[Kisah Nyata] Kami Diselamatkan NU dari PKI
Cari Berita

Advertisement

[Kisah Nyata] Kami Diselamatkan NU dari PKI

Selasa, 03 Oktober 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa 
Oleh Syaf Anton

DutaIslam.Com - Pada hari ini, setiap tanggal 30 september, memori saya selalu ingat kembali pada masa kanak-kanak saat masih duduk di kelas 3 SD (Taman Siswa di Malang). Saya hidup bersama orang tua dan dua adik. Ketika itu Bapak masih aktif sebagai anggota ABRI dan bertugas di Kodam Brawijaya V Malang.

Dalam benak, ada kenangan hitam yang selalu mengusiku, peristiwa yang terjadi sekitar pertengahan Agustus 1965 menjelang Gestapu - Gerakan September Tiga Puluh (G-30-S/PKI).

Kami hidup di sebuah dusun, namanya Glintung, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, di sebuah gang kalau tidak salah namanya gang Meriah. Setiap memperingati hari kemerdekaan RI memang di kelurahan diacarakan besar-besaran. Pergelaran tari dan nyanyian menjadi perhatian masyarakat sekitar. Tari dan nyanyian yang selalu dimunculkan antara lain “Jer-genjer” serta drama perjuangan perlawanan kaum tani.

Lagu ini sangat populer, dari anak sampai kakek nenek dan fasih melantunkannya. Lirik lagu ini mudah dihafal dan akrab irama nyanyiannya. Sampai sekarangpun saya masih mengingatnya.

Baca juga: Sebuah Cerita: dari PKI menjadi Kiai

Namun sekitar akhir Agustus atau awal September 1965, di gang Meriah terjadi keributan, di mata saya tampak sejumlah orang (yang kemudian diketahui kelompok PKI) menggeladah setiap rumah, mulai dari timur, sampai ujung barat, sedang posisi rumah kami di sebelah barat. Entah apa yang digeledah, namun yang tampak  penghuni rumah dipaksa keluar dan sesekali terdengar bunyi tembakan.

Pada saat giliran rumah kami, cuma ibu yang menghadapi mereka, sedang kami diititipkan di rumah depan (yang sudah digeledah) yang kebetulan dari keluarga orang Madura. Namun tampak beberapa saat sekelompok orang dari PKI itu tidak melakukan penggeladahan, bahkan cepat-cepat keluar dan kembali ke arah timur.

Sedang Bapak saat itu tidak ada di tempat, karena sedang melaksanakan tugas perlawanan terhadap gerombolan PKI di wilayah Malang Selatan. Beberapa hari kemudian, sekembali Bapak pulang dari tugas, ibu menceritakan semua peristiwa tersebut. Bapak tampak geram, kemudian menceritakan bahwa sikap PKI tidak menggeledah rumah karena di dinding emper rumah terpampang poster dan logo Nahdhatul Ulama (NU). Sama seperti yang terjadi pada warga asal Madura di depan rumah.

Kisah ini diperjelas oleh Bapak ketika kami memasuki usia remaja di rumah tinggal Sumenep. Pasca Gestapu (G30S/PKI) sekitar pertengahan Oktober 1965, kami pulang (pindah) ke kampung halaman, sementara Bapak masih tetap di Malang sambil menunggu masa pensiunnya satu tahun kemudian.

Bapak memang kerap bercerita kisah-kisah saat berperang, mulai sekitar Madiun, Bandung, Makasar saat menumpas kelompok Kahar Musakar sampai bertugas di Colombo. Kisah tentang  saat terjadi penggeledahan PKI tersebut, Bapak menjelaskan bahwa pada saat tengah malam sepulang dari tugas beliau mencabut papan nama milik PKI yang yang  terbuat dari kayu yang terpampang di pinggir jalan raya, lalu dipotong-potong kemudian dibakar. Dan itulah yang menjadi kemarahan PKI.

Memang pada saat menjelang 30 September 1965 suasana Malang cukup membara. Dan saya sempat menyaksikan ketika diajak ibu ke warung di jalan raya,para  prajurit tentara tampak siap tempur. Di sejumlah ruas jalan juga tampak kubu pertahanan dari tumpukan pasir dalam karung goni berjejeran. Dan tepat  hari H G30S/PKI, benar-benar suasana langit terasa riuh oleh suara tembakan, dentingan peluru yang sempat singgah ke genteng membuat para warga tidak berani keluar rumah.

Setelah suasana tembakan agak reda, sekitar sore hari, saya sempat keluar rumah dan berkeinginan bermain ke arah barat, yang biasa saya dan teman seusia suka bermain. Yakni sebuah tanah lapang, yang juga tempat anak-anak bermain sepak bola.

Tapi kenyataannya jadi beda, yang tampak hanya orang-orang (mayat-mayat) bergelimpangan dan ketika itu saya tidak paham dari mana mayat itu datang. Tapi menurut cerita Bapak, tempat tersebut memang dijadikan penempatan sementara mayat-mayat korban pemberontakan baik dari pejuang maupun anggota PKI.

(Kisah nyata ini, saya persembahkan untuk Bapak kami, Moch. Syakwar, prajurit tentara yang sampai akhir tugasnya berpangkat kopral yang kini bersemayam di Taman Makam Pahlawan. “Nak, kamu tidak perlu berjuang di medan perang, musuh-musuh negara akan selalu berada di depanmu”, begitu pesan ketika saya berkeinginan menjadi tentara dulu). [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB