Ceramah: Habib Luthfi di Maulid Kebangsaan Baiat 1000 Santri Sarkub di Bangsri, Jepara (27/10/2016) Foto: dutaislam.com/purnomo |
DutaIslam.Com - Pengajian ini sangat penting
karena tema cinta NKRI bergendengan dengan maulidin
Nabi. Di mana-mana, maulid Nabi kini diperingati. Bahkan di Sumatra,
Kalimantan dan lainnya mulai ada perkembangan. Maulid makin mekar dan subur.
Kenapa Maulid Nabi
selalu diperingati? Pada dasarnya ada dua alasan. Pertama, melaui maulid Nabi, kita diingatkan perlunya mahabbah atau cinta kepada Kanjeng Nabi
Muhammad shallahu alaihi wa sallam
yang sementara waktu sekarang ini, sudah mulai meluntur dan tidak ada gumregah (semangat kembali, red).
Kedua, cinta kepada Nabi adalah hal yang
paling jelas besok di alam kubur ditanyakan. Seberapa besar selaku umat Nabi,
kita kenal beliau, apa hanya sekedar kenal sebagai utusan Allah yang harus kita
imani? Mestinya harus lebih jauh dari itu, karena kanjeng Nabi diciptakan Allah
sebagai afdlolul kholqi alal ithlaq
(paling utamanya makhluk secara mutlak).
Sayangnya, penanaman
dua hal itu itu sangat kurang karena dua hal. 1) Mungkin sebagian karena
kesibukan orangtua kita masing-masing, yang ke 2) Dalam dunia pendidikan kita, yang
diajarkan adalah ilmunya, namun yang membawa ilmu nya dari awal, tidak diperhatikan.
Contoh paling gampang
adalah diri kita sendiri yang bisa menceritakan Walisongo atau lainnya, tapi
kuburannya saja tidak dirawat. Kuburannya hilang hanya karena tidak terawat. Ceritanya
masih ada, tapi ketika ditanya, “itu kuburannya di mana?”, dijawab ragu, “kayaknya
di sini,” misal. Yang lain membantah, “bukan, makamnya ada di pojok sana”.
Akhirnya ribut. Ujung-ujungnya istikharah.
Itu bisa terjadi karena kurang memperhatikan sejarah.
Hanya iman yang
menentukan seorang manusia selamat. Bahkan di alam kubur nanti, yang ditanyakan
pertama bukan man robbuka. Tapi soal
iman dan cinta kepada Nabi. Lihat Kitab Sa’adatud
Daroin dan Afdlolus Shalawat, yang
mencacat sabda Nabi “awwalu ma yas'alani
fil qobri, anni” (besok yang pertama kali ditanyakan di alam kubur itu aku).
Malaikat akan
bertanya, bukti cintanya apa? Baru setelah terbukti kenal, pertanyaan dilanjut
dengan “man robbuka, wa man nabiyyuka, wa
ma qiblatuka, wa man ikhwanuka,” dan pertanyaan lainnya hingga pada
pertanyaan kenal tidak dengan dengan tanah airnya, kenal tidak dengan bangsanya.
Kalau cintanya kepada
bangsa sungguh-sungguh, dia akan kuat cintanya kepada tanah air ini.
Kalau
cintanya kepada tanah airnya sungguh sungguh, cintanya kepada bangsa juga
sungguh-sungguh. Tapi kalau dua-dua nya sudah meluntur, ya allahummah dina fi man hadait (Ya Allah, tunjukkan jalan bagi
orang-orang yang engkau kehendaki mendapatkan petunjuk).
Inilah yang saya
kuatirkan sejak lama. Dan sepertinya kian lama semakin nyata dan makin tambah
nampak proses melunturnya urusan mahabbah
ini, baik kepada Nabi maupun bangsa ini. Mau disadari atau tidak, itu fakta.
Perhatian orang yang
memiliki mahabbah itu berbeda dengan
yang tidak memilikinya. Orang yang tidak punya mahabbah akan lebih cenderung membuka aib orang lain. Tidak hanya
kepada orang lain, bahkan sedulurnya sendiri yang kakak-adik, kalau di antara
mereka sudah putus rasa saling mencintai, cara menghina dan menghardiknya bisa diwarnai
kebencian penuh mulai dari ubub-ubun sampai telapak kaki. Kalau kepada saudaranya sendiri sudah begitu,
apalagi kepada orang lain. Itu penyakit.
Cinta
Ahlul Bait
Kalau cintanya kepada
Nabi sungguh-sungguh, ia akan menjaga ahlul
bait Nabi. Ia akan berusaha mencegah jangan sampai keturunan Kanjeng Nabi itu
cacatnya keluar hingga harus nyenggol kehormatan Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam. Aibnya selalu
harus ia tutupi.
Begitu juga kepada
sahabat Nabi. Menyebut kekurangan para sahabat tapi ilmunya tidak ada, akhirnya
ikut menyalahkan dan mengkritik Nabi Muhammad shallahu alaihi wa sallam. Apa itu yang disebut mahabbah?
Tidak cukup sampai di
situ, mahabbah juga harus ditanamkan
kepada Azwajun Nabi (para istri
Nabi), Dzrurriyantun Nabi (keturunan
Kanjeng Nabi) hingga para ulama-ulama Nabi. Kalau kita mengaku cinta kepada Kanjeng
Nabi, pasti akan menutupi kekurangan-kekurangan ahli baitin Nabi, ashhabun Nabi
(para sahabat Nabi), azwajun Nabi dan
dzurriyatun Nabi serta para
pewaris-pewaris Nabi shallahu alaihi wa
sallam.
Orang yang mencintai
ulama tidak akan membuka kartu (aib) ma
bainal ulamai'ain wa ma bainal habibain (antar dua ulama atau dua habib). Jika
sampai terjadi saling tuding, itu artinya sama dengan membuka kesempatan bagi
orang lain atau bangsa lain untuk tepuk tangan (keplok) karena kita yang membuka sendiri aib saudara.
Suami istri contohnya,
mereka pasti punya cacat atau kekurangan masing-masing, baik cacat fisik maupun
cacat lain. Namun karena sudah mahabbah
(cinta, trisna) dan welas asih, mereka tidak akan terima jika ada orang lain
membincang kekurangan itu walau memang benar adanya. Apa perlunya membicarakan
aib pasangan orang lain? Apa tidak ada yang lebih pantas dibicarakan?
Bagi orang-orang yang mahabbah, yang mengetahui makna al-mukmin akhul mukmin (sesama orang
mukmin itu bersaudara), al-muslim akhul
muslim (sesama orang muslim itu bersaudara), pasti ia akan menutupi
kekurangan-kekurangan yang ada pada saudara kita, khusunya umat Islam Indonesia,
umumnya sesama bangsa ini.
Di Indonesia ini ada
jenis persaudaraan. 1) Seagama, sebangsa dan setanah air. Itu adalah
persaudaran antar sesama orang Islam-orang Indonesia. 2) Sebangsa dan setanah
air. Walaupun beda agama, itu saudara kita. Cacatnya dia yang dibuka, berarti sama
dengan membuka aib kita sendiri. Yang dicap pastinya kita, orang Indonesia.
Orang lain akan mengatakan, “orang Indonesia kok begitu. Katanya kulturnya luar
biasa dan adab ketimurannya luar biasa”.
Orang yang benar-benar
mahabbah dan cinta kepada tanah
airnya, ia menutupi aib saudaranya sendiri sebagai bentuk nasihat bukan dalam
rangka menutupi cacatnya saja. Jangan salah paham.
"Biar saya saja
yang mamarahi dan nyelentik, daripada
dimarahi orang lain. Yang penting orang lain tidak mencampuri. Ini urusan
keluarga, Anda orang luar, tolong jangan ikut mencampuri urusan internal,"
inilah pemahaman yang benar dalam konteks masalah menutupi aib dan sekaligus
menasehati.
Sejarah
yang Kandas
Selanjutnya, setelah
problem mahabbah, bangsa ini
mengalami kelunturan mempelajari sejarah. Terlebih jika bicara sejarah ahli baitin Nabi. Sekarang ini, banyak
orang takut membicarakan sejarah keturunan Nabi. Kalau terlanjur bicara sejarah
Sayyid Imam Husain misalnya, akan kena sebutan Syiah. Bicara sejarah Sayyidina
Ali bin Abi Thalib, disebut Syiah.
Dengan model kalimat
Syiah, akhirnya hilang sejarah Imam Ali Bin Abi Thalib, Sayyid Hasan dan
Husain, Sayyid Ali Zainal Abidin dan Sayyidi Muhammad bin Bagir. Membahas
sejarah para imam pun (aimmah fi ddin),
takut dituding Syiah.
Lama-kelamaan, ketika kita
menceritakan Walisongo akan takut juga karena mau dibahas dengan sudut yang
banyak perbedaan sekalipun, tidak bisa dipungkiri lagi mereka adalah keturunan
Syiah.
Sunan Kudus bin Ahmad
Rahmat Fillah dan Sunan Mandalika (Sunan Haji) bin Ali Al-Murtadlo (kakak)
Sunan Ampel Ahmad Rahmat Fillah bin Ibrahim Asmroqondi bin Jamaluddin Husain
bin Ahmad Syeikh Jalal bin Abdullah Uzmat Khan bin Amir Abdul Malik bin Alwi Ammal
Faqih bin Muhammad Sahib Marbath bin Ali Ali Khali’ Ghassam bin Alwi bin
Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa An Naqi bin
Muhammad An-Naqi bin Ali Al-Uraidli bin Ja’far Shadiq, yang dicap Syiah.
Padahal Imam Ja'far
Shadiq adalah guru para aimmatil muslimin,
termasuk guru dari Imam Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan lain sebagainya. Nanti
kalau sudah dituduh Syiah, gampang, “itu kuburan orang Syiah, hancurkan,” mau
apa kita selanjutnya?
Kita ini dipolitisir,
digiring tapi tidak merasa. Nanti kalau Walisongo sudah begitu, gantian,
tinggal NU nya yang jadi sasaran target. Maulid, Syiah. Manaqib, Syiah. Berarti
yang menuding merasa paling sunni sendiri. Kita digiring.
Habaib dengan Habaib
dibenturkan dengan asyik. Di panggung, mereka saling tuding sana-tuding sini.
Kata orang yang cinta habib, “ini yang benar habib yang mana?”. Mereka bingung
karena antar habib saling lempar pukul. Kiainya juga sama. Satu ikut golongan A,
satunya condong ke golongan B. Yang satu ndalil,
“kama qola ta'ala, yang satunya lagi
berdalil kama qolan nabi.” Jualan
hadits dan Qur’an semua akhirnya. Yang bodoh, bingung. Zaman sudah sampai tahapan
ini.
Makanya, anak muda
harus tahu sejarah, agar melek. Saya sebetulnya terpaksa buka. Semoga dipahami:
Jika tuduhan Syiah berhasil ditanamkan kepada Walisogo, selanjutnya, keraton
Cirebon juga akan disebut Syiah karena Syarif Hidayatullah itu Walisongo, keturunan
Imam Syiah. Banten juga sama. Yang masih keturunan Walisongo, akan kena sebutan
Syiah. Kalau sudah begitu bagaimana? Ala
khatorin adzim (dari dasar hati yang paling), kita digiring ke sana tapi
tidak sadar.
Meski begitu,
orang-orang Nahdlatul Ulama’ subhanallah
ajiib. Mereka diam dan tidak banyak menanggapi karena khawatir dengan ahli baitin Nabi kalau antar mereka
nantinya dibenturkan, yang satu Sunni yang satunya lagi disebut sebagai Syiah.
Yang menang nantinya akan
dibenturkan dengan NU. Akhirnya NU tidak suka habib, dan habib tidak suka NU. Ada
oknum satu saja yang tidak suka NU, akan dibuat modal (oleh yang tidak suka,
red) untuk adu domba.
Itu ibarat gedebok bosok (batang pohon pisang busuk)
yang terdampar di lautan luas. Satu oknum tersebut akan dibuat modal
merendahkan kepercayaan masyarakat kepada NU, sementara laut yang begitu luas,
yakni NU sebagai gerakan, dihilangkan. Satu gedebok saja, bisa mengalahkan luas
dan dalamnya kandugan laut.
Mestinya kita jangan
melihat gedebok satu, tapi lihatlah lautan yang luas itu. Ikan yang bagus masih
banyak. Bahkan di dalam lautan masih banyak mutiara terpendam yang mahal sekali.
Itu yang ada dalam Nahdlatul Ulama.
Tanamkan mulai
sekarang bangga kepada NU. Tanamkan regenerasi sekarang kenal dengan NU.
Bapaknya alim kitab dan lain sebagainya tapi ada anaknya tidak tahu NU, Ya Allah
itu kebangeten. NU kelihatan gagah, tapi kalau di dalamnya tidak banyak regenerasi
yang mengerti NU, harus waspada. Ini yang harus dipahami.
Nyuwun
sewu, ma’asyiral muslimin,
Terjadi kelunturan
sejarah karena kurangnya mempelajari sejarah. Salah satunya adalah sejarah
kebangsaan. Kita harus tahu bagaimana perjalanan para ulama-ulama kita, mulai
baginda Nabi, diganti Sayyidina Abu bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman
hingga Sayyidina Ali.
Sejak saat itu sudah
ada titik-titik konflik dan pecah belah luar biasa yang harus dipelajari. Sebelum
Sayyidina Ali jadi khalifah, keadaan sudah runyam dan sulit. Ketika Sayyidina
Ali jadi, spontan diminta memperbaiki yang sudah sedemikian rumit itu. Ini
harus dipahami agar tidak gampang ngomong kalau Sayyidina Ali tidak lebih
berwibawa daripada Sayyidina Umar, hanya karena konflik yang tak kunjung usai
teratasi.
Tidak mudah
menyelesaikan perkara yang sudah rumit duluan. Kalau ditunjukkan keramat, apa orang
akan langsung cepat tobat dan perkara selesai? Buktinya Kanjeng Nabi sendiri
menunjukkan mukjizat bulan dibelah saja tidak seluruhnya beriman. Padahal,
orang-orang saat itu menyaksikan semua. Yang iman ya iman, yang tidak ya tidak.
Begitu juga dengan Sayyidina Ali.
Membeda-bedakan Sayyidina
Ali dan Sayyidina Umar itu sebenarnya sangat tidak pantas, apalagi mengukur
kewibawaan keduanya. Tidak usah hidup di zaman itulah, andai mereka (yang
membedakan itu) hidup di zaman penjajahan Belanda saja, mereka tidak kuat.
Apalagi di zaman sahabat.
Yang dihadapi di
masing-masing kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina
Utsman dan Sayyidina Ali, itu berbeda. Di zaman Sayyidina Ali, ketika musuh
kalah dan kepepet dalam perang, modalnya satu untuk memberhentikan pertempuran,
yakni menaruh Al-Qur'an di tombak (tahkim/minta
pengadilan).
Strategi tahkim itu tidak dihiraukan oleh
Sayyidina Ali sebetulnya. Ia berkata, “pukul, idrib!” (kepada yang membuat tahkim). Namun, sebagian tentara Iraq tidak
mau (tidak taat perintah khalifah). Mereka mundur dan mengatakan, “ini Qur'an,
ya Imam Ali”.
Mereka,- para tentara
Iraq,- melihat Qur'an yang ada tombaknya. Kalau sayyidina Ali melihat tombaknya
saja. Terjadi beda pandangan (perspektif baca). Bagi Sayyidina Ali, kalau Qur’an
diambil dari tombak, ditaruh lemari, selesai (tidak ada urusan). Tapi kalau
tombaknya terus digunakan untuk perang sana-sini, ini yang membuat kacau.
Peristiwa tahkim ini adalah isyarah
dari Sayyidina Ali dan para sahabat lain.
Di zaman Sayyidina Abu
Bakar saja sudah ada Nabi palsu bernama Musailamatul Kadzdzab. Apa kalau ada Musailamah
di zaman itu akhirnya Abu Bakar disebut kurang berwibawa? Mereka ini selalu mencari
kelemahan-kelemahan para sahabat. Terutama ahlul
bait.
Sejarah terus
berjalan. Penguasa mulai Bani Umayyah sampai Bani Abbasiyah, mengejar ahlu baitin Nabi beserta ulama ahlussunnah yang jadi korban seperti
Imam Nasa’i dan murid-muridnyanya. Waktu itu, ahli bait Nabi bisa bernafas saja sudah beruntung.
Ini belum bicara Islam
di Spanyol. Kurang apa Islam yang sudah berdiri 350 tahun berjaya di sana? Kok
tumbang, apa sebabnya? Bukan Islamnya, tapi orangnya yang jadi penyebab utama.
Sejarah
Runtuhnya Kerajaan Nusantara
Subhanallah, untuk urusan perpecahan ini,
sekali lagi, ulama kita tidak berlibat. Mereka berjuang dan berjuang, walaupun
pahit, mereka berjuang dengan segala kekuatan dakwah yang ada dan sampai ke
Indonesia hingga munculnya Portugis.
Dalam perjalanannya,
Portugis berusaha menghancurkan kerajaan Samudra Pasai Aceh dan Malaka karena
keduanya adalah pusat kekuatan Islam waktu itu. Portugis menyerang.
Untuk menghadapinya,
putra mahkota Demak diperbantukan oleh orangtua Sultan Abdul Fattah Adipati
Yunus Minangkabau, tapi gagal karena gelombang luar biasa. Tentara Demak diterpa
angin badai dan banyak yang meninggal di laut. Pasukan Demak merapat di
pelabuhan Palembang.
Di Palembang, ada
sejarah istimewa, yakni lahirnya raden Fattah. Di sana ia ditipkan ke Aryo
Damar yang sudah muslim. Hasil perkawinan antara Aryo Damar dan ibunda Raden
Fatah setelah dicerai Brawijaya, melahirkan Raden Husain. Tapi ia dididik dan
diikuti oleh Gerindra Wardana dari Majapahit. Nama terakhir itulah yang
mengusir ayah Raden Fatah ke Gunung Lawu. Dalam sejarah, ada cerita Raden Fatah
pernah menyerang Gerindra Wardana. Namun ada sejarah yang dipelintir, katanya,
raden Fatah menyerang dengan orang tuanya sendiri.
Akhirnya, pada 1511
Malaka jatuh karena sulit dipertahankan. Ulama Islam waktu itu banyak, mengapa
bisa kalah, apa sebabnya? Padahal, wa qod
ja’al haqqu wa zahaqol batil, innal bathila kaana zahuqo (yang benar telah
datang dan yang batil telah lenyap, sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu
yang pasti lenyap). Harusnya kan begitu.
Tapi nyatanya tidak.
Jangan menyalahkan
Al-Qur’an. Itu ayatnya benar, kita yang belum tentu benar. Aceh tumbang oleh
Portugis. Mulai Iskandar Muda sampai Kerajaan Malaka pun habis oleh penjajah.
Begitu juga Palembang.
Portugis tidak patah
ambisius. Mereka meralih membisiki kerajaan Demak. Setelah Gerindra Wardana
perang dengan Demak, kakak adik tunggal ibu, diadu domba. Raden Fatah terpaksa
harus berhadapan dengan adik kandung beda ayah, yakni Raden Husain. Yang jadi
korban kala itu adalah Maulana Makdum (Usman Haji), dimakamkan di Demak. Nama
terakhir ini berbeda dengan Maulana Makdum yang pusaranya ada di Pulau Mandalika.
Singkat cerita,
akhirnya Patih Kudoro yang berhasil membunuh Gerindra Wardana mengangkat
dirinya menjadi Brawijaya ke-6. Raden Fatah yang punya perjanjian dengan
Portugis harus menyerang Demak. Demak diserang setelah jatuhnya Malaka karena
kuatir kalau Demak menjadi pusat penyebaran Islam.
Digempur habis, Demak selesai
dan runtuh. Tapi Portugis masih saja membisiki Padjajaran (Siliwangi) dengan
membuat perjanjian di batu tulis (pada zaman Sultan Trenggono). Sultan
Trenggono mengetahui ini berbahaya, akhirnya mengirim Maulana Syarif
Hidayatullah dan Sayyid Fadhil (saudara Sayyid Malik Ibrahim) berangkat dengan
pasukan Sunan Kudus (yang menjadi panglima angkatan laut) ke Sunda Kelapa
menghadang Portugis.
Ketika itu, yang sudah
Islam adalah Patih Banten, tapi bupatinya belum. Tapi tuntutan nasionalimse
yang hebat telah terbukti membantu Maulana Syarif Hidayatullah yang sama-sama mempertahankan
Banten dari penjajahan Portugis. Berhasil dan menang. Itu hebatnya nasionalisme
dan cinta tanah air. Akhirnya ibu kota Banten yang dulu disebut Sunda Kelapa dipindah
jadi Jayakarta (sekarang Jakarta).
Setelah Sultan
Trenggono wafat, ternyata tidak menenangkan suasana tapi malah menimbulkan
pecah belah keluarga dan perang saudara. Tidak diambil hikmahnya, tapi justru
rebutan antar pihak berkepentingan dan saling eker-ekeran. Ini yang saya kuatirkan. Jangan sampai Indonesia
terjadi seperti ini. Ini sudah contoh untuk Anda semua. Anda diberikan contoh
oleh keluarga Demak pada zaman itu.
Banten yang begitu
kuat pada zaman Rahmat Rofiuddin pun selesai. Begitu juga kerajaan-kerajaan
Islam lain, semuanya selesai. Paling hanya tersisa beberapa kerajaan saja.
Dalam kondisi yang sudah terpecah belah tersebut, untung saja Maulana Syarif
Hidayatullah mempertahankan Pantura dengan berdirinya Kerajaan Banten sendiri. Meski
itu terpaksa.
Begitu juga Sunan
Kudus, Sunan Giri dan Syeikh Abdurrohman Raden Syahid (Sunan Kalijogo) yang
masih hidup pada waktu, bisa cepat mengatasi dengan berdirinya Kerajaan Pajang.
Walau terpaksa juga melakukan itu. Aman sudah situasinya.
Tidak lama kemudian,
masuk VOC ke Indonesia. Mereka membeli tanah dimana-mana. Membuat kantor
gubernuran, istilahnya. Padahal hakikatnya kantor perdagangan. Setelah memiliki
tanah banyak, mereka memperkuat dengan membangun benteng. Mengetahui agenda politik yang membahayakan
dari VOC, Sultan Agung melakukan perlawanan. Namun dua kali gagal.
Muncullah tokoh-tokoh
yang mengobarkan semangat perjuangan setelahnya. Lahir Diponegoro, Kiai Mojo,
Sentot Prawirodirjo, Jenderal Sudirman, Bung Karno hingga pak Harto dan
seterusnya.
Dari kalangan ulama,
ada Mbah Hasyim, Kiai Dahlan, Kiai Wahab, dan lainnya. Titik-titik perlawanan
muncul di Buntet, Bendokerep, Gedongan, Kempet, Balekambang dan lainnya. Mereka
memiliki andil besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan menegakkan
merah putih. Diri kita sudah sampai mana mengucapkan terimakasih kepada mereka?
Terimakasih
Kepada Ulama
Kita harus bersyukur
kepada ulama kita. Ulama kita luar biasa, khususnya dari NU. Mestinya kita
harus mengucapkan terima kasih kepada beliau, “Mbah Hasyim Jazakumullah khoiron kastir, Kiai Wahab, Mbah Kholil, Mbah
Habib Hasyim, ya kiai fulan yang memperkuat dan menumbuhkan NU, jazakumullah
khoiron katsir,” mestinya begitu.
Jangan malah NU yang digembosi
untuk (kepentingan) orang lain. Aneh. Mulainya pecah belah itu di sini. Saya
selalu bertanya sampai sekarang, sejauh mana terima kasih kita kepada sesepuh-sesepuh.
Ini adalah pengingat
buat kalian-kalian yang masih muda. Indonesia ini, yang bisa mempertahankan ke
depan adalah kalian. Tolong jangan kecewakan para sesepuh-sesepuh bangsa ini.
Persiapkan tanggungjawab kalian untuk mempertahankan bangsa. Indonesia merdeka
bukan hadiah, tapi berdarah. Untuk menegakkan merah putih, itu sudah banyak
korban yang hilang.
Makanya saya salut,
jam segini (hampir jam 2 dini hari) Anda masih melek ngaji, angkat topi buat
jenengan semua. Tapi tolong catat sejarah ini. Jangan “kepaten obor sejarah” (kehilangan
daya hidup dari sejarah). Untuk mempertahankan NKRI adalah dengan
mempertahankan sejarah sehingga diri kita tidak tergolong orang “yang kepaten
obor”. Itu penting. Banyak tokoh-tokoh kita yang membangun pertanian dan
membangkitkan semangat hubbul wathon.
Banyak sekali.
Jangan ngomong pasar
sepi. Pasar tergantung langkah (kreatif) kita. Coba perhatikan, kita akan senang
jika hasil karya bumi pertiwi ini seperti kacang, jengkol, jambu, jambu mete,
durian dan lainnya kita sendiri yang menanam. Tunjukkan dengan bangga, ini durian
dari Jepara. Tunjukkan bahwa Indonesia tidak melarat, Indonesia mampu. Apalagi
hanya menanam durian yang tidak kalah isinya dengan negara lain. Kita harus
fanatik juga terhadap buah-buahan yang keluar dari bumi pertiwi ini.
Katakan, kami lebih
suka memberikan income (pemasukan)
untuk negara kami sebelum memberikan income
kepada negara lain. Itu prinsip. Kok urusan sandal saja sepertinya tidak
percaya diri memakai jika tidak ada tulisan made
in Japan. Padahal, itu buatan dari Tegal atau daerah lainnya.
Jamu, durian, ayam,
lele, kok disebut Bangkok semua. Kita hanya kebagian gula Jawa saja. Ini nasib.
Orang kaya, tapi melarat. Tapi anehnya masih suka disebut melarat.
Tanamlah singkong, kacang
dan dikemas yang baik. Beri stempel made
in Indonesia. Kita harus bangga. Mahal tidak apa-apa, yang makan juga
bangsa kita sendiri. Lakukan, jangan hanya omong saja. Insyaallah jika selama 15
tahun Indonesia bisa begitu, ekonomi kita siap menghadapi globalisasi.
Bangkitlah kembali
untuk Indonesia karena Allah wa Rasulih.
Jaga ukhuwwah dan persatuan, apalagi
di musim Pilkada. Milih tinggal milih saja, tidak usah membuka aib orang lain. Itu
akan menunjukkan pendidikan kita dan intelektual kita rendah di mata orang
lain. Ngisin ngisini (malu-maluin
saja).
Kalau kita melupakan
sejarah, kita melempem. Inilah yang dikuatirkan kanjeng Nabi dalam sabdanya: “kadar
bobot iman seseorang tergantung kepada sejauh mana ia mencintaiku”. Hadits ini,
untuk orang tidak suka, bisa ditafsirkan terbalik seperti ini:
“Kalau begitu, untuk membuat iman umat Islam lemah, dan umat beragama
lainnya, ya jauhkan umat dengan Nabi-nya, ulama nya, tokoh agamannya. Kalau cintanya
sudah meluntur, gampang dihancurkan. Begitu juga untuk menjatuhkan negara,
dibangunlah sifat suudzdzon (buruk sangka) kepada negara. Kesalahan-kesalahan
akan diungkap, sampai keburukan Polri dan TNI, supaya kita semakin jauh dari polisi
dan tentara sehingga mudah dihancurkan”. Ini bahaya, maka waspadalah!
Relakah negerimu
terpecah belah? Relakah NKRI terpecah belah? Saya sangat prihatin soal ini. Saya
dikabari akan ada “Baiat Santri Cinta NKRI” di sini, luar biasa, saya salut.
Ayo, baiat bersama saya. Janji disaksikan Allah, diterima Allah.
Bismillahirrahmanirrahim.
Asyhadu alla ilaha illa Allah, wa asyhadu anna sayyidana Muhammadar Rasulullah.
Rodlina billahi Rabba, wa bil ilsami Dina, wa bi sayyidina Muhammadin nabiyan
wa rasuulan.
Saya
bangga menjadi bangsa Indonesia!
Saya
bangga menjadi anak Indonesia!
Saya
bangga bertanah-airkan Indonesia!
Demi
Allah, kami berjanji akan mempertahankan NKRI Harga mati, bukan basa basi!
Keterangan:
Ini adalah teks rangkuman yang
dinarasikan M Abdullah Badri dari
transkip lengkap rekaman ceramah (dan baiat) oleh Maulana Habib Luthfi bin Ali
bin Hasyim bin Yahya Pekalongan dalam agenda Maulid Kebangsaan: Baiat 1000 Santri Cinta NKRI di Masjid
Baiturrahim, Desa Tengguli, kecamatan Bangsri, Kabupaten Jepara, Kamis tengah
malam (01-02 WIB), 27 Oktober 2016. Acara yang digagas oleh Saraja Kuburan
(Sarkub) Jepara dan Ansor Tengguli ini dihadiri lebih dari 5000-an santri di
wilayah Jepara.
