Cerita KH Hasyim Asy'ari Menolak Bintang Jasa Tawaran Belanda
Cari Berita

Advertisement

Cerita KH Hasyim Asy'ari Menolak Bintang Jasa Tawaran Belanda

Selasa, 08 November 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
pahlawan nasional kh hasyim asy'ari

Oleh Rijal Mumazziq Z

DutaIslam.Com - Di sela-sela waktu senggangnya muktamar, kaum muda NU mengadakan rapat umum di Gedung Nasional Indonesia. Rapat harus diakhiri pukul 24.00 sesuai aturan pemerintah kolonial. Kaum muda ini melanjutkannya dengan obrolan ringan membahas soal politik, agama, hingga perang Eropa. Tak lupa perihal ulah Van der Plas, pejabat kolonial, yang berusaha “mengendalikan” laju NU.

Beberapa kaum muda NU saat itu di antaranya KH. A. Wahid Hasyim, KH. Mahfudz Siddiq, Tohir Bakri, Fattah Yasin dan Zainul Arifin, dan tentu saja Saifuddin Zuhri, aktif membicarakan berbagai topik yang berkembang saat itu. 

Tokoh sentral dalam obrolan malam itu tentu saja Kiai Wahid dan Kiai Mahfudz, dua orang kiai muda yang memiliki asupan pengetahuan yang cukup, ditunjang pemikiran cemerlang, dan visi pergerakannya yang di atas rata-rata. 

Kiai Saifuddin Zuhri yang saat itu berusia 21 tahun mengajukan pertanyaan kepada KH. Mahfudz Siddiq, ketua umum.

“Apakah kehadiran Van der Plas dalam muktamar ini atas permintaan HBNO?”

“Wah, itu politik ya akhi,” jawab Kiai Mahfudz usai menenggak es temulawak yang ngetrend saat itu, “dia mengutus seorang ambtenaar (pejabat negeri, red.) mengunjungi kantor kita dengan pesan supaya HBNO (PBNU) memohon kepada gubernur Jawa Timur itu memberi pidato sambutan dalam resepsi muktamar kita,” imbuhnya.

Kiai Mahfudz Siddiq menambahkan, “HBNO sebenarnya tidak ingin dia datang. Tapi menolak keinginannya, musykil juga. Salah-salah bisa mendatangkan fitnah. Bagaimanapun, apa yang sudah terjadi bukan kemauan kita, moga-moga ada hikmahnya. Biyadikal khair ya rabb, innaka ‘ala kulli syai’in qadir,” Kiai Mahfudz menutup jawabannya dengan doa yang artinya: segalanya terletak dalam kekuasaan-Mu, hanyalah untuk kebaikan semata, ya Tuhan! Engkau Mahakuasa atas segala-galanya.

“Van der Plas itu benar-benar satu tipe dengan pemerintahan kolonial dalam menghadapi umat Islam,” kata Kiai Wahid Hasyim memberi tanggapan. 

“Suatu golongan seperti NU ini merupakan kelompok kekuatan yang membahayakan kedudukan mereka, satu ketika bisa menjadi ancaman buat Belanda. Untuk menghancurkan NU begitu saja tidak mungkin. Van der Plas tahu benar filsafat orang Indonesia terutama orang Jawa, yang dicerminkan oleh watak hurufnya, ho-no-co-ro-ko. Huruf Jawa itu selalu hidup mandiri. Di-layar tetap hidup, di-wulu tetap hidup, di-cakra tetap hidup, bahkan di-taling dan di-tarung tetap juga hidup. Tetap, kalau di-pangku, mati,” kata Kiai Wahid. 

Lalu pembicaraan beralih tentang kehadiran Van der Plas ke Tebuireng. Ketika hadratussyaikh sedang mengajar, datang Bupati Jombang menemui beliau dan memberitahukan setengah jam lagi Van der Plas akan datang ke Tebuireng. Dalam pembicaraan yang disaksikan oleh Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Mahfudz Siddiq itu, Van der Plas mengutarakan niat pemerintah memberi bintang jasa untuk menghormati Kiai Hasyim karena jasa-jasanya selaku guru agama Islam.

al-harbu khid’ah…” sela Kiai Mahfudz, yang artinya, perang selamanya pertarungan tipu muslihat.

“Saya yang duduk bersama hadratussyaikh keluar keringat dingin juga mendengar bujukan Van der Plas yang tak disangka-sangka. Tapi Alhamdulillah, hadratussyaikh paham juga akan tujuan kedatangan Van der Plas itu. 

"Dengan kata-kata halus dan sikap ramah, ditolaknya pemberian bintang jasa itu. Alasan beliau bahwa bintang jasa itu akan membuat dirinya takabur dan ‘ujub. Beliau merasa malu sekali kepada Allah SWT. karena menyadari kekecilan dan kedlaifannya. Tentang pekerjaan mengajar, itu memang sudah menjadi kewajiban tiap orang alim dan ulama. Sebab itu tidak layak dianggap berjasa…akhirnya Van der Plas berpamitan dan pulang dengan tangan hampa.”

Wallahul khairul maakirin (Allah Maha sebaik-baik Pematah segala tipu muslihat). Alhamdulillah,” seru Kiai Mahfudz.

“Kita harus lebih waspada. Pemerintah semakin terjepit, semakin terancam kedudukannya sebagai penjajah. Dia akan semakin banyak lagi bujukannya terhadap kita, atau sebaliknya semakin zalim. Bagaimanapun juga, Hindia Belanda telah mendekati hari-hari senja yang gelap! Penjajah saat ini berada di dalam pelukan sandekala, hari-harinya mendekati akhir.” Kiai Mahfudz mengakhiri pertemuan di beranda Gedung Nasional Indonesia yang lokasinya tak jauh dari kantor HBNO di Surabaya tersebut.

****

Di kalangan rakyat sudah lama hidup sebuah pameo yang berbunyi, “Londho, alon-alon mbondho.” alias, Belanda bermakna menelikung kita secara perlahan-lahan. Oleh karena itu, kelompok ulama sejak lama sangat berhati-hati dengan segala rayuan Belanda. Apalagi semenjak peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. 

Secara perlahan-lahan dan “sabar” penguasa kolonial mencekik rakyat dan menjadikan para penguasa lokal sebagai anteknya. Tak heran jika dengan cara halus Van Der Plas berusaha menjadikan KH. M. Hasyim Asy’ari sebagai bemper kepentingan politik Hindia Belanda yang di negara asalnya sudah terjepit manuver Jerman. 

Pihak penjajah berharap, manakala hadratussayaikh berhasil dibujuk, maka ia akan dipergunakan sebagai corong kepentingan Belanda, khususnya dalam propaganda rencana Hindia Belanda membentuk inheemse militie alias milisi bumiputra; bahwa setiap pemuda berusia 18-25 tahun dikenakan wajib menjadi serdadu sukarela baik sebagai stadwatcher (pengawal kota) atau landswatcher (pengawal negeri), dan membujuk rakyat melakukan aksi sukarela donor darah untuk kepentingan penjajah.

Penolakan yang dilakukan hadratussyaikh ini jelas sangat strategis dan penuh pertimbangan matang, apalagi posisi beliau sebagai salah satu tokoh terkemuka. Selain mempertimbangkan aspek syariat, penolakan tersebut merupakan manuver demi kemaslahatan umat. 

Andaikata hadratussyaikh menerima bintang jasa dari penguasa kolonial saat itu, maka ketika Jepang masuk, besar kemungkinan beliau akan menjadi target eksekusi mati pertama kali karena dianggap antek Belanda. Tapi, yang telah terjadi, beliau malah menolak penghargaan tersebut. 

Dan, saat Jepang menduduki Jawa, meskipun beliau dipenjara dan disiksa dengan keji, namun akhirnya penjajah bermata sipit ini meminta maaf dan memposisikan beliau sebagai salah satu tokoh muslim berpengaruh. 

Melalui kisah di atas, kita bisa melihat kehati-hatian para ulama dalam menghadapi bujuk rayu penjajah. Siasat harus dilawan dengan siasat. Al-Faatihah buat pahlawan nasional Mbah Hasyim dan segenap pahlawan yang gugur. Selamat hari pahlawan 10 November. [dutaislam.com/ ab]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB