengirimkan sejumlah harta kepada al-Thabari, namun ia enggan menerimanya. Al-Thabari kembali ditawari untuk menduduki jabatan qadhi, namun ia tetap menolaknya. Ketika itu para sahabatnya mengeluh dan mengatakan kepadanya, “Anda mendapatkan pahala dengan menduduki posisi ini dan Anda dapat menghidupkan sunnah yang telah anda pelajari.” Dan mereka sangat antusias agar al-Thabari mau menerima jabatan tersebut. Tapi al-Thabari malah menghardik dan  mengatakan, “Aku pikir jika aku menerima posisi ini, kalian justru akan melarangku”.

Suatu ketika sang menteri memintanya untuk membuat sebuah buku tentang fikih, maka ia pun mengarang kitab al-Khafif untuknya, dan dikirimlah uang untuknya seribu dinar sebagai hadiah, namun ia menolaknya. Kisah-kisah ini membuktikan bahwa sifat zuhud, wara’ dan qana’ah telah terpatri dalam diri Thabari, di mana ia sangat takut mengkomsumsi makanan yang haram dan syubhat. Ia takut bila ia menjabat sebagai qhadi akan berlaku tidak adil hingga dapat menodai kesucian ilmu dan kehormatan dirinya. Syair-syair yang ditulisnya berikut ini menunjukkan kebenaran hal tersebut, al-Thabari melantunkan: 

“Jika aku mengalami kesusahan, maka temanku tidak mengetahuinya, karena aku merasa cukup maka temanku pun tidak memerlukannya rasa maluku menjaga kehormatanku, dan sedikitnya kebutuhan menjadi teman setiaku, kiranya aku berkenan mengorbankan kehormatan, niscaya jalan kekayaan sangatlah mudah bagiku”. 

Al-Thabari melengkapi dirinya dengan ilmu dan perilaku, sehingga pantas menjadi guru dalam berbagai disiplin ilmu. Kehebatannya telah diakui oleh semua orang, bahkan sebagian mereka menyabutkannya dengan mengatakan, “Ia adalah orang yang paling baik pemahamannya terhadap ilmu, paling tekun belajarnya dan paling baik cara mengajarnya.”

Demikianlah, ilmu telah menguasai akal dan hatinya, siang dalam malamnya, sehingga setiap pagi dan sore ia pun disibukkan dengan ilmu, hingga hidup membujang sampai akhir hayatnya. Oleh karenanya ia disebut sebagai “hashuran” (orang yang menahan diri) dan tidak mengenal wanita, karena senantiasa sibuk dengan ilmu sejak usianya dua belas tahun dan terus menggeluti ilmu sampai ia wafat pada tahun 310 H. [dutaislam.com/gg]

Al-Fauzi Abdullah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Alumni Pesantren Hadis Darus-Sunnah, dan Peneliti Hadis di El-Bukhari Institute. 


Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB