Perhatian Kiai Sholeh Darat dalam Mendidik Masyarakat Awam
Cari Berita

Advertisement

Perhatian Kiai Sholeh Darat dalam Mendidik Masyarakat Awam

Duta Islam #02
Rabu, 13 September 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto yang selama ini diyakini sebagai gambar wajah KH Sholeh Darat as-Samarani (NU Online).
Oleh Nur Ahmad

DutaIslam.Com - Seluruh kehidupan Kiai Sholeh Darat (1820-1903) adalah pengejawantahan ajaran pendidikan Islam, yaitu seluruh muslim diperintahkan untuk selalu mencari ilmu. Setelah menyelesaikan masa pencarian ilmu di Mekkah, segera Kiai Sholeh memasuki periode mendidik. Beliau menilai bahwa kemauan seseorang untuk menjadi pendidik adalah bukti atas keimanannya kepada Tuhan (Sholeh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 64).

Argumennya didasarkan pada hadis Nabi pada peristiwa khotbah Arafah di mana beliau memerintahkan kaum muslimin yang hadir memberitahukan ajaran yang beliau sampaikan kepada mereka yang tidak hadir (Sholeh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 64). Kiai Sholeh menakwilkan “mereka yang tidak hadir” termasuk mereka yang hidup di masa setelah Nabi wafat, hingga hari kiamat tiba (Sholeh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 64).

Sebagaimana umumnya para kiai tradisional di nusantara, Kiai Sholeh mengimplementasikan perannya ini dengan cara mendirikan dan mengembangkan pesantren. Bagi Kiai Sholeh, peran ini ditambah dengan menjadi pengajar pada lingkar-lingkar pengajian (pengajian umum atau majlis ta’lim). Namun yang menjadi karakter utama model pendidikan Kiai Sholeh adalah dedikasi penuhnya untuk memberikan wawasan keislaman kepada masyarakat awam melalui karya-karya pegonnya.

Pilihan ini dapat dilihat sebagai wujud kesadaran penuh Kiai Sholeh akan kondisi masyarakatnya. Beliau menulis, “… kita hidup di sebuah negara yang mana etika keislaman itu lemah, sedangkan sikap ketidakpuasan dan kekufuran sangat kuat. Orang-orang yang dianggap mulia di antara kita adalah para munafik, sedangkan orang-orang yang beriman menyandang posisi-posisi yang rendah.” (Sholeh as-Samarani, Minhāj al-Atqiyā’, 172).

Lebih dari itu, pemerintahan kolonial Belanda – sebagian disebabkan oleh sedikitnya pemahaman akan agama kaum jajahannya – menyusun sebuah kurikulum pendidikan yang tidak sesuai bagi warga pribumi. Ditinjau dari filsafat pendidikan yang digunakan, misalnya, sistem pendidikan Kolonial Belanda dipenuhi dengan  konsep-konsep dan ajaran-ajaran yang berasal dari prinsip-prinsip Kristen (Lelyveld, Colonial Educationalist, 4).

Pendidikan di masa itu pada umumnya dikaitkan dengan usaha pengkristenan (missionary), seperti pendidikan membaca Bibel; Sedangkan pendidikan membaca kitab-kitab jurisprudensi Islam yang mengakar kuat dalam kurikulum sistem pendidikan tertua di Indonesia tidak dinilai sebagai proses pendidikan yang baik (Baudet et. al., Politik Etis, 176–78).

Tujuan dari pendidikan di masa itu hanyalah untuk melatih calon-calon pegawai Hindia-Belanda yang taat. Mereka yang dilatih di sekolah-sekolah model Belanda itu sering kali hanyalah keturunan Eropa atau warga pribumi yang berasal dari keturunan terhormat, suatu model yang mana bertentangan dengan konsep pendidikan dalam Islam (Lelyveld, Colonial Educationalist, 5). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa sistem pendidikan Belanda telah mengenalkan suatu konsep yang bertentangan dengan sistem pendidikan Islam tradisional yang telah dikenal warga masyarakat jajahannya (Baudet et. al., Politik Etis, 177).

Kiai Sholeh Darat Sang Pionir Pegon
Kepengarangan Pegon menunjukkan perhatian yang mendalam dari Kiai Sholeh untuk mengangkat tirai kegelapan dalam kondisi pendidikan yang demikian ini. Meskipun bukan praktik baru, karya-karya Islam dalam aksara Pegon diyakini telah muncul sejak abad ke-16. Sedikit sekali penelitian mengenai manuskrip Pegon, baik oleh para peneliti barat maupun dalam negeri. Sebuah manuskrip tertua yang telah ditemukan menunjukkan angka tahun 1623-1624. (Ricklefs dan Voorhoeve, Indonesian manuscripts in Great Britain, 45). Namun dapat dikatakan bahwa kitab-kitab Pegon sebelum era Kiai Sholeh masih ditransmisikan secara tradisional dan disalin dari satu manuskrip ke manuskrip lainnya. Sebagian manuskrip pegon mengungkapkan fungsinya yang masih terjaga hingga kini sebagai teks terjemahan antar-baris dalam dari kitab-kitab yang berbahasa Arab.

Di abad ke-19, di mana percetakan muslim telah berkembang pesat di Singapura, Kiai Sholeh dapat dinilai sebagai pionir dalam tradisi penulisan kitab Islam pegon berdasarkan sumber-sumber klasik. Dengan Bahasa Jawa Ngoko yang beliau sebut Bahasa Jawa setempat (Lughot al-Jawi al-Mrikiyyah) yaitu Bahasa yang digunakan masyarakat Jawa pada umumnya, bukan Bahasa jawa krama, Kiai Sholeh hendak menekankan karakteristik egaliter dalam karya-karyanya. Hal ini terbukti mampu akan sangat menarik bagi kaum awam.

Meskipun Kiai Rifai’i Kalisalak (d. 1870) telah menyusun kitab-kitab baru dalam aksara Pegon mengenai kajian Islam sebelum masa Kiai Sholeh, adalah yang terakhir yang karyanya beredar luas di seluruh dunia muslim di Asia Tenggara. Karya Kiai Rifa’i sering kali hanya beredar di tangan para pengikutnya yang membentuk jaringan kekeluargaan Rifa’iyyah (Djamil, Perlawanan Kiai Desa).

Selagi mengakui peran utama Bahasa Arab dalam pendidikan Islam, Kiai Sholeh mengklarifikasi bahwa yang disebut ilmu yang bermanfaat ( ‘ilm al-nāfi‘) tidak harus ditulis dalam Bahasa Arab. Ilmu yang diamalkan agar seorang memperoleh ridha Allah ini tidaklah monopoli bagi mereka yang menguasai Bahasa Arab (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 4; Sholeh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 3). Beliau lalu memberikan argumentasi berdasarkan banyaknya kitab-kitab tafsir yang disusun dalam Bahasa non-Arab (‘Ajami) di antaranya dalam Bahasa Parsi, Turki, and Isfahān (Sholeh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 2-3).

Lebih dari itu, beliau juga mengkritik para cendekiawan yang membatasi dan melarang kaum awam belajar Islam dari terjemahan, baik dalam Bahasa Melayu maupun Jawa, dan menilai mereka membiarkan kaum awam tersebut tersesat (Sholeh as-Samarani, Sabīl al-‘Abīd, 66). Andai kata syarat untuk memeroleh pendidikan Islam adalah pemahaman terhadap Bahasa Arab, maka –Kiai Sholeh berargumen – betapa banyaknya orang muslim yang tidak akan mungkin mendapatkan akses ke pendidikan Islam (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 4).

Dengan mengutip al-Qur’an surah Ibrahim ayat 4, beliau membangun kerangka berpikir mengapa al-Quran diturunkan dalam Bahasa Arab. Yaitu, karena yang pertama adalah Nabi Muhammad diutus kepada kaum Quraish yang berbahasa Arab (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 2). Beliau melanjutkan bahwa dalam perkembangan Islam, kaum muslim yang membutuhkan pemahaman Islam bukan hanya orang Arab, oleh karena itu penerjemahan Islam ke dalam bahasa-bahasa penganutnya yang baru itu tidak dapat dihindari (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 4).

Sebagai tambahan, beliau juga berargumen bahwa kaum awam, yaitu yang dalam pengertiannya adalah mereka yang tidak menguasai Bahasa Arab, adalah mereka yang paling membutuhkan pengetahuan keislaman terutama tentang kewajiban individu (fardh ain) sebagai muslim, lebih dari keutuhan mereka untuk mengetahui Bahasa Arab. Yang sangat menarik dari Kiai Sholeh adalah rendah hatinya (tawāḍu‘).

Ketika dia menyebutkan bahwa karya-karyanya ditujukan kepada kaum awam yang tidak mengetahui Bahasa Arab, beliau selalu menambahkan frasa “koyo ingsun” (seperti saya). Hal ini menjadikan perasaan diperlakukan egaliter dan kaum awam merasa tidak digurui, namun belajar bersama Kiai Sholeh Darat (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 2). Beliau lalu menunjuk pada kenyataan bahwa banyak kaum muslim di masanya yang tidak bisa membaca al-Qur’an karena kitab ilmu baca al-Quran (tajwid) yang tersedia di bidang ini hanya dalam Bahasa Arab (Sholeh as-Samarani, al-Murshid al-Wajīz, 2).

Pada abad ke-19, pengajaran Islam bagi muslim awam masih dalam tingkatan pendidikan membaca al-Quran, tanpa usaha lebih lanjut pada pemahaman akan maknanya. Dalam hal ini, Kartini mengeluhkan betapa besarnya penekanan terhadap “kesucian” al-Qur’an, sehingga tidak ada karya penerjemahan al-Qur’an dalam Bahasa Jawa yang tersedia bagi kaum awam. Padahal, menurutnya, kaum Jawa kebanyakan tidak mengetahui sedikit-pun mengenai Bahasa Arab. Privileged untuk mempelajari terjemahan dan tafsir al-Qur’an adalah milik sedikit elit sosial, yaitu termasuk para kiai dan santri di pesantren. Karya pegon Kiai Sholeh adalah usahanya untuk memperluas jangkauan pembelajaran –dalam batasan tertentu – ortodoksi Islam melebihi batasan komunitas pesantren, sehingga menyentuh kaum muslim awam.

Banyak subjek yang dimuat dalam karya-karya Pegon Kiai Sholeh. Mayoritas ditujukan untuk memenuhi kebutuhan paling mendesak oleh masyarakat Jawa akan panduan manual fikih. Ditinjau dari sisi kuantitas kitab yang dicetak pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, tipe karya ini secara signifikan melebihi karyanya dalam subjek yang lain.

Sebagai contoh, laporan pemerintahan Kolonial-Belanda merekam bahwa karya Faṣalātan Kiai Sholeh telah dicetak sebanyak 10.000 eksemplar di percetakan Singapura dan Bombai. Jumlah ini di masa itu dan terus dicetaknya kitab itu hingga sekarang sudah cukup untuk membantah pendapat Pigeaud yang menyatakan bahwa buku-buku Pegon sudah tidak beredar di masyarakat lagi. Tanpa data yang meyakinkan dan berusaha mengadu-domba unsur-unsur dalam masyarakat, dia dengan gegabah menyatakan bahwa penggunaan aksara Pegon telah berakhir pada abad ke-19 seiring dengan tumbuhnya percetakan aksara Jawa-India yang didukung oleh Keraton Surakarta.

Hal itu sama sekali tidak benar, karena hingga detik ini, tradisi pesantren masih menjaga praktik penerjemahan antar-baris dengan menggunakan aksara Pegon, dikenal dengan metode “utawi-iku” (Pigeaud, Literature of Java, Vol. I, 27).  Karya-karya di bidang ini merupakan yang paling penting bagi Kiai Sholeh karena mereka adalah pijakan pertama yang diwajibkan bagi seorang muslim untuk dipelajari dan diamalkan (fardh ‘ain). Termasuk ke dalam kategori ini adalah Faṣalātan, Manāsik Ḥajj wa al-‘Umrah, Laṭā’if al-Ṭahārah wa Asrār al-Ṣalāh, dan Majmū‘at al-Sharī‘at.

Kedua, selain fikih, Kiai Sholeh juga memberikan perhatian yang amat dalam untuk mendidik etika dan tasawuf kaum awam. Kaitan antara tasawuf dan etika memang sangat erat. Misalnya, seorang penulis sufistik periode awal, Al-Ḥujwirī (w. 467/1077) menjelaskan di masterpiece-nya, Kashf Al-Maḥjūb, bahwa seorang Sufi adalah mereka yang mampu mendisiplinkan pikiran dan sikap, serta selalu menghindari bisikan dari jiwa rendah yang selalu memerintahkan keburukan (Kashf al-Maḥjūb, 227). Termasuk dalam kategori ini adalah Sharaḥ al-Ḥikam, Minhāj al-Atqiyā’ (Teks ini telah diterjemahkan oleh Hardjadarsana ke dalam Bahasa Jawa barangkali dalam aksara Jawa pula) dan Munjiyāt. Kitab-kitab ini juga masih popluar di masyarakat dan didasarkan pada kitab-kitab yang sangat popular di pesantren.

Ketiga, Kiai Sholeh menyusun beberapa karya dalam kategori pujian dan sejarah Nabi Muhammad. Kitab Sharaḥ Barzanjī dari Kiai Sholeh memberikan detail mengenai tema mistis paling popular dalam kehidupan Nabi, yaitu perjalanan menakjubkan Nabi dalam “Malam Isra’ dan Mi’raj”. Selagi itu, kitab Tarjamah Burdah adalah komentar Kiai Sholeh terhadap karya yang sangat terkenal dengan pokok bahasan tentang pujian terhadap Nabi. (Umam, Localizing Islamic Orthodoxy, 159–60).

Keempat, Kiai Sholeh menahbiskan namanya sebagai pioner penafsir al-Quran ke dalam Bahasa Jawa dengan kitabnya Fayḍurraḥmān. Dalam kitab ini, Kiai Sholeh memberikan tinjauan dari segi tasawuf mengenai ayat-ayat dalam al-Quran. Sangat disayangkan bahwa karya ini mendapat sedikit saja perhatian dari para cendekiaiwan.

Dalam karya historiografi mengenai sejarah penafsiran al-Qur’an di Indonesia, nama Kiai Sholeh sangat sedikit sekali disebut, untuk tidak mengatakan tidak pernah. Sebagai tambahan akan tafsir, beliau juga menulis kitab mengenai ilmu-ilmu al-Qur’am berjudul al-Murshid al-Wajīz. Kiai Sholeh memberitahukan bahwa gurunyalah yang memerintahkannya untuk menulis sebuah karya yang menjelaskan panduan membaca al-Qur’an dengan menggunakan Bahasa Jawa. Selain tema ini, kitab tersebut juga mengandung diskusi mengenai hakikat kerasulan dan wahyu, yang mana dibutuhkan untuk memahami signifikansi pewahyuan al-Quran lebih baik.

Seluruh karya Kiai Sholeh yang sejauh ini penulis temukan di atas mengungkapkan satu garis merah yaitu untuk mendidik kaum awam. Mereka ini ditulis untuk menumbuhkan dalam diri kaum awam semacam penerapan ortodoksi Islam. Sangat jauh dari anggapan sebagian peneliti pemula bahwa beliau dipengaruhi oleh Wahhabisme. Seluruh karyanya menunjukkan keteguhan totalnya terhadap tradisi keilmuan pesantren yang telah diperkenalkan sejak Islam masuk ke nusantara, separuh milenium yang lalu. [dutaislam.com/gg]

Nur Ahmad, Wakil Sekretaris PCINU Belanda
Mahasiswa Master di Vrije University Amsterdam.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB