Syahwat Dibalik Khilafah
Cari Berita

Advertisement

Syahwat Dibalik Khilafah

Kamis, 10 Agustus 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: seword.com 

Oleh Ayik Heriansyah

DutaIslam.Com - Diantara kerancuan pemikiran umat Islam soal penerapan syariah oleh negara cc pemerintah adalah membayangkan negara ini bak seorang individu. Ibadah seorang individu kepada Allah swt ada yang bersifat langsung berupa ibadah mahdhah (ritual). Ibadah yang tidak  berhubungan langsung dengan manusia. Shalat, dzikir, do'a, puasa dan haji beberapa contoh ibadah ritual.

Ibadah ritual menekankan aspek niat dan formalitas. Niat semata-mata mencari keridhaan Allah swt (why). Adapun formalitas terkait dengan tata cara ibadah (kaifiyat/how). Niat menentukan diterima atau ditolak ibadah secara batin, sedangkan formalitas menilai absah atau tidak ibadah secara lahiriyah.

Tentu saja ibadah kenegaraan cc pemerintahan bukan ritual yang menekankan aspek niat dan formalitas. Karena fungsi negara adalah mengurus kemaslahatan warga negara, mengatur mereka agar harmonis, menjaga dari segala macam gangguan serta melindungi dari ancaman baik dalam maupun luar negeri. Yang menjadi inti ibadah kenegaraan adalah terwujudnya kemaslahatan, ketentraman dan keamanan warga negara. Dalam khazanah syariat Islam dikenal dengan istilah maqashid syariah (maksud dan tujuan syariat). Diterima atau ditolak, absah atau batal ibadah kenegaraan/pemerintahan ditentukan dari terealisasi atau tidak maqashid syariah. Terserah apa niat dan bagaimana cara pemerintah merealisasikannya.

Mendirikan Khilafah bi makna formalisasi dan institusionalisasi syariah. Bagus secara siyasi, tapi tidak harus secara syar'i. Jika tujuan formalisasi dan institusionalisasi syariah untuk mengoptimalkan realisasi maqashid syariah, why not! Namun jika tidak optimal, formalisasi dan institusionalisasi syariah jadi beban moral umat Islam, khususnya umat Islam yang jadi penyelenggara negara.

Maqashid syariah sudah tercantum di pembukaan UUD 45, menjadi tujuan negara. Penyimpangan penguasalah yang menyebabkan maqashid syariah itu tak kunjung tercapai. Letak permasalahan NKRI pada oknum penyelenggara negara bukan pada konstitusinya.

Pada kasus tertentu, maqashid syariah justru tercapai dengan cara-cara penerapan syariah secara non formal. Umar bin Khaththab banyak memberi contoh bagaimana meraih maqashid syariah dengan melampaui formalisasi.

Misalnya: menurut UU Syariah tanah taklukan jadi hak milik mujahidin yang menaklukkan sebagai ghanimah. Jika UU itu diterapkan akan memicu sikap antipati pribumi terhadap mujahidin. Diduga kuat akan membawa konflik sosial. Oleh karena itu Umar bin Khaththab mengeluarkan "Perppu" menjadikan tanah taklukan milik negara (tidak dibagikan kepada mujahidin). Pribumi boleh mengolah tanahnya dengan membayar kharaj kepada negara. Harta kharaj ini kembali ke seluruh warga negara dalam bentuk infrastruktur, jaminan sosial dan public service.

Umar bin Khaththab juga pernah mengeluarkan "Perppu" menghapus mualaf dari daftar mustahiq zakat. Padahal di UU Syariah mualaf termasuk mustahiq zakat. Karena mualaf di zaman Umar dari kalangan orang kaya dan kuat. Mereka masuk Islam karena kesadaran sendiri tanpa paksaan dan tekanan. Sehingga harta zakat jika diberikan tidak begitu berpengaruh bagi keislaman mereka. Mereka tetap Islam, diberi zakat atau tidak.

Selain pemerintah, syariat Islam juga melegalkan aktivitas pengurusan umat oleh individu dan swasta. Ini yang disebut politik sipil swasta, yaitu ri'ayah su'unil ummah bil ummah. Sistem ini berbeda dengan negara Komunisme yang totaliter 'serba negara' dan berbeda dengan negara Kapitalisme yang liberal 'serba swasta', dalam syariah Islam pemerintah, swasta dan individu turut serta merealisasikan maqashid syariah sesuai porsi, otoritas dan kapasitas masing-masing. Hubungan pemerintah, swasta dan individu bersifat komplementer (saling melengkapi/menutupi).

Legalitas aktivitas pengurusan kemaslahatan umat oleh individu dan kelompok swasta ditemukan contohnya pada zaman Nabi Muhammad saw memimpin negara Madinah. Ahlu Shuffah sebagai kaum pendatang yang tidak memiliki keluarga di Madinah, seharusnya menjadi tanggungan negara, namun Nabi saw mempersilahkan sahabat-sahabatnya yang mau menanggung biaya hidup Ahlu Shuffah. Kewajiban negara yang lain adalah jihad qital (perang) untuk melindungi warga negara. Semua biaya persiapan, logistik, perlengkapan dan peralatan perang jadi beban pemerintah, namun Nabi saw menawarkan kepada individu sahabat yang mau berkontribusi.

Di Indonesia sinergi pemerintah, ormas dan individu dalam merealisasikan maqashid syariah sudah berjalan lama, sejak masa kolonial sampai sekarang. Seperti  program sosial dan pendidikan NU, amal usaha Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad, FPI, Hidayatullah, dan ormas Islam lainnya merupakan penerapan syariah oleh swasta (non goverment politic) secara non formal kenegaraan dan non anggaran pemerintah (non APBN dan non APBD).

Memang belum mengcover semua warga negara, tapi setidaknya sebagian umat sudah mendapatkan kemaslahatan bagi kehidupan mereka.

Karena itu  mengaitkan penerapan syariah dalam negara dengan mendirikan Khilafah yang sebagaimana yang diperjuangkan HTI  tidak ada relevansi dan urgensitasnya jika ditinjau dari perspektif syariah. Jangan-jangan, HTI punya agenda lain dibalik "Khilafah"? Ada syahwatkah dibalik" Khilafah dan Syariah"? [dutaislam.com/gg].

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB