Ketika Medan Tempur Ahok Mulai Ditinggalkan Alumni 212
Cari Berita

Advertisement

Ketika Medan Tempur Ahok Mulai Ditinggalkan Alumni 212

Kamis, 22 Desember 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Hersubeno Arief

DutaIslam.Com - “Ahok rebound!” pesan berantai tersebut beredar melalui sejumlah pesan di Whatsapp Group (WAG),  Kamis (15/12) pagi. Siang harinya Lembaga Survei Indonesia ( LSI) melansir  data-data terbaru hasil sigi mereka. Pasangan Ahok-Djarot kembali memimpin persaingan memperebutkan kursi Gubernur DKI Jakarta dengan angka 31.8%. Diikuti oleh pasangan Agus-Sylvi 26.5% dan pasangan  Anies-Sandy  23.9%.

Banyak yang kaget dengan hasil survei LSI (lembaga), bukan LSI (Denny JA) ini.  Bagaimana mungkin ditengah gempuran yang cukup massif , dan sejumlah lembaga survei mengkonfirmasi penurunan suara Ahok yang cukup signifikan, tiba-tiba suaranya bisa kembali melejit.

Bila kemudian muncul kecurigaan bahwa survei terbaru tadi merupakan survei “pesanan”, ya wajar-wajar saja. Toh sudah menjadi rahasia umum bila di Indonesia banyak, bahkan sebagian besar lembaga survei menjadi konsultan politik. Survei tidak lagi sekedar menjadi alat ukur tingkat keterpilihan kandidat, tapi sekaligus menjadi alat untuk mempengaruhi opini publik.

Ini erat kaitannya dengan teori klasik dalam pemasaran bernama bandwagon efffect, yakni sebuah efek ikut-ikutan. Seseorang juga ingin memiliki barang, karena barang tersebut  banyak dimiliki orang atau oleh kelompok lain. Dalam politik, pemilih akan cenderung untuk  memilih seorang kandidat yang paling banyak dipilih. Karena itulah publikasi sebuah survei yang menguntungkan klien sangat penting.

Soal lain yang mendasari kecurigaan, adalah  adanya permainan yang juga klasik. Dalam buku Darrell Huff disebut sebagai “How to Lie with Statistics”. Data statistik yang mendasari sebuah survei,  menjadi alat yang ampuh untuk berbohong. Prosesnya bisa  dimulai  pada saat membuat konsep, ketika memilih dan menetapkan sampel/responden, pada waktu melakukan survei dan wawancara, ketika mengolah dan menabulasi data, menulis laporan bahkan ketika membaca hasil  laporan. (Survei LSI: Apakah Isu Agama Akan Kalahkan Ahok)

Dengan dasar itu, maka hasil survei yang asli tapi palsu tadi dijejalkan ke publik, melalui publikasi yang massif dan berulang. Dalam kondisi ini berlakulah adagium “kebohongan yang dilakukan berulang-ulang , akan  menjadi kebenaran”. Dalam sebuah kontestasi seperti pilkada, penguasaan opini publik sangat penting. Karena orang memilih berdasarkan persepsi. Ibarat sebuah pertempuran, pembentukan opini melalui media dan sosial media,  adalah  gempuran serangan udara yang dahsyat. Setelah semua porak poranda, pasukan infanteri tinggal  datang menyerbu dan melakukan pendudukan.

Saya sendiri memilih dan menyarankan untuk meyakini berbagai hasil survei yang sudah dilansir  oleh berbagai lembaga. Namun dengan catatan, tetap menjaga sikap kritis. Soal mereka berbohong atau tidak? Memainkan  statistik atau tidak? Itu terpulang kepada nurani mereka masing-masing.
Apa manfaatnya? 

Pertama, menjaga sikap, agar terus berprasangka baik. Ini sangat penting dan baik untuk kesehatan jiwa. Kedua, terus waspada, jangan terlena dan sudah merasa di atas angin, padahal pertempuran belum dimenangkan. Ketiga, sebagai alat instrospeksi diri,  menganalisa kelemahan dan strategi. 

Keempat, kita mengetahui strategi dan langkah-langkah taktis apa yang sedang dilakukan oleh lawan.
Nah dengan dasar tadi, kita asumsikan bahwa survei LSI benar. Ahok rebound. Kok bisa? Apa saja yang dia lakukan? Satu hal yang sangat jelas membedakan Ahok dengan para lawannya, dia melakukan semuanya dengan terencana. By design. Ibarat sebuah orchestra, ada seorang dirigen, yang mengkomando, kapan tempo musik rendah, kapan sedang dan kapan nada tinggi.

Coba perhatikan tangisan dia di persidangan, pelukan mesra sang kakak angkat, cerita-cerita dramatis ibu-ibu pakai kerudung dan kelompok pengajian yang datang ke rumah Lembang dan terakhir Ahok mengajak anaknya ke eks lokasi Kalijodo. Semua itu drama yang terencana. Jangan terlalu naïf. Masih banyak drama-drama lain yang dipersiapkan oleh tim dan konsultannya. Orang Indonesia sangat senang hal-hal yang melodramatik. Ini menjelaskan mengapa sinteron sangat laris.

Sementara lawan Ahok terlena. Soal lawan ini saya coba petakan secara sederhana sebagai berikut : Pertama, lawan yang langsung berkontestasi, yakni Agus-Sylvi dan Anies-Sandi. Kedua, umat Islam yang merasa marah karena kitab sucinya dilecehkan. Ketiga, kekuatan-kekuatan nasionalis, patriotik yang melihat besarnya bahaya,  bila Ahok tetap berkuasa.

Agus-Sylvi dan Anies-Sandi tampaknya masih belum sampai pada kesimpulan menjadikan Ahok sebagai musuh bersama. Mereka  masih saling serang. Ini jelas merugikan. Bila mereka masih belum bisa menundukkan ego dan ambisi masing-masing, jangan kaget, bila keduanya nantinya tidak akan mendapatkan apa-apa. 

Mereka harusnya fokus bersama-sama mengalahkan Ahok. Harus di bangun sinergi. Soal siapa nanti yang akan dipilih diantara mereka, silakan baku atur, dengan menimbang manfaat dan mudharat. Usulan ini terdengar absurd, tapi kalau mau jujur, cukup masuk akal.

Soal umat Islam ini yang terlibat dalam ABI I, II dan III,  mayoritas tidak terkait dengan pilkada. Mereka hanya peduli ketika kitab sucinya dilecehkan. Karena mereka  massa cair, maka ibarat Ronin, samurai tak bertuan, mereka mulai berpencar mencari medan baru. Sebagian ada yang mulai fokus ke bantuan kemanusiaan di Aceh, pemberdayaan ekonomi, krisis kemanusiaan di Alepo atau kembali kedalam aktivitas rutin sehari-hari. Jadi banyak front pertempuran baru  yang harus dihadapi.

Akibatnya wilayah pertempuran melawan Ahok sudah mulai ditinggalkan dan kembali direbut pendukungnya. Hal ini sangat terasa di sosial media. Saat berlangsungnya ABI I,II dan III para pasukan bayaran ini  mengekeret dan tiarap. Mereka mengalami keterkejutan ketika menghadapi arus besar Mega-Cyber Army, yang merupakan gabungan kekuatan muslim dan nasionalis, patriotik. 

Namun sejak  sidang Ahok digelar, mereka kembali berani menegakkan kepala. Perilaku lama mereka yang agresif, mem-bully habis lawan-lawannya, menyebar kabar bohong, kembali merajelela. Ini bisa terlihat di sosial media dan kolom-kolom opini di media online.

Bagaimanapun, dengan tidak mengabaikan medan pertempuran yang lain, medan pertempuran di Jakarta, harus tetap dijaga. Harus ada pasukan yang ditinggalkan, untuk menjaga medan pertempuran yang sudah dimenangkan. Harus ada komandan yang bisa menyatukan pasukan.

Para pasukan ini bisa berkolaborasi dengan kelompok-kelompok nasionalis, patriotik yang tetap setia menjaga medan pertempuran di Jakarta. Di luar tokoh-tokoh nasionalis yang sudah ditangkap karena tudingan makar, masih ada tokoh lain seperti  Jaya Suprana, Lieus Sungkarisma dan  Zeng Wei Jian dan sejumlah nama lainnya yang masih setia bertahan dan berjibaku melawan Ahok.

Kita tidak boleh lupa pada sebuah adagium “ Kejahatan yang terorganisir, akan mengalahkan kebenaran yang tidak terorganisir.” [dutaislam.com/ ab/ end]

Hersubeno Arief, jurnalis senior, konsultan media dan politik


Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB