Ser Banser, Kenapa Engkau Mau Bekerja Tanpa Bayaran Tapi Masih Dianggap Recehan
Cari Berita

Advertisement

Ser Banser, Kenapa Engkau Mau Bekerja Tanpa Bayaran Tapi Masih Dianggap Recehan

Rabu, 08 Maret 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh KH Ubaidillah Shodaqah

DutaIslam.Com - Sebagai Nahdliyyin saya sering bersentuhan dengan Banser. Pengajian rutin, akbar, karnaval, penanggulangan bencana, mantu sampai parkir pun mereka terlibat. Dus saya sebagai warga negara merasa kapiran kalau tidak ada Banser.

Saya sering iseng menggoda mereka dengan meminta rokok, "mas minta rokoknya mas," kataku. Mas Banser ini pun meraba-raba kantongnya di baju tebal seragamnya. Satu menit kira-kira dia baru berhasil mengeluarkan bungkusan rokok. 

Ketika disodorkan padaku ternyata tinggal dua batang yang sudah bengkong hampir putus karena tertekan-tekan dalam kantong sempitnya. Itupun Jisamsu yang dapat dihisap sampai batas maksimal karena tidak berfilter.

Aduh, gagah-gagah demikian rokoknya eceran. Betul juga guyonan KH. Hasyim Muzadi, mereka hanya mampu membeli rokok eceran. Dalam acara-acara pengajian dan lainnya, mereka pun diberi konsomsi paling akhir. Yah kalau snak dan makanan besar sudah cukup untuk tamu-tamu dan jamaah tentunya. Kalau tidak ya makan seadanya.

Pernah ketika saya ndereake pak Kiai di kabupaten Semarang. Dijemput delapan Banser yang menaiki empat motor. Ada yang Gendut, gagah tapi motornya bebek kuno Yamaha. Untuk melancarkan perjalanan kiaiku, empat pembonceng membawa peluit satu-satu. Mereka meniup bergantian untuk menyibak kemacetan jalan. Yah jangankan sirine, sumpritan saja kayaknya sudah berkarat.

Bayangkan, malam mengawal dan mengamankan acara, pagi mereka harus bekerja mencari nafkah. Ada tukang panggul, buruh tani, buruh pabrik, guru, tukang batu atau kuli batu dan lainnya. Demi khidmah pada guru dan kiai, mereka rela berpayah-payahan. Mungkin dirumahnya hanya tersedia beberapa liter beras saja. Tapi juga ada dosen, pedagang, dan bahkan doktor yang golongan ini sebagai pendonor cigaret atau jajan mereka.

Selama ini, kemana saja saya blusukan di Jateng, selalu menjumpai Banser. Setiap keramaian di pantura maupun Jawa bagian selatan. Dalam penanggulangan bencana, masyaalloh, tanpa upah tanpa bayaran, mereka berkhidmah pada masyarakat di lapisan apapun.

Hah, kalau sejarah perjuangan membela negara janganlah bertanya lagi. Cikal bakalnya selalu aktif melawan penjajah. Apalagi masa revolusi 65. Betapa besar jasanya meskipun setelah lahir Orde Baru mereka digencet segencet-gencetnya, namun tak melawan tak mengeluh, tetap berkhidmah pada masyarakat.

Kini ketika NKRI terancam, merekapun tak mau bertumpang dagu pura-pura dungu. Nahi munkar dengan mencegah provokator kerukunan umat yang berkoar-koar di masjid. Mereka tidak tega ulamaknya diperolok-olok dan dijelek-jelekkan sebagai ahli bidah. Mereka tidak rela Pancasila sebagai kesepakatan ummat dilecehkan. Bukan hanya rokok dua gelintir taruhannya, tapi juga nyawa mereka.

Anehnya, pak Prof Makhfud MD sang guru besar yang dikagumi mereka malah melihat sinis, menyayangkan mereka dan dikabarkankan di seantero dunia lewat tweetnya. Aduh kasian kang-kang banser. Jasamu tak terlihat dari penggede-penggede Jakarta yang selama ini kita tokohkan. 

Tapi saranku jangan surut, penghargaan Gusti Allah Ta'ala jauuuuhhhhhhhh lebih besar dari pujian seorang pengamat. Lillahi ta'ala lillahi taala. 

Semoga amalmu diterima oleh Gusti Allah dan rizqimu lancar sehingga dapat memondokkan atau menyekolahkan anakmu sampai jadi profesor, dan yang jelas semoga rokokmu tidak dibeli dengan harga eceran. [dutaislam.com/ ab]

KH Ubaidillah Shodaqah, Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB