Bisakah Sufisme dan Marxisme Disatukan Jadi Sufi Marxis?
Cari Berita

Advertisement

Bisakah Sufisme dan Marxisme Disatukan Jadi Sufi Marxis?

Sabtu, 22 Oktober 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
antara sufisme dan marxisme

Oleh Roy Murtadho

DutaIslam.Com - Ada dua gagasan besar yang sepertinya telah dan susah beranjak dari hidup saya: sufisme dan Marxisme. Secara lahiriah keduanya memang seperti saling bertabrakan dan berhadap-hadapan. Tak mungkin dipertautkan dan tak ada sampan yang bisa menyatukan keduanya.

Maka tak heran, bagi kawan-kawan saya di tarekat dan gerakan sufisme, melihat Marxisme secara sinis. Marxisme harus dihancurkan sehancur-hancurnya. Begitu pula kawan dari gerakan Marxisme. Jika agama saja candu. Bagaimana dengan sufisme? Mbahnya candu. Sufisme ingin menarik manusia ke langit, sementara Marxisme ingin membenamkan manusia di bumi.

"Bung harus menentukan pilihan, mau menjadi seorang sufi atau menjadi komunis?" tukas kawan yang di gerakan buruh. Tak jauh beda juga gugatan kawan di gerakan sufi.

Kenapa keduanya saling menegasi? Saling memblokade? Saling menjegal? Saling menghantam? Saling menghancurkan? Apa tak ada lagi tempat bagi penyesuaian teoritis dan praksis? Jauh-jauh hari, setelah terjatuh pada rasa frustasi dan kesunyian akut, rasanya saya tak ingin mundur lagi. Keduanya bagi saya: sufisme dan Marxisme lebih dari sekedar teori yang memang sejak remaja saya gemari. Keduanya mungkin memang jalan hidup saya.

Pada kawan-kawan yang sangat anti dengan Marxisme (dengan semua percabangan di dalamnya) saya sering mengatakan, "mengapa Tuhan hendak dijauhkan dari bumi?" Jika satu sama lain saling menuding bahwa salah satu telah membikin bencana di dunia. "Mengapa sekarang tidak membangun karya bersama-sama?"

Sebagai seorang amatiran saya kira secara teoritis (mungkin kaum cerdik cendekia, para sarjana kelak perlu mengoreksinya), khususnya secara ontologis, celahnya kecil sekali jika mempertautkan Sufisme dan Marxisme. Tapi bukan berarti tidak mungkin sama sekali. Karena bagi saya, antara imanensi dan transendensi, dalam monisme dan panteisme, saling beririsan.

Allah adalah Alam atau Alam adalah Allah. Artinya, bagi monisme, kalaupun ada Allah, ia bukanlah yang adikodrati yang berada di dunia seberang. Dunia entah. Ia adalah jagat raya ini sendiri. Sebaliknya, kaum sufis (meski banyak ragamnya) ada anggapan, semua di dunia ini adalah Allah. Karena semuanya Allah, maka tak ada sesuatu pun yang di luarnya.

Ada juga yang beranggapan. Ibarat Allah itu pohon, maka dunia ini hanyalah bayangan pohon saja. Bahkan lebih radikal dari itu. Kita tidak ada. Yang ada hanya Allah semata.

Kondisi aksiomatik inilah yang rupanya menentukan corak dan pilihan dalam gerakan politik Sufisme dan Marxisme. Pertemuan teoritik, dalam ranah ontologis, niscaya sangat diperlukan sekali. Ini perlu kesabaran revolusioner yang saya yakin banyak dimiliki kalangan Sufis maupun Marxis.

Maka kalau kita lihat kekuatan perjuangan di dunia ini hanya dimiliki oleh keduanya. Mahatma Gandhi, begitu kuat dan sabar dalam perjuangan pembebasan via Satyagraha hanya mungkin terjadi karena dalam arti luas, ia seorang sufi. Begitu juga, Nelson Mandela begitu kuat dan sabar menanggung jalan pembebasan Nasional karena ia seorang Marxis.

Dengan ini, sebagaimana sufisme yang tumbuh subur di Indonesia. Kita berharap Marxisme bisa tumbuh subur kembali di tanah dan bumi Indonesia. Keduanya memiliki peran historis yang sangat besar bagi republik ini dan umat manusia.

Dalam kategori etis saya seringkali bertanya. Jika dalam lantunan suara Tuhan kaum Sufis bisa bercucuran air mata, hatinya ditawan oleh rasa rindu yang menggebu-gebu, bisa tidak ia dalam suasana batin dan gelora yang tak jauh berbeda, bercucuran air matanya melihat malapetaka sosial dimana-mana? Sehingga ia terlibat dan mencipta aksi sosial kolektif sebagai jalan menuju Tuhan itu sendiri. Jika zikir tak ada batasnya, bisa tidak jika laku sosial itu menjadi zikirnya?

Kelak, kita berharap teori kontradiksi Mao misalnya bisa dibaca secara sufistik. Dari sini yang kita perlukan hanya rasa rendah hati menyelami puspa ragam teori, meminumnya barang seteguk dua teguk dalam refleksi dan abstraksi menuju aksi.

Sekedar keresahan setelah membaca Ibn Ataillah As-Sakandari dan Mao Zedong. Catatan pentingnya ialah: melampaui materialisme dan idealisme untuk tidak terjatuh pada salah satu atau tidak mengafirmasi keduanya yang terjatuh pada dualisme.

Panjang pendeknya umur Sufisme dan Marxisme, tugas historis kita semua, tak hanya saya. Memastikan keduanya mendapatkan tanah, pupuk dan air yang cukup sehingga mereka bisa tumbuh dengan baik. [dutaislam.com/ ab]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB