Ini Kata Ulama Tentang Sayyidina dalam Sholawat
Cari Berita

Advertisement

Ini Kata Ulama Tentang Sayyidina dalam Sholawat

Jumat, 24 November 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Gambar: Istimewa
Oleh Ibnu Mas’ud At-Tamanmini

DutaIslam.Com - Para ulama terdahulu telah berbeda pendapat mengenai hukum membaca Sayyidina ketika bersalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal dari segi kedalaman ilmu, tidak ada lagi sosok seperti mereka. Kalau pun kita tidak setuju dengan salah satu pendapat mereka, bukan berarti kita harus mencaci maki orang yang mengikuti pendapat itu sekarang ini. Sebab mereka hanya mengikuti fatwa para ulama yang mereka yakini kebenarannya. Dan selama fatwa itu lahir dari ijtihad para ulama mazhab, kita tidak mungkin menghinanya begitu saja.

Adab yang baik adalah kita menghargai dan mengormati hasil ijtihad mereka. Dan tentunya juga menghargai orang yang mengikuti fatwa mereka, di masa sekarang ini. Lagi pula, perbedaan ini bukan perbedaan dari segi aqidah yang merusak iman, melainkan hanya masalah kecil, atau hanya berupa cabang-cabang agama. Tidak perlu kita sampai meneriakkan pendapat yang berbeda dengan pendapat kita sebagai tukang bid’ah.

Adapun shalawat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika sahabat menanyakan cara bershalawat kepada beliau. Sebagaimana digambarkan dalam hadis riwayat Muslim berikut;

عَنْ أَبِى مَسْعُودٍ الأَنْصَارِىِّ قَالَ أَتَانَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَنَحْنُ فِى مَجْلِسِ سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فَقَالَ لَهُ بَشِيرُ بْنُ سَعْدٍ أَمَرَنَا اللَّهُ تَعَالَى أَنْ نُصَلِّىَ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَكَيْفَ نُصَلِّى عَلَيْكَ قَالَ فَسَكَتَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم حَتَّى تَمَنَّيْنَا أَنَّهُ لَمْ يَسْأَلْهُ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قُولُوا  اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.                                   

Dari Abu Mas’ud al-Anshari ia berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami sedang kami di majlis Sa’ad bin Ubadah, maka Basyir bin Sa’ad berkata; Allah Subhanahu wa Ta’ala. Memerintahkan kami agar bershalawat kepadamu wahai Rasulullah, maka bagaimana kami bershalawat kepamu?. Abu Mas’ud al-Anshari berkata; Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diam sehingga….kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda; Bacalah:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ فِى الْعَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.      

Shalawat tersebut adalah jawaban atas pertanyaan sahabat, jadi wajarlah jika beliau tidak menyebutkan gelar atau nama penghormatan disaat menyebut namanya, yang sebenarnya sangat pantas bagi beliau. Sama halnya dengan seseorang ketika ditanya, siapa namamu? atau bagaimana cara kami menyebut namamu?. Bagi orang yang memiliki rasa rendah hati tidak mungki akan menjawab dengan disertakan gelar yang dimilikinya.

A. Dasar Hukum Dari Al- Qur’an
Dalam al- Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang memanggil Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan sama dengan yang lainnya,

لَا تَجْعَلُوا دُعَاء الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاء بَعْضِكُم بَعْضاً قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنكُمْ لِوَاذاً فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ .

“Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An- Nuur: 63).

Kata kamu dalam ayat di atas adalah ditunjukkan kepada sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayat tersebut dapat kita tafsirkan bahwa jangan kamu memanggilkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama dengan kamu memanggil temanmu.

Mujahid dan Sai’d bin Jubair selaku ulama tafsir dari kalangan tabi’in menafsirkan ayat tersebut dengan “jangan kamu memanggil Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan panggilan sama dengan yang lainnya”. Misalnya, kamu memanggil ya Muhammad, tapi penggillah ya Rasulallah.
Dalam surah yang lain Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut Nabi Yahya dengan Sayyid (menjadi ikutan), firman Allah;

فَنَادَتْهُ الْمَلآئِكَةُ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي الْمِحْرَابِ أَنَّ اللّهَ يُبَشِّرُكَ بِيَحْيَـى مُصَدِّقاً بِكَلِمَةٍ مِّنَ اللّهِ وَسَيِّداً وَحَصُوراً وَنَبِيّاً مِّنَ الصَّالِحِينَ                             
“Kemudian malaikat (Jibril) memanggil Zakariyah, sedang ia tengah berdiri melakukan shalat di Mihrab; (katanya), “sesungguhnya Allah menggembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat  (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang shaleh”. (QS. Ali Imran: 39).

Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut Nabi Yahya as. sebagai seorang Sayyid (seorang pemimpin dan ikutan). Kalau Nabi Yahya as. dikatakan seperti itu maka Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sangat pantas mendapat gelar itu karena beliau adalah pemimpin bagi anak cucu Adam as. di hari kiamat bahkan beliau merupakan rahmat bagi seluruh alam.

Karenanya warga Ahlussunnah bal Jam’ah (Aswaja), Nahdliyin (NU) menggunakan kata Sayyidina dalam shalawatnya, baik dalam shalat maupun di luar shalat.

B.  Dasar Hukum Dari Hadis
Salah seorang sahabat yang bernama Rifa’ah bin Rafi’, bahwa ia (Rifa’ah ibn Rafi’) berkata; Suatu hari kami shalat berjama’ah di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika beliau mengangkat kepala setelah ruku’ beliau membaca: Sami’allahu Liman Hamidah, tiba-tiba salah seorang makmum berkata;

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ

Setelah selesai shalat Rasulullah bertanya: Siapakah yang mengatakan kalimat-kalimat itu tadi?. Orang yang dimaksud menjawab: Saya Wahai Rasulullah. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ .

Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berlomba-lomba untuk menjadi yang pertama mencatatnya. (HR. Bukhari, Abu Daud, Al- Nasa’i, Ahmad, dan Imam Malik) .

Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menjelaskan hadits sahabat Rifa’ah bin Rafi ini beliau katakan: Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan kepada beberapa perkara.

a. Menunjukkan kebolehan menyusun dzikir yang tidak ma’tsur (yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) di dalam shalat selama tidak bertentangan dengan yang ma’tsur (yang berasal dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam).
b. Boleh mengeraskan suara dzikir selama tidak mengganggu orang yang ada di dekatnya.
c. Orang yang bersin dalam shalat diperbolehkan mengucapkan al- hamdulillah tanpa dihukumi makruh. (Ibn Hajar, Fathu al- Bari, jild. II, h. 287)

Dengan demikian tidak ada masalah dan boleh hukumnya menambahkan kata Sayyidina dalam shalawat baik dalam shalat maupun diluar shalat. Karena tambahan kata Sayyidina sesuai dengan dasar syari’at dan tidak bertentangan sama sekali. Dalam hadits shahih Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

انَا سَيِّدُ النَّاسِ يَوْمَ القِيَامَةِ . 
     
“Saya adalah pemimpinnya manusia pada hari kiamat.” (HR. Bukhari, Muslim dan al- Tirmidzi).
Dalil qiyas dari Umar bin al- Khaththab ra. menambahkan lafaz talbiyah yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim. Adapun talbiyah yang diajarkan oleh Nabi saw. adalah;

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ

Namun, Umar ra.  menambahkan, sebagai berikut;

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ فِى يَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ.

Dalam riwayat al- Nasai bahwa Ibn Umar (Abdullah bin Umar ra.) menambahkan sebagaimana lafaz yang tertera di atas.

Abdulah bin Umar ra. menambahkan lafazh tahiyat dalam shalatnya sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunannya sebagai berikut:

Adapun lafazh tahiyat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah;

...أشْهَدُ أنْ لّا إلهَ إلّا الله قَالَ ابْنُ عُمَرَ زِدْتُ [ فِيْهَا ] وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ….
…Asyhadu an la Ilaha Illallah, Ibn Umar berkata; saya menambahkan Wahdahu la syarikalah…(HR. Abu Daud).                                                                                                     

Hadits kedua dan ketiga di atas menunjukkan kebolehan munyusun dzikir atau bacaan tertentu selama tidak bertentangan dengan syari’at.

C.  Dasar  Hukum Dari Dalil Aqli
Kata Sayyidina asalnya adalah Sayyid yang berarti seorang pemimpin, yang kata kerjanya adalah Saada-Yasudu (ساد- يسود)  jika Dimuta’addikan, dalam bahasa Arab Fi’il (kata kerja) terbagi dua a. Fi’il Lazim adalah fi’il yang tidak butuh objek. Contoh, جلس  (duduk) kata ini tidak butuh objek. b. Fi’il Muta’addi adalah Fi’il yang butuh objek. Contoh,  جَلَّسَ (mendudukkan) kata ini jelas butuh objek yaitu sesuatu yang akan didudukkan, menjadi Sawwada – Yusawwidu (سوّد – يسوّد)  yang berarti yang dimuliakan, yang membawahi suatu kaum, dan mengangkat jadi pemimpin. Dengan demikian jika mengawali shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka itu sama halnya dengan; memuliakan,  menghormati dan mengangkat Nabi sebagai pemimpinnya. Apakah pantas hal itu dikatakan suatu kesalahan? Semua umat Islam mungkin akan menjawab bahwa hal itu sangat pantas untuk dilakukan yaitu mengawali nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kata Sayyid.

Adapun dengan hadits yang mengatakan bahwa,

لَا تُسَيِّدُونِي فِي الصَّلَاةِ .
“Janganlah men-sayyidkan aku dalam shalat.” 
        
Hadits tersebut akan anda temukan dalam kitab-kitab fiqih di antaranya dalam kitab al-Fatawa al- Fiqhiyyah al-Kubra(الفتاوى الفقهية الكبرى) , bab, Shifatu al-Shalah (صفة الصلاة). Tapi, Ulama telah mengomentari bahwa hadits tersebut tidak ada asalnya. Bahkan Maudhu’ atau palsu. Salah satu alasanya adalah  karena hadits tersebut mengandung Lahn, (maksudnya menyalahi kaidah sharaf yang telah dikenal oleh orang Arab). Lafazh Latusayyiduni (لا تسيدونى), menyalahi kaidah yang telah dikenal karena seharusnya berbunyi Latusawwiduni (لا تسودونى). Sedangkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang Rasul tidak mungkin mengucapkan lafazh yang salah tersebut (yang mengandung lahn).

Kitab al- Duru al- Mukhtar menyebutkan bahwa menambahkan kata Sayyidina sebelum nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih mulia daripada tidak membacanya, karena itu merupakan adab kesopanan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan ini adalah pendapat yang telah diakui dan dipercayai.

Dalam adab kita sendiri rasanya sangat jauh dari tata kesopanan jika memanggil orang-orang yang terhormat dengan panggilan tanpa diikut sertakan dengan gelarnya atau panggilan penghormatan menurut adat setempat. Misalnya, Daeng menurut adat Makassar, Puang menurut adat Bugis, kyai bagi ulama menurut adat Jawa dan lain-lain.

Kita sepakat bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia terbaik, kekasih Tuhan semesta alam, yang akan menempati maqam mahmud, nabi yang menebarkan rahmah, rasul hidayah, junjungan kita, penghulu kita. Kita sepakat, Beliaulah sayyiduna (pemimpin kita). Semoga Allah memberikan shalawat kepada beliau.

Bahkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri menegaskan bahwa beliau adalah sayyid seluruh manusia. Beliau bersabda:

أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَومَ القِيَامَةِ ، وَأَوَّلُ مَن يَنشَقُّ عَنهُ القَبرُ
“Saya adalah sayyid keturunan adam pada hari kiamat. Sayalah orang yang pertama kali terbelah kuburnya.” (HR. Muslim 2278)

Oleh Karena itu, kita wajib mengimani bahwa beliau adalah sayyiduna (pemimpin kita), sebagai ujud kita memuliakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian, gelar ‘sayyid’ tidak hanya dikhususkan untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata sayyid bisa diberikan kepada para tokoh agama, diantaranya adalah para sahabat. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebut beberapa sahabatnya dengan ‘sayyid’. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang Hasan bin Ali bin Abi Thalib:

إِنَّ ابنِي هَذَا سَيِّدٌ
“Sesungguhnya anakku ini adalah seorang sayyid (pemimpin).” (HR. Bukhari 2704)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah bersabda kepada orang Anshar, untuk menghormati pemimpinnya, Sa’d bin Muadz radhiyallahu ‘anhu, ketika Sa’d datang, beliau menyuruh orang Anshar:

قُومُوا إِلَى سَيِّدِكُم
“Sambutlah pemimpin (sayyid) kalian.” (HR. Bukhari 3073 & Muslim 1768)

Kemudian, para sahabat juga menyebut sahabat lainnya dengan sayyid. Umar bin Khatab pernah mengatakan tentang Abu Bakr dan Bilal:

أَبُو بَكرٍ سَيِّدُنَا وَأَعتَقَ سَيِّدَنَا : يعني بلال بن رباح
“Abu Bakr sayyiduna, dan telah memerdekakan sayyidana, maksud beliau adalah Bilal bin Rabah.” (HR. Bukhari 3754)

jika demikian, sangat layak bagi kita untuk menyebut manusia yang paling mulia dengan ‘sayyidina’.
Sahabat Abdullah bin Syikkhir mengatakan,

انطَلَقتُ فِي وَفدِ بَنِي عَامِرٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ فَقُلنَا : أَنتَ سَيِّدُنَا . فَقَالَ : السَّيِّدُ اللَّهُ . قُلنَا : وَأَفضَلُنَا فَضلًا ، وَأَعظَمُنَا طَوْلًا ( أَي شَرَفًا وَغِنًى ) . فَقَالَ : قُولُوا بِقَولِكُم أَو بَعضِ قَولِكُم ، وَلَا يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيطَانُ

Saya pernah menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Bani Amir. Kami sanjung beliau dengan mengatakan: “Anda adalah sayyiduna (pemimpin kami).” Spontan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Assayyidu Allah (Sang Pemimpin adalah Allah).” Lalu aku sampaikan: “Anda adalah yang paling mulia dan paling utama di antara kami.” Selanjutnya Nabi Shllallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan: “Sampaikan perkataan kalian, dan jangan sampai setan membuat kalian menyimpang.” (HR. Abu Daud)

Hadis ini tidaklah menunjukkan larangan menggunakan gelar ‘sayyidina’ untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena konteks ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang sahabat Abdullah bin Syikkhir adalah kekhawatiran beliau ketika pujian Abdullah bisa berlebihan, sehingga mengangkat beliau sebagaimana layaknya Allah. Karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan kata ‘sayyid’ untuk Allah. Dalam rangka mengingatkan mereka bahwa ‘as-sayid’ (pemimpin) mutlak hanyalah Allah Ta’ala. Oleh karena itu, janganlah kalian berlebihan dalam memujiku, sehingga kalian mengkultuskanku sebagai layaknya Tuhan.

Imam Ibnu Utsaimin salah seorang ulama salafi wahai mengatakan:
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang mereka untuk menyebut beliau dengan sayyid. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan mereka untuk mengucapkan hal itu, sebagaimana yang beliau sabdakan: ‘Sampaikan perkataan kalian’ namun beliau melarang agar jangan sampai setan menyimpangkan mereka, sahingga mereka melebihkan gelar ‘pemimpin’ yang sifatnya khusus menjadi gelar ‘pemimpin’ yang berlaku mutlak. Karena kata ‘sayyiduna’ [pemimpin kami] adalah gelar kepemimpinan khusus yang dikaitkan dengan kata lainnya. Sementara ‘as-sayyid’ [Sang Pemimpin] adalah gelaran yang mutlak (dan itu hanya milik Allah).” (Al-Qoulul Mufid, 2/258).

Dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah disebutkan:
Kaum muslimin sepakat bolehnya memberikan gelar ‘pemimpin’ untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadikannya sebagai tanda untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Imam As-Syarqowi mengatakan:

فلفظ ( سيّدنا ) علم عليه صلى الله عليه وسلم
Lafadz ‘sayyiduna’ adalah tanda untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah, 11:346)

Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, berpendapat, penyematan redaksi sayyid dalam zdikir atau ibadah lain, seperti adzan, iqamat, atau tasyahud awal dan akhir, hukumnya boleh, bahkan sangat dianjurkan.
Lembaga yang pernah dipimpin oleh mufti agung Syekh Ali Jum’ah itu menyatakan, etika dan adab menghormati Rasul lebih dikedepankan daripada alasan mengikuti (al-itba').

Lembaga yang resmi berpisah dari stuktural pemerintahan pada 2007 itu menyebutkan, Ali bin Abi Thalib pernah menolak permintaan Rasul untuk menghapus kata Rasulullah dalam redaksi Perjanjian Hudaibiyah. Ini semata wujud penghormatan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa salam.  
Opsi ini, menurut Dar al-Ifta, merupakan pandangan mayoritas ulama mazhhhab. Dari mazhab Syafi'i, sejumlah nama setuju dengan opsi ini, yaitu Jalaluddin al-Muhilli, as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Asqalani, dan Syamsuddin ar-Ramli.

Dalam kitab ad-Dur al-Mukhtar, al-Hashkafi, seorang imam bermazhab Hanafi, menyatakan hukumnya sunat dan lebih baik menyebutkannya. Selain al-Hashkafi, dari mazhab Hanafi ada al-Halabi, ath-Thahawi, dan Ibnu Abidi.

Sedangkan, di kalangan mazhab Maliki, ada Ibn 'Atha' as-Sakandari, an-Nafrawi, al-Hithab, Ahmad Razuq, dan Imam as-Syaukani. Syekh Ahmad bin as-Shiddiq al-Ghumari al-Hasani guna menguatkan bolehnya memakai kata sayyid, menulis risalah khusus yang berjudul Tasynif al-Adzan bi Adillati Istihbab as-Siyadah 'Inda Dzikri Ismihi SAW fi as-Shalah wa al-Adzan wa al-Iqamati wa al-Adzan. Wallahu a’lam bis-Shawab. [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB