Infiltrasi Islam Garis Keras ke Muhammadiyah
Cari Berita

Advertisement

Infiltrasi Islam Garis Keras ke Muhammadiyah

Jumat, 18 Agustus 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh KH. Abdurrahman Wahid 

DutaIslam.Com - Ke­lom­pok-ke­lom­pok garis keras meng­ang­gap setiap Mus­lim lain yang berbeda dari me­re­ka se­ba­gai kurang Islami, atau bahkan kafir dan murtad, maka me­re­ka melakukan infiltrasi ke masjid-masjid, lembaga-lembaga pen­di­dik­an, instansi-instansi peme­rin­tah maupun swasta, dan ormas-ormas Islam mo­de­rat, terutama Mu­ham­madi­yah dan NU, un­tuk mengubahnya men­ja­di keras dan kaku juga. 

Me­re­ka mengklaim memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan diperjuangkan adalah pe­ma­ham­an yang sempit dalam bingkai ideo­lo­gis dan platform politik me­re­ka, bukan Islam itu sen­di­ri. Me­re­ka berusaha keras mengua­sai Muham­madi­yah dan NU karena ke­duanya me­ru­pa­kan ormas Islam yang kuat dan terba­nyak pengikutnya. 

Selain itu, ke­lom­pok-ke­lompok ini meng­ang­gap Mu­ham­madi­yah dan NU se­ba­gai penghalang utama pencapaian agenda politik me­re­ka, karena ke­duanya su­dah lama memperjuangkan substansi nilai-nilai Islam, bukan for­ma­li­sasi Islam dalam bentuk ne­ga­ra maupun pe­ne­rap­an syariat se­ba­gai hukum positif.

Infiltrasi ke­lom­pok garis keras ini telah menyebabkan ke­ga­duhan dalam tubuh ormas-ormas Islam besar tersebut. Dalam konteks inilah kami ingat pada pertarungan tanpa henti dalam di­ri manusia (insân shaghîr), yakni pertarungan antara jiwa-jiwa yang te­nang (al-nafs al-muthmainnah) melawan hawa nafsu (al-nafs al-lawwâmah), atau pertarungan antara Pandawa melawan Kurawa. Sementara yang pertama berusaha mewujudkan kedamaian dan ketenangan, maka yang ke­dua selalu membuat ke­ga­duh­an, keributan, dan kekacauan.

Ge­rak­an garis keras trans­na­sio­nal dan kaki tangannya di In­done­sia se­be­nar­nya telah lama melakukan infiltrasi ke Mu­ham­madiyah. Dalam Muktamar Mu­ham­madi­yah pada bulan Juli 2005 di Malang, para agen ke­lom­pok-ke­lom­pok garis keras, termasuk kader-ka­der PKS dan Hizbut Tahrir In­do­ne­sia (HTI), mendominasi ba­nyak forum dan berhasil memilih be­be­ra­pa simpatisan ge­rak­an garis keras men­ja­di ke­tua PP. Mu­ham­madi­yah. Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik ke desa Sendang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini men­ja­di kontroversi besar dan terbuka sampai tingkat in­ter­na­sio­nal.

Masjid Mu­ham­madi­yah di desa kecil Sendang Ayu —yang dulunya damai dan te­nang— men­ja­di ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar meng­ka­fir­kan orang lain, dan menghujat ke­lom­pok lain, termasuk Mu­ham­madiyah sen­di­ri. Prof. Munir kemudian memberi penjelasan kepada ma­sya­ra­kat tentang cara Mu­ham­madi­yah meng­a­ta­si per­be­da­an pendapat, dan karena itu ma­sya­ra­kat tidak lagi membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid me­re­ka. 

Dia lalu menuliskan keprihatinannya dalam Suara Mu­ham­madi­yah. Artikel ini menyulut diskusi serius tentang infiltrasi garis keras di ling­kung­an Mu­hammadi­yah yang su­dah terjadi di ba­nyak tempat, de­ngan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan.

Artikel Prof. Munir mengilhami Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pim­pin­an Daerah Ikatan Mahasiswa Mu­ham­madi­yah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membicarakan infiltrasi garis keras ke dalam Mu­ham­madi­yah secara le­bih luas dalam dua artikel di Suara Mu­ham­madi­yah. Dalam yang pertama, “Ahmad Dahlan Menangis (Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan),” Farid mendesak agar Mu­ham­madi­yah segera mengamputasi virus kanker yang, menurut dia, su­dah masuk kate­go­ri stadium empat. Karena jika diam saja, “tidak tertutup kemung­kin­an ke depan Mu­ham­madi­yah ha­nya memiliki usia se­suai de­ngan umur para pim­pin­annya sekarang. 

Dan juga tidak tertutup ke­mung­kin­an jika Alm. KH. Ahmad Dahlan dapat bangkit dari liang kuburnya akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang telah menimpa ka­der dan ang­go­ta Mu­ham­madi­yah” yang sedang direbut oleh ke­lom­pok-ke­lom­pok garis keras.

Dalam artikelnya yang ke­dua, “Tiga Upaya Mu‘allimin dan Mu‘allimat,” Farid meng­ung­kapkan bah­wa “produk pola kaderisasi yang dilakukan ‘virus tarbiyah’ membentuk di­ri serta jiwa para ka­dernya men­ja­di seorang yang berpe­ma­ham­an Islam yang ekstrem dan radikal. Dan pola ka­derisasi tersebut su­dah menyebar ke ber­ba­gai penjuru Mu­ham­madi­yah. Hal ini menyebabkan kekecewaan yang cukup tinggi di ka­lang­an warga dan Pim­pin­an Mu­ham­madi­yah. Putra-putri me­re­ka yang diharapkan men­ja­di kader penggerak Mu­ham­madi­yah malah bisa berbalik memusuhi Muham­madi­yah.”

Menyadari betapa jauh dan dalam infiltrasi virus tarbiyah ini, Farid mengusulkan tiga langkah un­tuk menye­la­mat­kan Mu­hammadi­yah. Pertama adalah membubarkan sekolah-sekolah ka­der Muham­madi­yah, karena virus tarbiyah merusaknya sedemikian rupa; ke­dua, merombak sistem, kurikulum dan juga seluruh peng­u­rus, guru, sampai de­ngan musyrif dan musyrifah yang terlibat dalam gerak­an ideo­lo­gi non-Mu­ham­madi­yah dan ke­pen­ting­an politik lain; ketiga, memberdayakan seluruh or­gani­sa­si otonom (ortom) di lingkung­an Mu­ham­madi­yah.

Artikel Munir dan Farid menimbulkan kontroversi dan polemik keras antara pim­pin­an Muhammadiyah yang setuju dan tidak. Salah satu keprihatinan utama me­re­ka yang setuju adalah bah­wa ins­ti­tu­si, fasilitas, ang­go­ta dan sumber-sumber daya Mu­hammadi­yah telah di­gu­na­kan ke­lom­pok-ke­lom­pok garis keras un­tuk selain ke­pen­ting­an dan tujuan Mu­ham­madi­yah. 

Di teng­ah panasnya polemik me­nge­nai ge­rak­an virus tarbiyah, salah seorang Ketua PP. Mu­ham­madi­yah, Dr. Haedar Nashir, mengklarifikasi isu-isu dimaksud dalam sebuah buku tipis yang berjudul Manifestasi Ge­rak­an Tarbiyah: Bagaimana Sikap Mu­ham­madi­yah?

Kurang dari tiga bulan setelah buku tersebut terbit, Pengurus Pusat (PP) Mu­ham­madi­yah mengeluarkan Surat Keputusan Pimpin­an Pusat (SKPP) Mu­ham­madi­yah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006 un­tuk “menye­la­mat­kan Mu­ham­madi­yah dari ber­ba­gai tindakan yang merugikan Per­sya­ri­kat­an” dan membebaskannya “dari pe­ngaruh, misi, infiltrasi, dan ke­pen­ting­an par­tai politik yang selama ini mengusung misi dakwah atau par­tai politik bersayap dakwah” karena telah memperalat ormas itu un­tuk tujuan politik me­re­ka yang ber­ten­tang­an de­ngan visi-misi luhur Mu­ham­madi­yah se­ba­gai or­gani­sa­si Islam mo­de­rat:

“...Mu­ham­madi­yah pun berhak un­tuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan un­tuk bebas dari segala campur tangan, pe­ngaruh, dan ke­pen­ting­an pihak manapun yang dapat 
mengganggu ke­u­tuh­an serta kelangsungan ge­rakannya” (Konsideran poin 4).

“Segenap ang­go­ta Mu­ham­madi­yah perlu menyadari, memahami, dan bersikap kritis bah­wa seluruh par­tai politik di nege­ri ini, termasuk par­tai politik yang mengklaim di­ri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah se­per­ti Par­tai Ke­adil­an Se­jah­te­ra (PKS) adalah benar-benar par­tai politik. Setiap par­tai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam menghadapi par­tai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah Mu­hammadi­yah dan harus membebaskan di­ri dari, serta tidak menghimpitkan di­ri de­ngan misi, ke­pen­tingan, kegiatan, dan tujuan par­tai politik tersebut” (Keputusan poin 3).

Keputusan ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak ha­nya “menimbulkan masalah dan konflik de­ngan sesama dan dalam tubuh umat Islam yang lain, termasuk dalam Mu­ham­madi­yah,” tapi menurut para ahli politik juga me­ru­pa­kan an­cam­an yang le­bih besar di­ban­ding­kan Jemaah Is­la­mi­yah (JI) terhadap Pan­ca­si­la, UUD 1945, dan NKRI. 

Menurut seorang ahli politik dan garis keras In­do­ne­sia, Sadanand Dhume, “Ha­nya ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto pendi­rian PKS adalah un­tuk memperjuangkan Khi­la­fah Is­la­mi­yah. Seperti JI, PKS menyimpan rahasia se­ba­gai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan de­ngan sistem sel yang ke­duanya pinjam dari Ikh­wa­nul Mus­li­min.... Bedanya, JI bersifat revo­lu­sio­ner sementara PKS bersifat evo­lu­sio­ner. 

De­ngan bom-bom bunuh di­ri­nya, JI menempatkan di­ri melawan pe­me­rin­tah, tapi JI tidak mung­kin menang. Sebaliknya, PKS meng­gu­na­kan posisinya di parlemen dan ja­ring­an ka­dernya yang te­rus menjalar un­tuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah dan suara demi suara.... Akhirnya, bang­sa In­do­ne­sia sen­di­ri yang akan memutuskan apakah masa depannya akan sama de­ngan ne­ga­ra-ne­ga­ra Asia Tenggara yang lain, atau ikut ge­rak­an yang berorientasi ke masa lalu de­ngan busana jubah fun­da­men­tal­isme kea­ga­ma­an. PKS te­rus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan menentukan masa depan In­do­ne­sia.”

Namun, se­ba­gai­ma­na ditunjukkan oleh studi yang dipaparkan dalam buku ini, se­ka­li­pun SKPP tersebut telah diterbitkan pada bulan Desember 2006, hingga kini belum bisa diimplementasikan secara efektif. Ge­rak­an-ge­rak­an Islam trans­na­sio­nal (Wahabi, Ikhwa­nul Mus­li­min, dan Hizbut Tahrir) dan kaki tangannya di Indonsia su­dah melakukan infiltrasi jauh ke dalam Mu­ham­madi­yah dan mematrikan hu­bung­an de­ngan para ekstremis yang su­dah lama ada di dalamnya. 

Keduanya te­rus aktif merekrut para ang­go­ta dan pemimpin Mu­ham­madi­yah lain un­tuk ikut alir­an ekstrem, se­per­ti yang terjadi saat Cabang Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Bantul masuk PKS secara serentak (en masse). Sementara Farid Setiawan prihatin bah­wa mung­kin Mu­ham­madi­yah ha­nya akan mempunyai usia sesuai de­ngan umur para peng­u­rusnya, ge­rak­an garis keras justru terus berusaha merebut Mu­ham­madi­yah un­tuk menggunakannya seba­gai kaki tangan me­re­ka berikutnya de­ngan umur yang panjang. Banyak tokoh mo­de­rat Mu­ham­madi­yah prihatin bah­wa garis keras bisa mendominasi Muktamar Mu­ham­madi­yah 2010, karena aktivis garis keras semakin kuat dan ba­nyak.

Persis karena infiltrasi yang semakin kuat inilah, tokoh-tokoh mo­de­rat Mu­ham­madi­yah meng­ang­gap situasi semakin berbahaya, baik bagi Mu­ham­madi­yah sen­di­ri maupun bang­sa In­do­ne­sia. Kita harus bersikap jujur dan terbuka serta berterus terang dalam menghadapi semua masalah yang ada, agar apa pun yang kita lakukan bisa men­ja­di pela­jar­an bagi semua umat Islam dan mampu mendewasakan me­re­ka dalam ber­aga­ma dan berbang­sa.

Salah satu temuan yang sa­ngat mengejutkan para peneliti lapangan adalah fenomena rangkap ang­go­ta atau dual membership, terutama antara Mu­ham­madi­yah dan garis keras, bahkan tim peneliti lapangan memperkirakan bah­wa sampai 75% pemimpin garis keras yang diwawancarai punya ikatan de­ngan Mu­ham­madiyah. [dutaislam.com/gg]

Dikutip dari buku Ilusi Negara Islam.

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB