Santri Tidak Sembarangan Ngumbar Dalil, Mengapa?
Cari Berita

Advertisement

Santri Tidak Sembarangan Ngumbar Dalil, Mengapa?

Kamis, 26 Oktober 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
Oleh Ustadz Khoiron Mustafit

DutaIslam.Com - Sementara para santri digembleng ilmu-ilmu alat dari subuh sampai malam selama 9 tahun, tiba-tiba orang-orang yang tak pernah mengalami gemblengan ini (yang hanya sekolah umum) muncul menjadi ustadz dan ulama berbekal ayat-ayat ansich.

Membicarakan ulama bodoh dan santri pintar itu sangat pas jika dimulai dengan pertanyaan ini: Apa bedanya orang yang mempelajari ilmu fiqih lalu berlanjut ke qaidah fiqhiyyah dengan orang yang hanya menghafal al-Quran?

Jelas sangat berbeda. Orang-orang yang hanya memiliki pengetahuan ayat al-Quran (dan terjemahannya), untuk masuk ke ranah praktis (misalnya hukumnya kredit di bank) dia harus melewati fase-fase seperti: ilmu tafsir (tafsirnya ayat tadi apa), lalu ilmu istimbath (seperti mafhum dan manthuq; dilalah ibrah, isyarah, nash, atau iqtidha; muthlaq-muqayyad; menentukan mutasyabih, mujmal, musykil, atau khafi; mengetahui hakikat lughawiyah, syar’iyah, atau urfiyyah; mengetahui sharih dan kinayah, dan seterusnya).

Artinya, untuk sampai kepada hukum praktis dengan memakai nash al-Quran, seseorang harus menguasai ilmu alat yang sangat rumit: dia harus menguasai, minimal, ilmu ushul fiqih dan ilmu tafsir. Lalu, untuk menguasai kedua ilmu itu, orang harus menguasai ilmu bahasa Arab dengan segenap kelengkapannya, yaitu sharaf, nahwu, dan balaghah.

Rumit kan? Padahal, para santri di pesantren salaf menghabiskan waktu minimal 9 tahun untuk menguasai ilmu alat itu secara sempurna, yaitu dari kelas 1 ibtidaiyyah  hingga kelas 3 tsanawiyyah.

Ini yang saya maksud pesantren salaf lho ya, jangan diartikan berbeda. Karena di sana para santri diajari ilmu alat dari mulai sharaf (dengan segala kelengkapannya seperti I’lal, idgham, dan ibdal), lalu nahwu level ajrumiyyah (dari kelas 1 sampai kelas 5, diajarkan sampai siswa ngelotok), dilanjutkan dengan nahwu level Imrithi (kelas 6), nahwu level Alfiyah Ibnu Malik (kelas 1 tsanawiyah), lanjut dengan syarah-syarah yang lain seperti Hashiyah Ibnu Shabban dan syarah Suyuthi.

Para santri ini digembleng (tanpa sadar) dari subuh sampai malam. Di kelas mereka diajarkan ilmu alat, di luar kelas (di halaqah-halaqah dan sorogan) mereka diajarkan praktik ilmu alat sekaligus mempelajari ilmu-ilmu lain seperti tauhid, akhlak, fiqih, dan sejarah.

Apakah para santri itu—dengan ilmunya yang mumpuni itu—sudah bisa menafsirkan ayat? Ya tidak. Untuk dapat menafsirkan al-Quran, orang harus menguasai banyak lagi ilmu (yang di pesantren selama 9 tahun itu belum sempat dipelajari). Karena di pesantren, dalam waktu 9 tahun itu, rata-rata santri hanya menguasai ilmu sharaf, ilmu isytiqāq, ilmu nahwu, ilmu balaghah (termasuk badi’, bayan, ma’ani), dan ilmu fiqih. 

Mereka harus melanjutkan ke jenjang selanjutnya yang memungkinkan mereka menguasai ilmu-ilmu seperti: ilmu ushul fiqih, hadis dan ilmu hadis (ilmu riwayah, dan ilmu dirayah seperti rijāl al-hadīs, jarh wa ta’dīl, tārīkh al-ruwāt, mukhtalaf al-hadīts, ilal al-hadits, gharīb al-hadīts, tas-hīf wa tahrīf, dan asbāb al-wurūd), ilmu tafsir (tafsir bil ma’tsur dan tafsir bi al-ra’y), ilmu al-Quran (ilmu mawāthin al-nuzūl, ilmu tawārīkh al-nuzūl, ilmu asbāb al-nuzūl, ilmu qirā’at, ilmu tajwīd, ilmu gharīb al-Quran, ilmu I’rāb al-Quran, ilmu wujūh al-nadzāir, ilmu al-muhkam wa al-mutasyābih, ilmu al-nāsikh wa al-mansūkh, ilmu badāi’ al-Quran, ilmu I’jāz al-Quran, ilmu tanāsub al-āyāt, ilmu aqsām al-Quran, dan ilmu amtsāl al-Quran).

Rumit sekali kan? Ya tentu saja rumit. Karena al-Quran itu adalah mu’jizat terbesar yang pernah ada. Pada ayat-ayatnya tidak pernah diketemukan kesalahan secara apa pun. Untuk menguasainya diperlukan ilmu-ilmu yang dalam dan rumit. Orang biasa, yang hanya mengenyam bangku pendidikan umum tidak akan bisa menguasainya. Bahkan para santri pun, yang hanya mengenyam bangku pendidikan ilmu alat (9 tahun), tidak akan mampu menjadi seorang mufassir, karena syarat menjadi mufassir adalah menguasai al-Quran dengan ilmu-ilmu yang kita bahas tadi. 

Tapi, para santri bisa memakai ilmu fiqih dan qaidah fiqiyyahnya untuk sampai kepada masalah-masalah hukum. Karena dengan menguasai qaidah fiqhiyyah (dan ilmu fiqih), para santri telah sampai pada sebuah tahap yang oleh para ulama telah dirumuskan sedemikian rupa.

Dahulu, dari materi fiqih yang banyak itu, para ulama fiqih meneliti persamaannya dengan menggunakan pola pikir induktif. Kemudian mereka mengelompokkan materi-materi itu menjadi kumpulan dari masalah-masalah yang serupa. Lalu mereka menyimpulkan materi-materi serupa itu (al-asyhbāh wa al-nadzāir) menjadi kaidah-kaidah fiqih.

Apakah selesai sampai di situ? Tidak, tetapi kaidah-kaidah tersebut dikritisi kembali dengan menggunakan banyak ayat dan banyak hadis, terutama untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi ayat-ayat al-Quran dan hadis. Apabila sudah dianggap sesuai dengan ayat al-Quran dan banyak hadis, baru kaidah fiqih tadi menjadi kaidah yang mapan. Ulama-ulama fiqih menggunakan kaidah tadi untuk menjawab tantangan dan perkembangan masyarakat, baik di bidang budaya, sosial, ekonomi, politik, dan yang lain.

Jadi, sudah jelas kan perbedaan orang yang menggunakan ayat al-Quran saja (dengan dalih kembali kepada al-Quran) untuk menganalisa masalah dengan orang yang menggunakan qaidah fiqhiyyah? Yang pertama sudah pasti orang awam, dan yang kedua sudah pasti—minimal—santri ilmu alat. Kenapa awam? Karena dia seperti menunjukkan ketidaktahuannya, mengumum-umumkan kebodohannya. Padahal cara seperti itu persis seperti orang primitive yang merasa telah puas dengan—hanya—memakai kapas untuk menutupi kemaluannya, lalu menyalah-nyalahkan dan membodoh-bodohkan orang pintar yang tidak langsung memakai kapas itu, tetapi diolah dulu menjadi benang, lalu ditenun hingga menjadi kain.

Kenapa orang primitive itu tidak mengerti kesalahannya? Karena dia bodoh. Orang bodoh tidak akan mengerti kebodohannya karena dia tidak pernah pintar. Sebaliknya, orang pintar pasti mengerti kebodohan orang lain, karena dia pernah bodoh. Itulah yang dinamakan proses. Kenapa orang pintar selalu melalui proses? Karena dia mengerti bahwa sesuatu yang baik itu pasti dihasilkan dari proses.

Begitulah. ulama bodoh biasanya representasi dari orang-orang yang mulutnya selalu mengumbar ayat-ayat al-Quran, tanpa rujukan tafsir, tanpa rujukan kitab fiqih, pokoknya pure tanpa rujukan, hanya ayat al-Quran saja. Kenapa ulama ini hanya memakai ayat al-Quran atau hadis saja? Ya karena bisanya cuma itu. Sedangkan santri ilmu alat adalah mereka yang mengalami proses penggemblengan ilmu alat sejak kelas 1 ibtidaiyah sampai kelas 3 tsanawiyah, bahkan dilanjutkan ke level selanjutnya hingga Doctoral. Santri ini tidak akan sembarangan ngomongin dalil melainkan selalu memakai rujukan dari ulama-ulama mu'tabar. Kenapa? Karena ilmu ilmu alatnya belum cukup untuk menjadikannya seorang mufassir apalagi mujtahid, yang seenaknya berfatwa halal-haram. Sekian. [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB