KH. Munawwir Krapyak Yogyakarta, Ahli Qira'ah Sab'ah, Pernah Baca Quran Sampai Mengeluarkan Darah
Cari Berita

Advertisement

KH. Munawwir Krapyak Yogyakarta, Ahli Qira'ah Sab'ah, Pernah Baca Quran Sampai Mengeluarkan Darah

Duta Islam #03
Kamis, 14 September 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa

DutaIslam.Com - KH. M. Munawwir Krapyah Yogyakarta adalah putra KH. Abdullah Rosyad bin KH. Hasan Bashari atau yang lebih dikenal dengan nama Kyai Hasan Besari, ajudan Pangeran Diponegoro.

KH. Abdullah Rosyad sendiri memiliki 11 orang anak dari 4 orang istri. Salah satunya adalah KH. M. Munawwir. KH Munawwir lahir dari pernikahannya dengan Nyai Khadijah, Bantul.
Masa Belajar KH. M. Munawwir.

Guru pertama KH Munawwir adalah Ayahanda beliau sendiri. KH Abdullah menjadi seorang targhib (penyemangat) nderes al-Quran. Beliau memberikan hadiah sebesar Rp 2,50 kepada KH Munawwir dapat mengkhatamkannya selama seminggu sekali. Hal itu dilaksnakan dengan baik oleh beliau. Bahkan terus berlangsung sekalipun hadiah tak diberikan.

Baca: Jual Kitab Qiro'at Asyr Al-Mutawatirah (Bukan PDF)

Selian abahnya, KH. M. Munawwir berguru kepada beberapa ulama seperti KH. Abdullah, (Kanggotan – Bantul), KH. Kholil (Bangkalan – Madura), KH. Shalih (Darat – Semarang), dan KH. Abdurrahman (Watucongol – Magelang). Beliau tak hanya belajar qira’at (bacaan) dan menghafal Al-Quran, melainkan juga ilmu-ilmu yang lain.

Pada Tahun 1888 M. beliau melanjutkan pengembaraan menimba ilmu ke Haramain, Makkah al-Mukarramah dan Madinah al-Munawwarah. Guru-guru beliau di dua tempat suci itu antara lain Syaikh Abdullah Sanqara, Syaikh Syarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur, Syaikh Mushthafa, dan Syaikh Yusuf Hajar yang mengajari KH Munawwir dalam qira’ah sab’ah.

Dalam suatu perjalanan dari Makkah ke Madinah, tepatnya di Rabigh, beliau pernah berjumpa dengan orang tua yang tidak beliau kenal. Orang tua itu lantas mengajak berjabat tangan, KH Munawwir minta didoakan agar menjadi seorang hafidz al-Quran yang sejati. Orang tua itu kemudian menjawab: “Insyaa-Allah.” Menurut KH. Arwani Amin (Kudus), orang tua itu tak lain adalah Nabiyullah Khadhir As.

Ahli Qira’ah Sab’ah
KH. M. Munawwir ahli dalam qira’ah sab’ah (7 bacaan al-Quran). Salah satunya adalah qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Imam Hafsh. Sanad Qira’ah Imam ‘Ashim riwayat Hafsh KH. M. Munawwir sampai kepada Nabi Muhammad SAW.

Jalurnya dari 1) Syaikh Abdulkarim bin Umar al-Badri ad-Dimyathi, dari 2) Syaikh Isma’il, dari 3) Syaikh Ahmad ar-Rasyidi, dari 4) Syaikh Mushthafa bin Abdurrahman al-Azmiri, dari 5) Syaikh Hijaziy, dari 6) Syaikh Ali bin Sulaiman al-Manshuriy, dari 7) Syaikh Sulthan al-Muzahiy, dari 8) Syaikh Saifuddin bin ‘Athaillah al-Fadhaliy, dari 9) Syaikh Tahazah al-Yamani, dari 10) Syaikh Namruddin ath-Thablawiy, dari 11) Syaikh Zakariyya al-Anshari, dari 12) Syaikh Ahmad al-Asyuthi, dari 13) Syaikh Muhammad ibn al-Jazariy, dari 14) Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Khaliq al-Mishri asy-Syafi’i, dari 15) Al-Imam Abi al-Hasan bin asy-Syuja’ bin Salim bin Ali bin Musa al-‘Abbasi al-Mishri, dari 16) Al-Imam Abi Qasim asy-Syathibi, dari 17) Al-Imam Abi al-Hasan bin Huzail, dari 18) Ibnu Dawud Sulaiman bin Najjah, dari 19) Al-Hafidz Abi ‘Amr ad-Daniy, dari 20) Abi al-Hasan ath-Thahir, dari 21) Syaikh Abi al-‘Abbas al-Asynawiy, dari 22) ‘Ubaid ibnu ash-Shabbagh, dari 23) Al-Imam Hafsh, dari 24) Al-Imam ‘Ashim, dari 25) Abdurrahman as-Salma, dari 26) Sadatina Utsman bin ‘Affan, ‘Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, ‘Ali bin Abi Thalib, dari 27) Rasulullah Muhammad SAW, dari 28) Robbul ‘Alamin Allah Swt. dengan perantaraan Malaikat Jibril As.

KH. Munawwir menekuni al-Quran dengan riyadhah. Beliau sekali khatam dalam 7 hari 7 malam selama 3 tahun. Kemudian sekali khatam dalam 3 hari 3 malam selama 3 tahun. Memudian sekali khatam dalam sehari semalam selama 3 tahun. Terakhir riyadhah membaca Al-Quran selama 40 hari tanpa henti hingga mulut beliau berdarah.

Beliau menimba ilmu di Tanah Suci sekitar 21 tahun. Kemudian kembali ke kediamannya di Kauman, Yogyakarta, pada tahun 1909 M.

Akhlak KH. M. Munawwir
KH. M. Munawwir selalu memilih shalat di awal waktu. Lengkap dengan shalat sunnah Rawatibnya. Shalat Witir beliau tunaikan 11 raka’at dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya. Begitu juga dalam mudawamah beliau terhadap shalat Isyroq (setelah terbit matahari), shalat Dhuha dan shalat Tahajjud.

Beliau mewiridkan al-Quran tiap ba’da Ashar dan ba’da Shubuh. Beliau tetap menggunakan mushaf meskipun sudah hafal Al Quran. Wiridan Al Qur’annya selalu terjaga meskipun bepergian. Hataman dilakukan tiap satu minggu pada pada hari Kamis sore. Hal itu dilakukannya sejak beliau berumur 15 tahun.

KH Munawwir sering menghabiskan waktu siannya dengan mengajarkan Al-Quran. Kalau ada waktu senggang beliau masuk ke kamar khusus (dahulu terletak di sebelah utara Masjid) untuk bertawajjuh kepada Allah. Pada malam hari beliau istirahat secara bergilir di antara istri-istri secara adil.

Untuk diketahui, KH Munawwir memiliki 5 orang istri yaitu Nyai R.A. Mursyidah (Kraton Yogyakarta), Nyai Hj. Sukis (Wates Yogyakarta), Nyai Salimah (Wonokromo Yogyakarta), Nyai Rumiyah (Jombang – Jawa Timur), Nyai Khadijah (Kanggotan – Yogyakarta). Istri kelima dinikahi setelah wafatnya istri pertama. KH. M. Munawwir hidup beserta keluarga di tengah ketenangan, kerukunan, istiqamah dan wibawa, dengan berkah al-Quran al-Karim.

Orang hafal al-Quran (Hafidz) yang beliau akui adalah orang yang bertakwa kepada Allah, dan shalat Tarawih dengan hafalan al-Quran sebagai bacaannya. Begitu besar pengagungan beliau terhadap al-Quran, sampai-sampai undangan Haflah Khatmil Quran hanya beliau sampaikan kepada mereka yang jika memegang Mushaf al-Quran selalu dalam keadaan suci dari hadats.

Pernah terjadi seorang santri asal Kotagede dengan sengaja memegang Mushaf al-Quran dalam keadaan hadats. Setelah diusut oleh KH. M. Munawwir, akhirnya santri tersebut mengakuinya. Atas pengakuannya, si santri dita’zir, kemudian dikeluarkan dari pesantren dalam keadaan sudah menghafalkan Al-Quran 23,5 juz.
Penampilan KH Munawwir

KH Munawwir rutin memotong rambut setiap setengah bulan sekali. Setelah itu, jarang diketahui membuka tutup kepala. Kepala beliau selalu ditutup, jika tidak dengan kopyah maka dengan sorban atau menggunakan keduanya. Beliau juga rutin menggunting kuku hari Jum’at.

Penampilan KH Munawwir sangat sederhana dalam keseharian. Meskipun begitu, terlihat sempurnah terutama dalam melakukan ibadah. Pakainnya rapi dan disetrika. Jubah, sarung, sorban, kopyah dan tasbih selalu tersedia. Pakaian dinas Kraton Yogyakarta selalu beliau kenakan ketika menghadiri acara-acara resmi Kraton. Untuk bepergian, beliau sering mengenakan baju jas hitam, sorban, dan sarung.

Beliau tidak suka makan sampai kenyang, terlebih lagi di bulan Ramadhan, yakni cukup dengan satu cawan nasi ketan untuk sekali makan. Jika ada pemberian bantuan dari orang, beliau pergunakan sesuai dengan tujuan pemberinya. Jika ada kelebihan, maka akan dikembalikan lagi kepada pemberinya.

Walau beliau termasuk dalam Abdi Dalem (anggota dalam) Kraton, namun beliau tidak suka mendengarkan pementasan Gong Barzanji. Sebagai hiburan, beliau senang sekali mendengarkan lantunan shalawat-shalawat, Burdah dan tentunya Tilawatil Quran.

Para santri beliau perintahkan untuk berziarah di Pemakaman Dongkelan tiap Kamis sore. Tiap berziarah, beliau membaca surat Yasin dan Tahlil. Apabila terjadi suatu peristiwa yang menyangkut ummat pada umumnya, beliau mengumpulkan semua santri untuk bersama-sama tawajjuh dan memanjatkan do’a kehadirat Allah, biasanya dengan membaca shalawat Nariyyah 4.444 kali atau surat Yasin 41 kali.

Di tengah kesibukkanya mengajari santri, beliau tak lantas meninggalkan tugasnya kepala rumah tangga. Tiap ba’da Shubuh, beliau mengajar al-Quran kepada segenap keluarga dan pembantu rumah tangga. Nafkah untuk selalu cukup menurut kebutuhan masing-masing. Suasana keluarga senantiasa tenang, tenteram, rukun, dan tidak sembarang orang keluar-masuk rumah selain atas ijin dan perkenan dari beliau.

Beliau jarang sekali marah kepada santrinya, kecuali memang harus. Suatu waktu beliau pernah tiduran di muka kamar santri. Tiba-tiba bantal yang beliau pakai diambil secara tiba-tiba oleh seorang santri hingga terdengar suara kepala beliau mengenai lantai. Beliau kemudian memanggil santri itu dan berkata:

“Nak… saya pinjam bantalmu, karena bantal yang saya pakai baru saja diambil oleh seorang santri.”

Sikapnya kepada santri sangat baik tak hanya dalam memberikan ilmu. Seringkali santri yang hendak pulang ke kampung halaman diberi sangu oleh beliau. Para santri pun dianjurkan untuk bertamasya ke luar pesantren, biasanya sekali tiap setengah bulan, sebagai pelepas penat.

Sebagai seorang ulama, KH. M. Munawwir juga akrab dan sering mendapat kunjungan dari para ulama lain seperti Murid-murid Syaikh Yusuf Hajar dari Madinah, KH. Sa’id (Gedongan – Cirebon), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. R. Asnawi (Kudus), dan lain. Beliau juga kerapkali mengadakan kunjungan balasan terhadap para ulama yang lain, seperti kepada KH. Hasyim Asy’ari (Jombang), KH. Ahmad Dahlan (Yogyakarta), maupun yang lainnya.

KH Munawwir mendapat kepercayaan dari pihak Kraton untuk menjadi anggota JEMANGAH, yakni jama’ah shalat tetap yang terdiri dari 41 orang ulama, dimaksudkan sebagai penolak bencana Negara.

Dakwah KH. M. MunawwirSepulang dari Makkah pada tahun 1909 M, beliau lantas mendakwahkan Al-Quran di sekitar kediaman beliau di Kauman. Tepatnya di sebuah langgar kecil milik beliau, tempat tersebut sekarang sudah menjadi Gedung Nasyiatul ‘Aisyiyyah Yogyakarta.

Lantas pindah ke Gading, tinggal bersama kakak beliau, KH. Mudzakkir. Namun karena berbagai sebab, juga atas saran dari KH. Sa’id (Pengasuh Pesantren Gedongan, Cirebon), pada tahun 1910 M beliau pun hijrah ke Krapyak setelah selesainya pembangunan tempat tinggal dan komplek pesantren di sana, di tanah milik Bapak Jopanggung yang kemudian dibeli dengan uang amal dari Haji Ali.
Pada 15 November 1910, Pesantren Krapyak mulai ditempati untuk mengajar al-Quran. Dilanjutkan dengan pembangunan Masjid atas prakarsa KH. Abdul Jalil.

Konon, KH. Abdul Jalil dalam memilih tempat untuk pembangunan masjid, adalah dengan menggariskan tongkatnya di atas tanah sehingga membentuk batas-batas wilayah yang akan dibangun masjid. Dengan kehendak Allah, wilayah yang dilingkupi garis itu tidak ditumbuhi rumput.
KH. M. Munawwir selalu mengerahkan segenap santri untuk melakukan amaliyah membaca surat Yasin tiap selesai pembangunan berlangsung. Pembangunan terus berlanjut secara bertahap, mulai dari masjid, akses jalan, dan gedung komplek santri hingga tahun 1930 M.

Di Pesantren Krapyak inilah beliau memulai berkonsentrasi dalam pengajaran al-Quran. Para santri sangat menghormati beliau, bukan karena takut, melainkan karena haibah, wibawa beliau.
Pengajian pokok yang diasuh langsung oleh KH. M. Munawwir adalah Kitab Suci al-Quran, yakni terbagi atas 2 bagian; BIN-NADZOR (membaca) dan BIL-GHOIB (menghafal). Santri bermula dari surat al-Fatihah, lantas Lafadz Tahiyyat sampai dengan shalawat Aali Sayyidina Muhammad, kemudian surat an-Nas sampai surat an-Naba’, baru kemudian surat al-Fatihah diteruskan ke surat al-Baqarah sampai khatam surat an-Nas.

Selain itu, pengajian kitab-kitab juga digelar sebagai penyempurna. Suatu hari pada tahun 1910, seorang santri dari Purworejo, yang dianggap mampu oleh beliau diperintahkan: “Ajarkanlah ilmu fiqh kepada santri-santri di hari Jum’at, biarlah mereka mengenal air.”

Begitu seterusnya berkembang, baik kitab fiqh maupun tafsir, makin menonjol disamping pengajian al-Quran yang utama. Beliau mengajar secara sistem MUSYAFAHAH, yakni sorogan, tiap santri langsung membaca di hadapan beliau. jika ada kesalahan beliau langsung membetulkannya.

Adab (Tata Krama) dalam pengajian al-Quran sangat beliau tekankan kepada para santri. Berbagai aturan dan ta’ziran beliau berlakukan terhadap para santri. Untuk santri yang telah khatam, maka dipanjatkanlah doa untuknya langsung oleh KH. M. Munawwir, lantas diberikanlah baginya sebuah Ijazah, yang intinya berisi pengakuan ilmu dari guru kepada muridnya serta Tarattubur-Ruwat (Urutan Riwayat) atau Sanad dari Sang Guru sampai kepada Rasulullah SAW secara lengkap.
Banyak diantara murid-murid beliau yang juga meneruskan perjuangan di kampung masing-masing, berupa mendakwahkan Islam pada umumnya, dan pengajaran al-Quran pada khususnya. Misalnya:

1. KH. Arwani Amin (Kudus)
2. KH. Badawi (Kaliwungu – Semarang)
3. Kyai Zuhdi (Nganjuk – Kertosono)
4. KH. Umar (Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan – Solo)
5. Kyai Umar (Kempek – Cirebon)
6. KH. Noor (Tegalarum – Kertosono)
7. KH. Muntaha (Pesantren Al-Asy’ariyyah, Kalibeber – Wonosobo)
8. KH. Murtadha (Buntet – Cirebon)
9. Kyai Ma’shum (Gedongan – Cirebon)
10. KH. Abu Amar (Kroya)
11. KH. Suhaimi (Pesantren Tamrinus Shibyan, Benda – Bumiayu)
12. Kyai Syathibi (Kyangkong – Kutoarjo)
13. KH. Anshor (Pepedan – Bumiayu)
14. KH. Hasbullah (Wonokromo – Yogyakarta)
15. Kyai Muhyiddin (Jejeran – Yogyakarta)
16. Haji Mahfudz (Purworejo)

Untuk para Mutakharrijiin (Alumni), beliau senantiasa menjalin hubungan dan bimbingan, bahkan berupa kunjungan ke tempat masing-masing.
Karomah KH. M. Munawwir

KH. Abdullah Anshar (Gerjen – Sleman) mengetahui beliau wafat, maka menangislah ia serta mengatakan tak kerasan lagi hidup di dunia tanpa beliau. Setelah pulang ke rumah, KH. Abdullah langsung menyusul pulang ke Rahmatullah.

Kyai Aqil Sirodj (Kempek – Cirebon) dikala masih berusia sekitar 8 tahun belum bisa mengucap dengan jelas bunyi “R”. Namun setelah minum air bekas cucian tangan beliau, langsung dapat membaca “R” dengan jelas.

Kala mengajar, biasanya beliau sambil tiduran, bahkan kadang benar-benar tertidur. Namun bila ada santri yang keliru membaca, beliau langsung bangun dan mengingatkannya.

Saat baru berusia 10 tahun, beliau berangkat mondok kepada KH. Cholil di Bangkalan, Madura. Sampai di sana, saat akan dikumandangkan iqamat, KH. Cholil tidak berkenan menjadi imam shalat seraya berkata: “Mestinya yang berhak menjadi imam shalat adalah anak ini (yakni KH. M. Munawwir). Walaupun ia masih kecil tetapi ahli qira’at.”

Sewaktu awal di Tanah Suci, beliau mengirimkan surat kepada ayahnya, menyatakan niat untuk menghapalkan al-Quran. Namun ayah beliau belum memperkenankannya, sehingga berniat mengirimkan surat balasan. Namun, belum sempat mengirimkan surat balasan, sang Ayah sudah mendapat surat kedua dari putranya yang menyatakan bahwa ia sudah terlanjur hafal. Dihafalkannya dalam waktu 70 hari (keterangan lain menyatakan 40 hari). Dan masih banyak lagi karomah KH. M. Munawwir yang lainnya.

Wafat dan Penerus KH. M. Munawwir
Sebagaimana manusia pada umumnya, KH. M. Munawwir menderita sakit selama 16 hari. Pada mulanya terasa ringan, namun lama-kelamaan semakin parah. Tiga hari terakhir saat beliau sakit, beliau tidak tidur.

Selama sakit, selalu berkumandanglah bacaan surat Yasin 41 kali yang dilantunkan oleh rombongan-rombongan secara bergantian. Satu rombongan selesai membaca, maka rombongan lain menyusulnya, demikian tak ada putusnya.

Akhirnya, beliau KH. M. Munawwir wafat ba’da Jum’at tanggal 11 Jumadil Akhir tahun 1942 M di kediaman beliau di komplek Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dikala beliau menghembuskan nafas terakhir, ditunggui oleh seorang putri beliau, Nyai Jamalah, yakni ketika rombongan pembaca surat Yasin belum hadir.

Shalat Jenazah dilaksanakan bergiliran lantaran banyaknya orang yang bertakziyyah. Imam shalat Jenazah kala itu adalah KH. Manshur (Popongan – Solo), KH. R. Asnawi (Bendan – Kudus), dan besan beliau KH. Ma’shum (Suditan – Lasem).

Beliau tidak dimakamkan di kompleks Pesantren Krapyak, melainkan di Pemakaman Dongkelan, yakni sekitar 2 km dari kompleks Pesantren. Dan sepanjang jalan itulah, terlihat kaum muslimin dari berbagai golongan penuh sesak mengiring dan bermaksud mengangkat jenazah beliau, sampai-sampai keranda jenazah beliau cukup ‘dioperkan’ dari tangan ke tangan yang lain, sampai di Pemakaman Dongkelan.

Jenazah KH. M. Munawwir dikebumikan di sana, dan selama lebih dari seminggu pusara beliau selalu penuh dengan penziarah dari berbagai daerah untuk membaca al-Quran.

Beliau wafat meninggalkan Pesantren yang merupakan tonggak pemisah suasana. Suasana sebelum dibangun pesantren, Krapyak dikenal sebagai tempat rawan, penuh kegelapan, abangan dan sedikit yang menjalankan ajaran Islam. Bersamaan dengan didirikannya Pesantren, banyak pula usaha busuk dari golongan-golongan Klenik yang dengki dan selalu merintangi perintisan Pesantren.
Namun upaya-upaya itu musnah, dan suasana gelap beralih menjadi ramai dan meriah dengan alunan Ayat-ayat Suci al-Quran dengan segala konsekuensinya.

Almarhum KH. M. Munawwir berwasiyat, agar keluarga melanjutkan perjuangan Pesantren, tepatnya kepada 2 orang putra dan 4 orang menantu. Akan tetapi karena beberapa udzur, perjuangan Pesantren dikawal secara langsung oleh 3 tokoh yang dikenal sebagai Tiga Serangkai yakni;

1) KH. R. Abdullah Affandi (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Disamping menangani pengajian al-Quran, beliau juga mengurusi hubungan Pesantren dengan dunia luar. Beliau wafat pada 1 Januari 1968.

2) KH. R. Abdul Qadir (putra beliau dari Nyai R.A. Mursyidah asal Kraton Yogyakarta). Pada tahun 1953, para santri penghafal al-Quran dikelompokkan menjadi satu dalam sebuah wadah, yakni Madrasatul Huffadz yang disponsori oleh KH. R. Abdul Qadir, dibantu KH. Mufid Mas’ud (menantu KH. M. Munawwir), Kyai Nawawi (menantu KH. M. Munawwir) dan Hasyim Yusuf dari Nganjuk. Ada 2 sistem yang ditempuh di Madrasatul Huffadz. Pertama, adalah Sistem Perseorangan, yakni Kyai menurut kepada santri untuk menghafalkan suatu ayat, surat maupun juz. Kedua, adalah Sistem Jama’ah Mudarasah, yakni seorang santri disuruh menghafal suatu ayat, surat atau juz, kemudian membacanya lantas berhenti dan dilanjutkan oleh santri yang lain, demikian sampai khatam 30 juz.

Untuk mentashhih kembali hafalan santri-santri yang sudah khatam, maka diharuskan melakukan ‘Ardhah secara Musyafahah sampai tiga kali khatam. Untuk menguji kelancaran hafalan, adalah dengan dibacanya suatu ayat oleh Kyai dan santri disuruh melanjutkannya. Begitu pula ditanyakan kepada santri tentang letak ayat tersebut dalam surat apa, halaman berapa, bagian mana, lembar kiri atau kanan, ayat nomor berapa, sampai surat baru masih berapa ayat lagi. Seperti itulah seluk beluk menghafalkan al-Quran di Madrasatul Huffadz saat itu. Setelah hafal seluruh al-Quran, maka selama 41 hari dilanjutkan Mudarasah (nderes) dengan mengkhatamkan 41 kali juga. KH. R. Abdul Qadir wafat pada 2 Februari 1961.

3) KH. ‘Ali Ma’shum (menantu beliau asal Lasem, suami dari Nyai Hj. Hasyimah). Beliau sudah turut mengasuh Pesantren sejak 1943. Beliau adalah perintis dan pengasuh pengajian kitab-kitab selepas KH. M. Munawwir wafat, yakni sejak kepulangan beliau dari Tanah Suci dalam rangka menimba ilmu. Dalam penyelenggarannya, beliau menerapkan beberapa sistem, yakni Sistem Madrasi (Klasik) dan Sistem Kuliyah, yang masing-masing dilengkapi dengan Pengajian Sorogan (individual). Adapun Pengajian Sorogan ini, beliau berlakukan dengan model Semi-Otodidak, yakni dengan ditentukannya suatu kitab oleh KH. ‘Ali Ma’shum untuk dikaji seorang santri. Tiap sore hari, santri tersebut harus menghadap beliau untuk membaca kitab.

Dalam hal ini, santri harus berusaha mempelajarinya sendiri, baik dalam cara membaca maupun menela’ah maknanya, baik dengan bertanya maupun berdiskusi dengan rekan dan kitab yang sudah ada maknanya. Sedangkan KH. ‘Ali Ma’shum cukup menyimak bacaan santri sambil mengajukan beberapa pertanyaan, dan membenarkan jika ada kesalahan membaca maupun memahami isinya. Dengan sistem ini, beliau maupun santri telah banyak menghemat waktu serta membuahkan hasil yang memuaskan lagi cermat. KH. ‘Ali Ma’shum wafat pada 1989.

Demikianlah estafet kepemimpinan Pesantren terus bergulir, semakin berkembang seiring bertambahnya usia, baik dalam metode maupun corak Pesantren, namun tak lepas dari sentuhan khas salafiyahnya. Dan tentunya, tetap berkonsentrasi pada misi awal yang dirintis Sang Muassis (Pendiri), yakni membumikan al-Quran, memasyarakatkan al-Quran dan meng-al-Quran-kan masyarakat.

Disadur dari Buku “MANAQIBUS SYAIKH: K.H.M. MOENAUWIR ALMARHUM: PENDIRI PESANTREN KRAPYAK YOGYAKARTA” yang diterbitkan oleh MAJLIS AHLEIN (Keluarga Besar Bani Munawwir) Pesantren Krapyak, keluaran tahun 1975. [dutaislam.com/ed/pin]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB