Sunan Nyamplungan, Penyebar Islam Toleran di Karimunjawa
Cari Berita

Advertisement

Sunan Nyamplungan, Penyebar Islam Toleran di Karimunjawa

Duta Islam #02
Rabu, 04 Oktober 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: elsaonline.com 
Oleh Khoirul Anwar

DutaIslam.Com - Salah satu dari tiga makam wali di Karimunjawa adalah makam Sunan Nyamplungan, yaitu ulama besar abad ke 15 M yang memiliki nama asli Amir Hasan. Menurut satu versi, Syaikh Amir Hasan adalah anak dari Sunan Kudus. Sedangkan menurut versi lain, beliau keturunan dari Sunan Muria.

Menanggapi dua pendapat ini menurut KH. Nashrullah Huda, salah satu Kyai Muda aktivis Nahdlatul Ulama (NU) Jepara, yang kemungkinan benar adalah pendapat yang pertama, yakni Syaikh Amir Hasan putra dari Sunan Kudus yang memiliki nama lengkap Syaikh Ja’far Shodiq. Adapun posisi Sunan Muria bagi Syaikh Amir Hasan hanya sebagai orang tua intelektualnya. “Saya lebih condong pada versi yang mengatakan beliau putra sunan Kudus,” ungkapnya kepada elsaonline (13/05/14).

Lebih jauh Gus Nashrul, demikian KH. Nashrullah akrab disapa, menceritakan bahwa Amir Hasan kecil mulanya tinggal di pondok pesantren milik ayahnya, Sunan Kudus. Sunan Kudus saat itu di samping sebagai muballigh yang dekat dengan rakyat juga menjadi penasihat kerajaan. Kontribusi Sunan Kudus dalam penyebaran Islam di Nusantara khususnya Jawa Tengah tidak diragukan lagi, sampai sekarang ajaran-ajaran beliau masih melekat hangat di hati masyarakat, khususnya penduduk asli Kudus.

Sebagai orang besar Sunan Kudus sering keluar rumah meninggalkan pesantrennya untuk memenuhi tugas-tugasnya sebagai orang yang mengabdi kepada rakyat dan Negara. Suatu ketika Sunan Kudus diminta oleh Raden Fatah untuk memimpin peperangan yang diperkirakan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebelum berangkat ke medan perang Sunan Kudus meminta kepada putranya, Amir Hasan, untuk menggantikan tugas-tugasnya di pondok pesantren asuhannya.

Sejak itu Amir Hasan muda berperan sebagai pengasuh pesantren, namun ternyata pelajaran-pelajaran yang diberikan Amir Hasan kepada santri-santrinya tidak sesuai dengan yang diharapkan Sunan Kudus. Santri-santri Sunan Kudus diberi pelajaran yang secara lahiriyah tidak memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu agama, yakni diberi pelajaran kesenian seperti gamelan.

Ketika Sunan Kudus mengetahui tindakan putranya kepada santri-santrinya, Sunan Kudus meminta putranya, Amir Hasan untuk tidak mengajar lagi dan meninggalkan rumah. Lalu Amir Hasan pergi ke rumah bibinya yang menjadi istri Sunan Muria. Sejak itulah Amir Hasan tinggal bersama Sunan Muria di puncak gunung Muria. Selama di Muria Amir Hasan belajar ilmu agama dan kanuragan atau bela diri kepada Sunan Muria.

Ketika ilmu Amir Hasan dipandang sudah cukup, Amir Hasan diperintahkan oleh Sunan Muria untuk menyebarkan agama Islam di wilayah sekitar Muria. Dengan ditemani oleh dua orang murid Sunan Muria, Amir Hasan pergi ke ujung pulau. Ujung pulau dalam bahasa Jawa dinamakan dengan “ujung poro”, dikemudian hari wilayah ini disebut dengan “Jeporo (Indonesia; Jepara)”, diambil dari kata “ujung poro”.

Setelah sampai di Jepara Amir Hasan melihat sebuah tempat yang terlihat sangat kecil dari pandangannya, dalam bahasa Jawa disebut dengan “kremun-kremun”. Dikemudian hari pulau yang terlihat kremun-kremun ini dinamakan dengan “Karimunjawa”. Amir Hasan bersama kedua temannya membuat perahu lalu menyeberang laut menuju pulau kremun-kremun. Sesampainya di Karimunjawa Amir Hasan disambut oleh bajak laut, saat itu karimun menjadi wilayah ganas yang dihuni oleh kelompok bajak laut yang tidak mengenal belas kasihan terhadap sesama. Amir Hasan mengucapkan salam kepada bajak laut, tapi tidak dijawab, bajak laut menginterogasi Amir Hasan dan menantangnya untuk bertarung.

Akhirnya terjadilah pertarungan dahsyat antara Amir Hasan melawan bajak laut. Dengan kepandaian bela dirinya dan kedigdayaan tubuhnya yang dibekali oleh Sunan Muria, Amir Hasan berhasil mengalahkan kelaliman bajak laut. Untuk mengenang tempat perkelahian ini dikemudian hari penduduk Karimunjawa membuat “legon bajak”, semacam teluk yang hingga kini bisa dikunjungi oleh semua wisatawan yang datang di Karimunjawa.

Di Karimunjawa Amir Hasan dengan cerdas mengajarkan Islam kepada masyarakat melalui kesenian-kesenian lokal yang bermuatan ajaran-ajaran Islam. Islam yang diperkenalkan Amir Hasan bukan Islam yang menjadikan masyarakat takut, tapi Islam yang memberi kenyamanan dan kerukunan bagi semua. Hingga kini Islam ramah ala Syaikh Amir Hasan masih bisa dirasakan. Masyarakat Karimunjawa memeluk Islam tapi sangat toleran terhadap keberagaman yang dibawa oleh wisatawan baik dari dalam maupun manca Negara.

Amir Hasan punya banyak murid di Karimunjawa. Kini salah satu tokoh agama Islam yang sanad keilmuannya sampai kepada Syaikh Amir Hasan adalah KH. Abdul Mun’im (70), Rois Syuriyah MWC NU Karimunjawa. Guru Mbah Mun’im, sapaan akrab KH. Abdul Mun’im, belajar kepada gurunya, dan gurunya mendapatkan ilmu dari gurunya lagi sampai pada Syaikh Amir Hasan.

Kontribusi Syaikh Amir Hasan dalam penyebaran Islam di Karimunjawa juga diakui oleh KH. A’wani, Syuriyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Tengah. Menurut Mbah A’wani, arti dari nama Amir Hasan sudah mencerminkan bahwa sosok Amir Hasan bukan orang sembarangan, tapi beliau adalah penyeru kebaikan sebagaimana arti namanya pemimpin kebaikan. Di samping itu dengan melihat genealogi biologisnya Syaikh Amir Hasan masih keturunan nabi Muhammad atau habib. Pada masa itu habib di Indonesia giat mendakwahkan ajaran Islam sehingga dapat dipastikan Syaikh Amir Hasan juga demikian, yakni memberi pendidikan agama kepada masyarakat.

“Kalau keturunan nabi sudah pasti menyebarkan Islam. Syaikh Amir Hasan sampai di sini (Karimunjawa-red) sudah pasti tidak ada hal lain kecuali menyebarkan Islam,” papar Mbah A’wani.

Ajaran Sunan Nyamplungan
Sunan Nyamplungan, nama yang disematkan kepada Syaikh Amir Hasan mungkin diambil dari tempat beliau berdomisili, yaitu di Desa Nyamplungan. Kini makam dan petilasannya ada di puncak gunung desa ini.

Menurut KH. Hisyam Zamroni, dalam berdakwah Sunan Nyamplungan menggunakan media budaya yang mudah dicerna dan diingat oleh masyarakat saat itu, yang paling populer antara lain menggunakan kayu, yakni memberi nama pada kayu dengan istilah-istilah ajaran Islam seperti kayu kalimosodo, kayu dewondaru, dan kayu setigi.

Dengan memberi nama kalimosodo Syaikh Amir mengajak masyarakat supaya membaca kalimat syahadat sebagai komitmen diri untuk menghamba kepada Tuhan Maha Pencipta. Dewondaru memiliki makna kekuatan (la haula wa la quwwata illa billah), artinya kesadaran diri bahwa manusia sesungguhnya tidak memiliki kekuatan sehingga tidak pantas jika manusia berlaku sombong dan lalim seperti yang diperlihatkan bajak laut yang dijumpai Syaikh Amir. Setigi artinya adalah segitiga, untuk menjadi pribadi yang sempurna harus memadukan tiga unsur, yaitu iman, islam, ihsan.

“Mbah Amir Hasan melakukan dakwahnya dengan seperti ini, dengan pendekatan kultural, sehingga penduduk Karimunjawa 99,9 persen muslim,” tutur KH. Hisyam Zamroni, wakil rois syuriyah MWC NU Karimunjawa.

Masyarakat Karimunjawa memeluk Islam tentu dengan pilihannya yang tulus, pilihan yang didasarkan pada ketertarikannya terhadap dakwah Syaikh Amir Hasan yang sangat halus, ramah dan tidak marah, meringankan dan tidak memberatkan.

Bagi Mbah A’wani, cara dakwah yang dikembangkan oleh Syaikh Amir Hasan sangat kontekstual dan akomodatif terhadap budaya setempat. Kini seiring dengan laju kerasnya kelompok keislaman yang tidak ramah terhadap budaya lokal menjadi tantangan sendiri bagi para ulama, karena menurutnya dari dulu Islam itu sebenarnya ramah terhadap budaya. “Islam di manapun sama saja, ibadahnya sama. Islam ya ramah dengan budaya,” tutur Mbah A’wani. [dutaislam.com/gg]

Khoirul Anwar, Peneliti di Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA).


Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB