Apakah NU Ormas Ulama Jawa Pewaris Dinasti Majapahit? Ini Jawabnya
Cari Berita

Advertisement

Apakah NU Ormas Ulama Jawa Pewaris Dinasti Majapahit? Ini Jawabnya

Rabu, 14 Juni 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Nour Ahmed(https://www.facebook.com/rokeb.b.pattimura, link sudah mati)

DutaIslam.Com - Tuduhan beberapa orang kalau ormas Nahdlatul Ulama (NU) adalah dinasti para kiai Jawa hanya dengan menyebut kalau tidak ada pemimpin struktural NU yang berasal dari luar Jawa adalah fitnah siang bolong. Fitnah itu makin mengarah kepada kebencian tatkala NU disebut sebagai ormas dinasti Majapahit. Innalilllah.

Para pemfitnah tersebut sudah keblinger karena tidak membuka sejarah dan daftar nama tokoh NU, baik yang duduk sebagai Rais Aam atau Ketua Tanfidziyah. Karena itulah mereka melempar tuduhan kalau pucuk pimpinan NU tidak pernah dijabat oleh ulama selain Jawa. Mereka hanya mengumbar kebencian tanpa bukti sejarah.

Faktanya, NU pernah memiliki Ketum PBNU KH Idham Chalid yang kelahiran Kalimantan Selatan. Begitu pula KH Ali Yafie, ulama kelahiran Donggala, Sulawesi Tengah, yang pernah menjadi Rais Aam sebelum digantikan oleh KH Muhammad Ilyas Ruhiyat, kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat.

Kini, Rais Aam PBNU juga diberikan kepada ulama kelahiran Tangerang, Banten, KH Ma'ruf Amin. Fakta ini menunjukkan tuduhan NU sebagai ormas ulama Jawa saja adalah propaganda semata. Menuduh NU sebagai dinasti pun, tidak bisa dibenarkan. Pasalnya, dinasti adalah sebuah wangsa atau kelanjutan kekuasaan yang harus diberikan kepada garus keturunan yang sama, sebagaimana tradisi dinasti di Arab Saudi (Wangsa Saud).

Di NU, siapapun yang menjabat Rais Syuriah atau Ketua Tanfidziyah, ada masa akhir jabatan atau amanah. Tidak ada sejarah dimana pergantian pimpinan NU selalu diakhiri dengan kematian raja karena diracun, dibunuh atau dikudeta. NU anti tradisi demikian.

Soal terpilihnya pucuk pimpinan Nahdlatul Ulama di Muktamar yang diadakan setiap lima tahun sekali, itu diputuskan bukan hanya oleh ulama Jawa saja, tapi ditentukan oleh musyawarah ala Nahdlatul Ulama dari pelbagai ulama di Nusantara, seluruhnya, bukan Jawa saja.

Misalnya, pada Muktamar 2015 silam, sebanyak 496 Rais Syuriah NU diminta menyerahkan usulan nama-nama calon ulama yang akan menjadi anggota forum musyawarah mufakat yang disebut ahlul halli wal aqdi (Ahwa). Sembilan kiai yang mendapat suara terbanyak kemudian ditetapkan masuk dalam forum Ahwa.

Inilah sembilan nama kiai sepuh yang menduduki peringkat teratas:

KH Makruf Amin, Jakarta, (313 suara)
KH Nawawi Abdul Jalil, Pasuruan, Jatim (302)
TGH Turmudzi Badruddin, NTB (298)
KH Kholilul Rahman, Martapura, Kalsel (273)
KH Dimyati Rais, Jateng (236)
KH Ali Akbar Marbun, Sumatra Utara (246)
KH Maemun Zubeir, Jateng (156)
KH Makhtum Hannan, Jabar (142)
KH Mas Subadar, Pasuruan Jatim (135)

(Sumber: NU Online)

Setelah terpilih, para kiai sepuh itu akan bersidang untuk memilih Rais Aam PBNU yang akan memimpin NU periode 2015-2020. Siapakah Majlis Ahwa di atas? Apakah hanya berasal dari ulama di Jawa saja? Sekali lagi, lihatlah daftar nama-nama anggota Ahwa di atas.

Setelah memilih pun, ada hal yang terjadi lagi. Biasanya, calon Ketum PBNU yang dicalonkan ada yang mengundurkan diri dan lalu memberikan amanat kepada ulama lain. Ini ciri Khas NU, entah karna ketawadhu'an, karna kezuhudan atau karena beratnya menanggung amanat yang disadari oleh calon Ketum atau Rais Aam.

Setelah terpilih, apakah pengurus di setiap daerah didudukui oleh adalah ulama Jawa semua? Apakah pengurus PWNU Provinsi Aceh, Papua, NTB, Maluku, Sumatra, harus diambil dari ulama dari Jawa? Nyata tidaknya.

Begitulah cara NU mendapatkan pemimpin. Siapapun akan dipilih jika dikehendaki oleh para ulama sepuh di Nusantara, bukan hanya oleh ulama Jawa saja. Terang betul yang menuduh NU sebagai dinasti Majapahit adalah olok-olok dan fitnah atas dasar kebencian semata. [dutaislam.com/ahna]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB