Spiritualitas RA Kartini Menjelang Akhir Hayat
Cari Berita

Advertisement

Spiritualitas RA Kartini Menjelang Akhir Hayat

Sabtu, 22 April 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh M. Rikza Chamami

DutaIslam.Com - RA Kartini selalu banyak memberikan inspirasi. Sosok putri Jawa yang dibesarkan di dalam tembok Kadipaten Jepara telah menorehkan tinta sejarah. Namanya diabadikan dalam banyak hal.

Maka untuk memotret figur Kartini tidak hanya cukup dengan bernyanyi, tapi perlu membaca surat-surat yang ia tulis kepada sahabat penanya: Mr JH Abendanon, Nyonya RM Abendanon, Nona Stella Zeehandelaar, Van Kol, JMP Van Kol Porrey, MCE Ovink Soer, N Adriani, HG de Booy Boissevain dan GK Anton.

Salah satu surat yang ditulis di akhir hayatnya menandakan betapa Kartini adalah sosok wanita shalihah. Ia sudah bisa membaca bahwa ia akan dipanggil Allah Swt untuk selama-lamanya. Itu ia rasakan mulai 10 Agustus 1904 saat menulis surat pada Nyonya RM Abendanon (sebulan sebelum wafat).

Kartini menulis: "Terimalah salam saya, Ibu! Boleh jadi ini surat saya yang terakhir kepada Ibu! Kenanglah kerap kali anak Ibu, yang sangat mencintai Ibu berdua. Sampaikan salam kami berdua banyak-banyak kepada Tuan dan Ibu saya tekankan ke dalam hati saya".

Di dalam surat itu juga Kartini masih memperjuangkan warganya agar tidak dicekik pajak oleh Belanda. Nyawa yang hanya bersemi satu bulan masih menunjukkan semangat juang Kartini agar bangsa Indonesia tidak dijajah dengan pajak.

Untaian kata kasih sayang kepada bangsanya ditata dengan baik melalui surat-surat kepada istri pejabat Belanda. Itulah Kartini yang selalu berjuang walau sudah dalam kondisi ajal menjemput.

Surat Kartini berikutnya tertanggal 24 Agustus 1904 (18 hari sebelum wafat) yang ditulis kepada Nyonya RM Abendanon: "Ibuku tercinta. Surat yang Ibu terima belum lama ini ternyata bukanlah yang terakhir. Saya takut, sekarang ini boleh jadi juga sungguh-sungguh surat yang terakhir: sebab saya merasa ajal saya hampir tiba dengan cepatnya. Ibu, kemungkinan besar, cucu Ibu lahir dulu dari waktu yang semula kami harapkan. Terimalah salam saya, kekasih. Tetapkanlah hati Ibu berdua. Dalam hati saya berdo'a, semoga Tuhan memelihara teman-teman yang saya cintai. Peluklah dengan mesra anak kandung Ibu."

Pada surat berikutnya, yang disebut sebagai surat terakhir yang ditulis Kartini. Sepuluh hari menjelang wafat, Kartini masih sempat menulis surat atas dorongan suaminya untuk ucapkan terima kasih pada Nyonya RM Abendanon yang telah memberi kado untuk calon bayinyanya.

Surat Kartini tertanggal 7 September 1904 itu sudah berisi kepasrahannya pada Sang Ilahi. Ia menulis: "Sungguh senang mengetahui, bahwa sekian banyaknya orang hari-hari terakhir ini turut merasai hidup saya. Masa saya tidak tahu, bagaimana kekasih-kekasih saya di rumahnya turut merasa dengan saya dari jam ke jam, berharap dan berdoa bagi keselamatan saya".

Perasaan Kartini dalam surat terakhirnya sudah benar-benar terasa bahwa ada Malaikat yang mendekatinya. Dan Malaikat itulah yang diyakini menjadi penyelamat anaknya yang lahir dalam kondisi sehat, walau Ibunya wafat.

Tepat 13 September 1904, Kartini melahirkan anak laki-lakinya yang diberi nama Raden Mas Singgih. Empat hari kemudian, 17 September 1904, Kartini dipanggil oleh Allah Swt.

Sang suami, Bupati Rembang memberikan kabar wafatnya Kartini pada Tuan Abendanon: "Tidak lama sesudah ia dalam pelukan saya dan di hadapan dokter (dr Van Ravesteijn) dia pulang ke rahmatullah dengan tenang. Lima menit sebelum ajalnya sampai, pikirannya jernih dan sampai detik terakhir dia tetap sadar sepenuhnya."

Kisah wafatnya Kartini yang diceritakan oleh Raden Adipati Djojo Adiningrat ini patut untuk dijadikan tauladan bersama. Betapa nyawa Kartini sangat mulia dalam akhir hayatnya. Rasa sakit akan dicabutnya nyawa tidak dirasakan oleh Kartini. Pertanda keshalihan Kartini itu kuat dalam mati syahidnya.

Sang suami masih kembali mengisahkan akhir hayat Kartini: "Betapa sangat terkejut saya waktu itu dan perasaan saya tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Selama sepuluh bulan saya hidup bahagia sekali bersamanya. Dalam pikiran dan usahanya dia adalah penjelmaan dari kasih sayanh. Dan pandangannya sangat luas, sehingga tak ada seorang pun diantara saudara-saudara perempuannya bangsa Bumiputra yang menyamainya".

Kalimat itulah yang menjadi kunci spiritualitas Kartini sebagai pejuang sejati dan sangat shaleh dalam menjaga kepatuhan pada suami. Komitmen keagamaan Islamnya sangat kuat karena ia menjadi istri shalihah yang berjuang melahirkan bayi dengan tetap memikirkan nasib bangsanya.[dutaislam.com/ab]

M. Rikza Chamami, dosen UIN Walisongo dan Sekretaris Lakpesdam NU Edu Semarang

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB