Pengertian Allah Tidak Pandang Rupa dan Amalmu Menurut Ibnu Athaillah
Cari Berita

Advertisement

Pengertian Allah Tidak Pandang Rupa dan Amalmu Menurut Ibnu Athaillah

Duta Islam #03
Sabtu, 30 September 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
DutaIslam.Com - Ibadah seharusnya dipahami sebagai bentuk penyerahan, kedhaifan, dan kefakiran manusia di hadapan Allah. Tetapi ketika ibadah membuat pelakunya ujub pada dirinya sendiri dan angkuh terhadap orang lain yang tidak mengamalkannya, maka ibadah ini menjadi tercela sebagai disebutkan oleh Ibnu Athaillah pada hikmah berikut ini.

معصية أورثت ذلاً وافتقاراً خير من طاعة أورثت عزاً واستكباراً

Artinya, “Sebuah maksiat yang berbuah kerendahan diri dan kefakiran (di hadapan Allah) lebih baik daripada amal ibadah yang melahirkan bibit kebanggan dan keangkuhan.”

Hikmah ini menegaskan bahwa manusia tidak boleh jauh-jauh dari sifat kerendahan dan kefakirannya di hadapan Allah. Manusia tidak boleh memakai kebanggaan dan keangkuhan yang menjadi sifat ketuhanan. Ketaatan seseorang bukan alasan baginya untuk bersikap angkuh dan merasa suci sebagai disebut Syekh Ibnu Abbad berikut ini.

الذل والافتقار من صفات العبودية و العز والاستكبار مناقضان لها لأنهما من صفات الربوبية ولا خير في الطاعة إذا لزم عنها شيء مما يناقض صفات العبودية لأنها تحبطها وتبطلها كما لا مبالاة بالمعصية إذا لزمتها صفات العبودية لأنها تمحوها وتزيلها وقال سيدي أبو مدين رضي الله عنه انكسار العاصى خير من صولة المطيع

Artinya, “Kerendahan diri dan kefakiran adalah sifat kehambaan. Kebanggan dan keangkuhan bertolak belakang dengan sifat kehambaan karena dua sifat yang disebut terakhir adalah sifat ketuhanan. Tak ada kebaikan apapun pada amal ibadah yang lazim padanya sifat (bangga dan angkuh) yang bertolak belakang dengan sifat kehambaan karena sifat ketuhanan itu dapat mengugurkan dan membatalkan amal itu sendiri.

Sebaliknya, (Allah) tidak peduli pada maksiat yang lazim padanya sifat kehambaan (kerendahan diri) karena sifat itu akan menghapus dan menghilangkan kadar kesalahan maksiat tersebut. Syekh Abu Madyan berkata, ‘Kerendahan diri pelaku maksiat lebih baik daripada kewibawaan orang yang beramal saleh,’” (Lihat Syekh Ibnu Abbad, Syarhul Hikam, Semarang, Maktabah Al-Munawwir, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 72).

Syekh Ibnu Ajibah mengaitkan masalah ini dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi, “Allah tidak memandang rupa dan amalmu, tetapi hatimu.” Ia dengan tegas mengingatkan bahwa jantung dari hubungan manusia dan Allah adalah adab. Manusia dituntut untuk beradab dengan baik di hadapan-Nya (husnul adab). Allah akan murka jika manusia melakukan su’ul adab kepada-Nya.

قلت انما كانت المعصية التي توجب الانكسار أفضل من الطاعة التي توجب الاستكبار لأن المقصود من الطاعة هو الخضوع والخشوع والانقياد والتذلل والانكسار أنا عند المنكسرة قلوبهم من أجلي فإذا خلت الطاعة من هذه المعاني واتصفت بأضدادها فالمعصية التي توجب هذه المعاني وتجلب هذه المحاسن أفضل منها إذ لا عبرة بصورة الطاعة ولا بصورة المعصية وإنما العبرة بما ينتج عنهما أن الله لا ينظر إلى صوركم ولا إلى أعمالكم وإنما ينظر إلى قلوبكم فثمرة الطاعة هي الذل والانكسار وثمرة المعصية هي القسوة والاستكبار فإذا انقلبت الثمرات انقلبت الحقائق صارت الطاعة معصية والمعصية طاعة... وقال الشيخ أبو العباس المرسي رضي الله عنه كل إساءة أدب تثمر أدباً فليست بإساءة أدب وكان رضي الله عنه كثير الرجاء لعباد الله الغالب عليه شهود وسع الرحمة... وقال شيخ شيوخنا رضى الله عنه معصية بالله خير من ألف طاعة بالنفس

Artinya, “Buat saya, maksiat yang membuahkan kerendahan diri lebih utama dibanding ketaatan ibadah yang memicu keangkuhan karena tujuan hakiki atas amal ibadah adalah ketundukan, penyerahan, kepatuhan, ketaklukan, dan kerendahan diri sebagai terncantum pada hadits qudsi ‘Aku bersama mereka yang rendah diri demi Aku.’ Kalau sebuah ibadah sunyi dari makna-makna kehambaan, tetapi justru melahirkan benih sifat ketuhanan, maka maksiat yang membuahkan makna kehambaan dan mendatangkan kebaikan-kebaikan lebih utama dibandingkan amal ibadah karena bentuk konkret ibadah (formalitas) atau maksiat tidak menjadi ukuran. Yang jadi patokan adalah hasil atau buah dari keduanya sebagai tercantum pada hadits Rasulullah SAW ‘Allah tidak memandang bentuk rupa dan amalmu. Allah hanya melihat hatimu.’

Buah ibadah harusnya ketaklukan dan kerendahan diri. Sementara efek maksiat adalah kekerasan hati dan keangkuhan. Tetapi jika buah keduanya itu bersalahan, maka hakikat keduanya itu pun berubah di mana amal ibadah lahiriyah itu sejatinya maksiat dan maksiat lahiriyah itu hakikatnya adalah ibadah.

Syekh Abul Abbas Al-Mursi berkata, ‘Setiap su’ul adab (maksiat secara formal) yang berbuah adab tidak bisa disebut sebagai su’ul adab.’ Syekh Abul Abbas Al-Mursi juga kerap mengimbau para hamba Allah yang terperosok di jurang dosa karena kuasa-Nya untuk melihat keluasan rahmat-Nya... Mahaguru kami berkata, ‘Sebuah maksiat kepada Allah lebih baik daripada seribu amal ibadah dengan nafsu,’” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 143).

Perihal ini, Syekh Ibnu Ajibah mengutip hadits Rasulullah SAW di mana ujub yang melahirkan kebesaran dan keangkuhan merupakan sebuah penyakit berbahaya.

وقال رسول الله صلى الله عليه وسلم لو لم تذنبوا لخشيت عليكم ما هو أشد من ذلك العجب كذا في الصحيحين وقال عليه السلام لولا أن الذنب خير من العجب ما خلا الله بين مؤمن وذنب أبداً

Artinya, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Kalau pun kamu sekalian tidak berdosa, aku khawatir sesuatu yang lebih buruk dari itu menjangkiti kamu semua, yaitu ujub’ sebagaimana tercantum pada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Rasulullah SAW juga bersabda, ‘Kalau sekiranya dosa itu tidak lebih baik daripada ujub, niscaya Allah takkan memisahkan seorang mukmin dan dosa selamanya,’” (Lihat Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam fi Syarhil Hikam, Beirut, Darul Fikr, tanpa catatan tahun, juz I, halaman 143).

Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan hikmah ini dengan moderat. Dengan uraian filosofis ia menyebutkan bahwa idealnya manusia taat kepada Allah lahir dan batin. Menurutnya, ketaatan lahir (formalitas ibadah) tidak menjamin seseorang taat dengan batin kepada Allah.

قلت: الخير فى الطاعة  بالذات والشر فيها بالعرض، والشر فى المعصية بالذات والخير فيها بالعرض. وخير الطاعة من حيث إنها عبودية له وخضوع بين يديه ورجوع إليه وطلب لما عنده، وشر المعصية في ضد ذلك، فإذا أوجبت الطاعة ما هو بالمعصية في الذات كانت شرا، وإذا أوجبت المعصية ما هو في الطاعة بالذات كانت خيرا

Artinya, “Buat saya, kebaikan yang terkandung dalam ketaatan kepada Allah itu bersifat identik. Sedangkan keburukan yang terkandung dalam ketaatan bersifat tidak identik. Sebaliknya, keburukan pada maksiat bersifat identik. Sedangkan kebaikan yang terkandung pada maksiat bersifat tidak identik. Kebaikan yang terkandung dalam ketaatan dilihat dari kehambaan, ketundukan di hadapan Allah, penyerahan diri kepada-Nya, dan pengharapan karunia-Nya.

Sementara keburukan pada maksiat ditinjau dari semua kebalikan sifat ketaatan (bangga dan angkuh). Tetapi ketika sebuah amal ketaatan melahirkan bibit keburukan yang identik pada maksiat (ujub dan angkuh), maka amal ibadah itu bernilai buruk. sebaliknya, ketika sebuah maksiat berbuah kebaikan yang identik pada amal ketaatan (rendah diri dan fakir), maka maksiat (formalitas) itu bernilai baik,” (Lihat Syekh Ahmad Zarruq, Syarhul Hikam, As-Syirkatul Qaumiyyah, 2010 M/1431 H, halaman 97).

Singkat kata, Allah menuntut manusia untuk berserah diri, menyatakan kedhaifan dan kefakiran melalui amal ibadah baik lahir maupun batin. Hikmah ini bukan berarti merupakan anjuran Syekh Ibnu Athaillah untuk berbuat maksiat. Kita tetap harus berupaya untuk menaati perintah Allah dan mengejar ibadah sunah. Penekanannya terletak pada sejauhmana manusia menjaga husnul adab di hadapan-Nya dengan sifat kerendahan diri dan kefakiran.

Dengan kata lain, ibadah tidak hanya mengandung formalitas, tetapi juga perlu dipertimbangan substansinya. Penulis Al-Hikam ini mengingatkan bahaya ujub yang kemudian memandang orang lain tidak lebih taat, tidak lebih suci, dan tidak lebih baik dibanding orang yang menaati perintah Allah. Wallahu a‘lam. [dutaislam.com/Alhafiz K/pin]

Sumber: NU Online

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB