Membongkar Simalakama Perebutan 51 Persen Saham Freeport, Akan Lari ke Tongkok kah?
Cari Berita

Advertisement

Membongkar Simalakama Perebutan 51 Persen Saham Freeport, Akan Lari ke Tongkok kah?

Rabu, 22 Februari 2017
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Said Didu

DutaIslam.Com - Kebijakan tentang Freeport selalu menjadi polemik dan bahkan menjadi topik bahasan politik tingkat tinggi. Salah satu puncak pembahasan masalah Freeport yang publik masih ingat adalah kasus "Papa Minta Saham" pada tahun 2016.

Seperti diketahui, perpanjangan kontrak Freeport selalu menjadi masalah krusial yang selalu dihadapi oleh pemerintah. Masa pemerintahan siapa pun, ketika tiba waktu perpanjangan kontrak, selalu akan menghadapi dilema yang butuh ketegasan pemimpin.

Kasus "Papa Minta Saham" hanyalah bagian dari beberapa pihak yang selama ini sudah menjadi "benalu" di Freeport. Tidak sedikit supplier di Freeport sebenarnya dipegang atau diatur oleh tokoh-tokoh besar dan kuat di negeri ini, seperti pengadaan bahan bakar, bahan peledak, batu bara, dan suplai makanan serta alat-alat penunjang

Hal yang dihadapi oleh pemerintahan SBY adalah terkait izin Ekspor konsentrat, karena menurut UU Minerba dilarang ekspor. Saat pemerintahan Pak Jokowi dan Pak JK, selain masalah izin ekspor tersebut, muncul juga masalah perpanjangan kontrak Freeport.

Walaupun kontrak baru selesai pada tahun 2021, tapi pihak Freeport sudah meminta kepastian perpanjangan kontrak sejak 2015 lalu. Permintaan itu dilakukan dengan pertimbangan untuk mendapatkan kepastian investasi tambang bawah tanah dan pembangunan Smelter.

Atas pengkajian tersebut, pemerintah menghadapi dilema karena sesuai kontrak, Freeport dapat meminta perpanjangan kapan pun, sementara PP menyatakan (bukan UU), permohonan perpanjangan hanya bisa dilakukan 2 tahun sebelum masa kontrak habis.

Artinya, sesuai PP tersebut, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan kontrak pada tahun 2019 nanti. Berbeda dengan bunyi kontrak. Dalam kesepakatan kontrak, Freeport menyatakan bahwa kapanpun perusahaaan itu bisa minta perpanjangan dan pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan. Dilema.

Dalam kontrak juga disebutkan bahwa jika dihalangi, maka pihak Freeport dapat mengajukan ke Arbitrase Internasional. Perlu diketahui bahwa kontrak Freeport dengan pemerintah sangat kuat karena ada persetujuan PDR sehingga seakan-akan setara dengan UU. Dilema. Simalakama.

Ada 2 simalakama yang dihadapi saat itu: 1) Perpanjangan kontrak vs Peraturan Pemerintah, 2) Perpanjangan kontrak vs investasi. Dalam UU Minerba sudah tidak dikenal lagi yang namanya Kontrak Karya, sehingga jika diperpanjang pun harus berubah menjadi izin usaha, yang bisa berupa IUPK.

Tidak sedikit masyarakat saat itu meminta pemerintah bersikap tegas terhadap Freeport untuk memutuskan kontrak. Sementara di pihak lain dalam kontrak, Freeport masih punya hak meminta perpanjangan sampai tahun 2041. Ini juga dilematis.

Selain itu, jika kontrak tidak diberikan -kepastian perpanjangan kontrak pada tahun 2015,- maka investasi tidak bisa dilanjuntukan. Investasi yang butuh kepastian kontrak sejak tahun 2015 adalah soal tambang bawah tanah dan pembangunan Smelter.

Jika Freeport saat itu mengajukan perpanjangan sesuai haknya pada kontrak, maka pemerintah pasti akan menghadapi simalakama lain. Sambil "membujuk" agar tidak langsung mengajukan perpanjangan, dilakukanlah perundingan atas nama tuntutan pemerintah.

Terdapat minimal 7 tuntutan pemerintah dan Pemda saat itu, yaitu: 1) pengembalian lebih 50 % areal tambang ke pemerintah, 2) peningkakatan penerimaan negara/daerah, 3) percepatan pembangunan Smelter, 4) pengalihan Bandara Freeport ke Pemda, 5) peningkatan penggunaan produk dalam negeri, 6) peningkatan tenaga kerja lokal, dan 7) divestasi saham secara bertahap.

Saat semua tuntutan tersebut sudah dapat disepahami, proposal akhirnya dibahas di pemerintah untuk mendapatkan jalan keluar, win-win solution. Di sinilah awal kekisruhan mulai terjadi karena pelaksanaan tersebut membutuhkan perubahan PP (bukan UU). Saat itu, seorang menteri saat ini ngotot bahwa tidak akan boleh ada perubahan aturan sebelum tahun 2021.

Karena tidak ada keputusan pasti, maka bergeraklah para pelobi yang seakan bisa membantu untuk dapat mengubah PP tersebut. Itulah awal mula kasus "Papa Minta Saham" dengan menjanjikan bahwa bisa membantu keputusan dari pemerintah lewat yang menolak tersebut.

Terjadi PHK Freeport
Karena tidak ada kepastian keputusan, maka semua rencana investasi tambang bawah tanah dan Smelter tidak berjalan. Dalam proposal, tahun 2015 sudah diperkirakan bahwa jika tidak ada kepastian perpanjangan maka akan terjadi PHK mulain tahun 2017. Dan dipastikan bahwa pembangunan Smelter akan berhenti. Dan yang paling krusial adalah "mandeknya" perekonimian wamena dan Papua.

Di saat ketidakpastian itulah muncul para pelobi mencoba masuk ke Freeport serta terjadi proses lobi tingkat tinggi termasuk "papà". Karena masalah Freeport strategis, dipastikan bahwa semua yang dilakukan Menteri ESDM saat itu, yakni Sudirman Said, sesuai arahan presiden.

Saya menambah "ilmu" baru dalam mengikuti dinamika Freeport, -ternyata di tengah kesulitan pemerintah ada yang cari untung.  Apa yang diperkirakan tahun 2015 betul-betul terjadi pada tahun 2017 ini. Investasi berhenti, produksi berkurang, pengurangan TK dan lain-lain.

Pada 2017 ini, datanglah simalakama kedua, yaitu dihadapkannya pemerintah pada putusan yang makin sulit yang disusul munculnya kebijakan "jilat ludah". Kebijakan "jilat ludah" adalah kebijakan yang dulu ditolak mentah-mentah tahun 2015, namun terpaksa diambil kembali pada tahun ini walau sudah terlambat.

Sebenarnya, Presiden Jokowi saat itu menyadari betul persoalan ini, namun ada "pembisik" yang menyebabkan ini terjadi. Yang aneh, orang yang pada tahun 2015 lalu sangat lantang mengatakan bahwa tidak boleh ada perubahan aturan, di 2017 ini berdiri paling depan untuk ubah aturan.

Saat 2015 menteri ESDM Sudirman Said usulkan perubahan tersebut diserang habis tapi saat orang itu yang ubah semua diam. Termasuk DPR yang dulu "membantah" Pak Sudriman karena menuduh berbagai macam -saat orang itu yang lakukan juga diam.

Hipotesa saya, dari kejadian tersebut bahwa ternyata tidak ada standar kebenaran kebijakan di negeri ini  -tergantung yang buat. Apakah pemerintah sudah lepas setelah perubahan PP tersebut? Saya belum yakin karena akan sulit diterapkan.

Saya juga tidak lagi mendengar pemenuhan 7 tuntutan yang diajukan pada 2015 tapi lebih fokus pada perubahan jadi IUPK dan divestasi. Perubahan menjadi IUPK dan divestasi plus 6 tuntutan lain juga diajukan di 2015, tapi ditolak namun sekarang digunakan (jilat ludah).

Saya mendapat informasi terbaru bahwa Dirut Freeport Chappy Hakim mengundurkan diri. Artinya ada masalah serius yang terjadi. Beliau kita kenal cukup dekat dengan Presiden, karena untuk menjadi Dirut Freeport, pastinya atas "persetujuan" Presiden.

Jika orang dekat Bapak Presiden seperti Pak Chappy Hakim saja tidak kuat, artinya ada pihak yang lebih kaut yang ikut mempengaruhi kebijakan. Dengan mundurnya Chappy Hakim, maka muncul buah simakama lain, yaitu hubungan dengan investor dan pemilik saham di AS.

Info yang saya terima bahwa pemilik saham terbesar sekarang di Freeport adalah salah satu orang terdekat Presiden AS saat ini. Ada 3 simalakama baru yang muncul akibat ketidaktegasan pemimpin ambil keputusan tepat di waktu yang tepat, yaitu : 1) pelaksanaan PP baru dengan kontrak yang masih hidup, 2) izin ekspor dengan ancaman PHK, 3) ketegasan kebijakan dengan gejolak sosial Papua.

Simalakama 1) saya perkirakan jika tidak ada keputusan tegas bisa menjadi tuntutan arbitrase. Ini bisa jadi masalah serius. Perlu diketahui bahwa aturan di AS jika ada perusahaan tambang AS diberlakukan tidak adil di Luar Negeri, maka pemerintah akan membantu full. Artinya, jika terjadi arbitrase, maka yang terjadi sebenarnya adalah pemerintah Indonesia melawan pemerintah AS.

Saya pernah mendapat informasi tidak resmi bahwa jika Freeport ajukan arbitrase kira-kira akan menuntut ganti rugi sekitar Rp. 500 triliun. Hal mendesak yang harus diselesaikan adalah PHK tahun 2017 yang mungkin sekitar 15.000 orang dan anjloknya ekonomi Papua secara drastis.

Hal yang perlu juga mendapat perhatian khusus adalah kewajiban Freeport untuk melepaskan saham menjadi 51% tahun ini juga. Kebijakan itu kelihatan sangat bagus karena Freeport harus melepaskan lagi sahamnya sktr 42 % tambah 9% yang ada.

Pertanyaannya, siapa yang akan membeli saham tersebut? Pemerintah atau BUMN atau swasta nasional atau swasta dari LN?

Harga saham 42 % tersebut mungkin sktr Rp 60 - 70 trilyun (belum tentu benar). Jika dari APBN tidak munkin karena tidak ada dalam APBN 2017. Bagaimana dengan BUMN? Saham yang 10 % saja yang di tawarkan sejak 2016 belum tersedia dana -apakah akan minta PMN? sudah lewat juga.

Jika APBN dan BUMN tidak bisa, artinya yang beli adalah swasta nasional atau swasta asing. Ini kebijakan jebakan batman. Artinya karena lewat Peraturan Pemerintah suatu perusahaan swasta harus menjual ke swasta lain. Teman papà lagikah?

Jika ini terjadi, dan tidak ada swasta lain mau membeli, maka yang katanya selalu siap membeli adalah perusahaan dari Tiongkok. Jika itu terjadi, artinya kita mengusir Perusahaan AS dari Papua dan menggantikan dengan perusahaan dari Tiongkok. Wallahualam.

Apakah semua kebijakan ini sengaja dilawan tahun 2015 untuk menjebak tahun 2017 dengan pilihan yang sangat sulit bagi pemerintah. Jujur saya katakan karena ketidaktegasan, ketidaktepatan dan ketidakcepatan ambil kebijakan, maka pemerintah saat ini sulit.

Saya ikut prihatin jika pemerintah menghadapi 3 sekaligus persoalan di Freeport yaitu: 1) tuntutan arbitrase, 2) PHK, dan 3) gejolak sosial ekonomi Papua. Saya berharap agar ini tidak terjadi bersamaan. Masalah 2) dan 3) harus ada solusi segera.

Keterlambatan kebijakan ini juga tidak terlepas dari DPR yang lambat revisi UU Minerba akibat dampak dari bisikan orang tersebut. Karena bisikan orang tersebut di 2015, PP yang awalnya tidak boleh diubah tapi diubah juga (jilat ludah) maka ditempuh ubah UU padahal tidak perlu.

Banyak pelajaran dapat diambil dari kebijakan Freeport, antara lain: 1) kebijakan harus tepat waktu, 2) kebijakan harus tepat sadarkan, 3) kebijakan harus sistimatis - tidak amburadul, 4) kebijakan harus obyektif, 5) kebijakan harus bebas kepentingan kelompok, 6) kebijakan harus dipikirkan serius - bukan kebijakan RBT (Rencana Bangun Tidur), 7) kebijakan harus dapat diterima, 8) kebijakan harus dapat dilaksanakan, 9) kebijakan harus berkesinambungan, 10) kebijakan harus komprehensif.


Secara umum bahwa setiap kebijakan yang diambil harus memenuhi 5 kriteria, yaitu: 1) secara hukum LEGAL, 2) secara birokrasi WORKABLE, 3) secara akonomi PROFITABLE, 4) secara politik ACCEPTABLE, dan 5) secara publik BERMANFAAT.

Atas kejadian ini, saya berharap agar kebijakan-kebijakan yang penuh dilema seperti ini baiknya dibahas secara sistimatis. Kebijakan strategis sangat berbahaya jika mengandalkan pembisik apalagi menggunakan starategi "adu domba" anak buah.

Beberapa calon kebijakan  yang mungkin dihadapi ke depan antara lain: 1) pembangunan Blok Masela, 2) KA cepat, 3) kereta Api Papua, 4) kilang Minyak, 5) program Tol Laut, dan 6) program 35.000 MW.

Berharap agar pihak-pihak yang sedang di kekuasaan dapat mengambil pembelajaran dari kegalauan mengambil kebijakan Freeport. Saya berharap agar tidak terjadi tuntutan arbitrase dari Freeport karena saya yakin dampaknya bisa besar.

Dampak yang mungkin terjadi: 1) keraguan akan kepastian hukum, 2) kepastian investasi, 3) ekonomi (Freeport berhenti), 4) dampak fiskal (penerimaan), 5) dampak fiskal bayar densa (jika kalah), 6) dampak politik luar negeri.

Terhadap dampak PHK, saya yakin sudah tidak bisa dihindari karena kebijakan terlambat diambil sehingga tambang akan berkurang. Terhadap dampak sosial ekonomi Papua juga sudah dipastikan akan terjadi. Ingat bahwa lebih dari 90 % ekonomi Wamena berasal dari Freeport.

Saya mendapat informasi bahwa hari Jumat siang Pihak Freeport sudah memutuskan untuk mendaftarkan masalah ini ke Arbitrase. Saya berharap agar pemerintah memberikan perhatian khusus jika info yang ini benar -karena akan menjadi rumit.

Berharap juga pemerintah berkoordinasi secara serius dengan Pemda Papua untuk antisipasi dampak PHK dan penurunan ekonomi Papua. Terhadap para penumpang gelap dalam kebijakan Freeport saya berharap sadarlah jangan bikin kisruh dan bikin sulit pemerintah

Terhadap tokoh masyarakat di Papua mohon perkenan memberikan ketenangan masyarakat dan tetap percaya bahwa akan ada solusi. Saya berharap agar tulisan ini dapat dibaca dengan tenang tanpa kecurigaan apapun. Ini hanya informasi, belum tentu saya benar 100 persen. [dutaislam.com/ ab]

Said Didu, staf khusus Menteri ESDM 2014-2016

Keterangan:
Artikel di atas sepenuhnya bersumber dari Kultweet Said Didu (100 Twet) yang dinarasikan oleh redaksi Dutaislam.com, Rabu (22/02/2017) agar mudah dipahami pembaca sebagai dokumentasi publik yang bisa dijadikan pencerahan politik. 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB