Indah, Ini Cerita Habib Quraish Syihab Saat Nyantri ke Kiai Pesantren (Gus Mus)
Cari Berita

Advertisement

Indah, Ini Cerita Habib Quraish Syihab Saat Nyantri ke Kiai Pesantren (Gus Mus)

Rabu, 28 Desember 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Gus Mus saat bersalaman dengan Habib Quraish Syihab
Oleh Gus Wahyu Salvana

DutaIslam.Com - Alhamdulillah, Sabtu (24 Desember 2016) sore kemarin, kerawuhan Prof. Dr. KH. Quraish Shihab sekeluarga (anak, mantu, cucu), dan beberapa santri beliau. Sungguh, kehadiran beliau membuat 'rasa' senang ini tak bisa digambarkan. 

Saat beliau hendak turun dari mobil, aku mencegatnya, dengan langsung mencium tangan lembut itu. Saat kuulurkan kembali tanganku, bermaksud menggandeng untuk turun dari mobil, beliau ngendikan; "Oo, tidak usah repot-repot, saya masih bisa turun sendiri!"

Lalu, aku pun mundur dua langkah, memberi ruang untuk beliau turun dari mobil. Beliau turun dari mobil dengan menggunakan tongkat, berjalan pelan menuju kediaman kami. Aku berjalan di samping beliau.

Mas Iben (Ektada Bennabi Muhammad) keponakanku, 'anak mbarep'nya Mbak Ienas Tsuroiya begitu tampak sumringah saat melihat rombongan Habib Quraish Shihab tiba. Karena dialah yang pertama menunggu di teras rumah. Mba Ienas pun tampak sumringah pula menyambut kedatangan host #MataNajwa, mba Najwa Shihab. 

Sementara, Abah Ahmad Mustofa Bisri memeluk erat Habib Quraish Shihab, dan lantas menggandeng beliau. Kami semua yang di rumah, sungguh-sungguh sangat bahagia mendapat kunjungan dari seorang 'alim, dan 'ahli Qur'an' di abad ini.

***
Lalu, Abah Ahmad Mustofa Bisri mempersilahkan Habib Quraish Shihab duduk di kursi yang telah kami siapkan. Ada tiga buah kursi, dan satu meja. "Maaf, saya tidak biasa dan tidak punya kursi. Jadi saya pinjam tetangga, biar Om Quraish betah dan nyaman di sini!" (Ketika sama-sama tinggal di Mesir dulu, Abah memanggilnya Om Quraish).

Gus Mus ndeprok di depan Habib Quraish
Kami yang mendengarnya pun tertawa, termasuk Habib Quraish. Setelah beliau duduk, Abah langsung 'ndeprok' di sebelah kiri beliau. Habib Quraish lalu mempersilahkan Abah duduk di kursi di sebelah kirinya. Selama duduk bersebelahan, Abah pun terus memegang tangan beliau. Sungguh, pemandangan dan pelajaran yang luar biasa dari orang yang luar biasa.

Seisi rumah, bergantian bersalaman, tanpa terkecuali. Tentunya mengharap doa sekaligus berkah dari seorang 'hamilul Quran' yang sungguh 'alim ini. "Ini, saya bawa istri, anak, menantu, cucu, dan beberapa santri. Itu cucu saya yang baru pulang dari Amerika, dia masih kuliah di sana!" (Baca: Macam-Macam Sebutan yang Dituduhkan kepada Gus Dur).

Sambil menunjuk ke arah cucunya yang kuliah di daerah Walawala, di salah satu negara bagian Amerika Serikat. "Keempat cucuku, memanggilku habib. Baru, cucu yang ke lima, memanggilku kakek".  

Mendengar itu, tiba-tiba Abah menunjuk ke arah Billy (Ektada Bilhadi Muhammad), anak keduanya Mbak Ienas Tsuroiya. "Bil, kamu tahu nggak, apa artinya Habib?". Billy yang -memang- pemalu, hanya tersenyum. "Habib itu artinya kekasih!". Abah langsung memberi jawaban.

Habib Quraish Shihab lantas menambahi, "Ya, kekasih. Habib atau kekasih itu adalah; 'yang mengasihi' dan 'yang dikasihi'. Jadi, Anda semua bisa jadi habib, asal bisa mengasihi dan dikasihi. Nah, kalau sekarang, sudah jarang yang mau mengasihi, maunya dikasihi. Kalau yang demikian ya bukan habib namanya!"

***
Setelah seisi rumah rampung 'salim' Habib Quraish, dan Abah Ahmad Mustofa Bisri pun sudah duduk di kursi di sebelah beliau, Kang Muhammad Ali Almustofa dan santri 'ndalem' lainnya yang ikut membantu di rumah, menyuguhkan hidangan dan jajan ala kadarnya.

Jajanan khas Rembang jadi menu utama di perjamuan itu. Ada 'dumbeg', jajanan yang dibalut-lilit daun lontar. 'Lepet jagung' yang diracik dan dibuat langsung oleh Mbakku Kautsar Mustofa Uzmut, dan beberapa makanan ringan lainnya.

Karena baru pertama kali melihat 'dumbeg', mereka kebingungan cara membuka lilitan daun lontar. Aku pun lantas mencontohkan cara membuka jajanan yang berbahan tepung beras dan gula jawa itu.
Alhamdulillah, mereka suka dengan jajanan yang kami suguhkan. Bahkan, yang pertama menyantap 'lepet jagung' adalah Mbak Najwa Shihab. Habis satu batang, Mba Nana, panggilan akrab Najwa Shihab langsung berkomentar, "Hmm, enak banget ini..!"

Lalu, yang lain pun ikut memungut 'lepet jagung', termasuk Mba Nana, ikut memungut lagi. Menyaksikan pemandangan yang demikian, kami tentu merasa gembira. Mereka ternyata menyukai jajanan yang kami suguhkan. Hingga aku sendiri lupa, ternyata, di tangan kananku sudah terpegang 'lepet jagung'. Otomatis, aku pun lantas menyantapnya.
***
Kami yang duduk lesehan, berusaha seksama mendengarkan 'dawuh' dan petuah dari Sang Habib. Agar tak terlewat setiap kata yang beliau ujarkan.

Aku, sungguh tak bosan-bosannya memandang wajah beliau. Wajah yang begitu teduh, wajah yang sungguh patuh. Suaranya merdu. Tata bahasanya 'apik' tertata. Setiap kata yang terucap, sungguh sarat makna.

Aku cuma 'mbatin' "Orang yang -sampai hati- menghina dan menghujat Habib Quraish Shihab, pasti belum pernah bertemu dan bertatap muka". Aku sangat yakin itu!

Tak ada satu kata pun yang di-dawuh-kan mengujar kebencian. Kesejukan lah yang aku rasakan saat itu. Kami semua seolah tersihir dengan nasihat dan petuah-petuahnya. Jam di dinding menunjukkan pukul 18.00 WIB. Mbak Ienas Tsuroiya lantas menatap ke arahku.

"Sudah Maghrib belum Om..?"

"Sudah Mbak..!"

Lantas, kami semua bangkit. Mbak Kautsar Mustofa Uzmut, isteriku Raabiatul Bisyriyah, Kang Muhammad Ali Almustofa mengambil beberapa sajadah, dan lalu menggelarnya. Abah Ahmad Mustofa Bisri meminta Habib Quraish Shihab menjadi imam. Tapi beliau menolak dengan beberapa alasan. Akhirnya, dengan 'terpaksa' Abah yang mengimami.

Aku tak ikut berjamaah maghrib. Aku meminta Mas Choirul Umam (yang biasa 'ndherekke' Abah ke luar kota) menemaniku di depan rumah di bawah pohon kelapa. Tampak pula sandal dan sepatu yang sudah ditata rapi oleh Kang Santri.

Aku menunggu di depan rumah, kalau-kalau ada tamu lain yang tiba-tiba masuk. Aku pun tak berani mengabadikan pemandangan itu.

Setelah selesai berjamaah, aku baru menuju ke kamar, salat dengan anak-anakku. Selesai salat, aku kembali lagi bergabung di ruang tamu. Tentunya, agar aku bisa terus menatap 'wajah' Sang Habib, mendengar serta mencerna kalimat-kalimat hikmahnya.

***
Selepas jamaah salat maghrib, Abah Ahmad Mustofa Bisri meninggalkan ruang tamu sesaat. Aku yang sudah berada di depan teras, langsung masuk melalui pintu depan.

Aku melihat lagi pemandangan yang begitu 'adem'. Habib Quraish tampak nyaman duduk bersandar di tembok sebelah barat, selonjor, sembari menekuk 'samparan' kanannya. Tembok yang juga pernah disandari Gus Dur, Jokowi, Prabowo, Gubernur Gandjar, dan juga beberapa 'tokoh' lain di negeri ini.

Habib Quraish, lalu berbicara dan bercerita di hadapan kami. Abah kembali bergabung dan langsung duduk di samping kiri beliau. Sambil menepuk paha Abah, Habib Quraish bertanya;

"Saya mau tanya, ini biar anak dan cucu saya tahu. Amalan yang Ente dan santri baca sehabis maghrib itu apa?"

"Setelah wirid, anak-anak santri biasanya mengeja Hijib Autad..!"

"Nah, sekarang Ente doakan anak cucu saya..!"

"Wah, jangan..!"

Dengan nada halus, Abah menolak permintaan Habib Quraish Shihab.

"Saya sama rombongan ke sini ini kan mau nyantri sama kyai pesantren..!"

Abah spontan langsung tertawa. Kami juga tentunya. Abah yang tidak mau memimpin doa, terus dipaksanya. Akhirnya, dengan 'terpaksa', Abah pun mulai mengangkat kedua tangannya. Kami pun langsung mengikuti dan mengamini.
Keterangan: 
Hijib Autad adalah salah satu 'wirid' (perbuatan baik yang dilakukan secara rutin/istiqamah) atau amalan dari Syeikh Abdul Qadir Aljailani.

اَللهُ الْكَافِى رَبُنَا الْكَافِى قَصَدْنَا الْكَافِى وَجَدْنَا الْكَافِى 
لِكُلِ كَافٍ كََفَانَا الْكَافِى وَنِعْمَ الْكَافِى اَلحَمْدُ لِلهِ 
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَصِيْرُ 
وَكَفَى اللهُ المُؤمِنِيْنَ القِتَالَ
اَمِيْن يَارَبَ العَالَمِيْن

Manfaatnya antara lain:
  1. Diberikan ketenangan hati.
  2. Mendapat pertolongan.
  3. Disayang semua mahluk.
  4. Memperluas dan memperlancar jalan rizki.
  5. Diberi keselamatan (dunia akhirat).
  6. Terhindar dari niat jahat musuh (lahir batin).
Demikian pemandangan antar kiai meneduhkan Islam Nusantara yang bukan saling berebut mendahului lalu yang tidak sependapat disalahkan. Mereka adalah cermin ulama aswaja yang sangat menghormati karena sikap dan adabnya. Diedit Dutaislam.com dari status Facebook penulis. [dutaislam.com/ ab]

Wahyu Salvana, menantu Gus Mus

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB