![]() |
Foto diambil dari cnnindonesia |
Oleh M Abdullah Badri
DutaIslam.Com - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) RI Muhadjir
Efendi boleh berbangga menyatakan kalau terpilihnya dia sebagai menteri karena
Muhammadiyah tempat ia berorganisasi lebih unggul dalam pendidikan. Tapi dia tidak
boleh nyinyir dengan prestasi nyata lembaga pendidikan milik Nahdlatul Ulama’
(NU) yang senyatanya lebih bisa dikabarkan.
Pasalnya, dalam Olimpiade, even olahraga bergengsi di dunia
itu, pemuda lulusan SMK Ma’arif NU Selandaka, Sumpiuh, Banyumas bernama Tontowi
Ahmad (28) berhasil mengembalikan tradisi perolehan emas dalam olahraga
bulutangkis setelah sekian tahun kandas.
Bersama pasangan timnya Liliana Natsir, Tontowi yang pernah nyantri
di Queen Al-Falah, Ploso Kediri itu mengibarkan bendera merah putih di Rio de
Janeiro, pada Rabu (17/08/2016) malam, bersamaan dengan semarak jutaan santri
di Nusantara yang gegap gempita merayakan Hari Kemerdekaan RI ke-71 di
masing-masing pondok mereka, lengkap tanpa mengubah kostum khas santri laiknya sarung,
jubah, surban, kopiah, jilbab dan sandal.
Heroisme santri di dalam negeri tersambung dengan meluapnya
kebanggaan anak negeri ketika Tontowi dinyatakan menang melawan rivalnya dari
Malaysia. Asal tahu saja, sebelum Owi –panggilan Tontowi,- berlaga, broadcast kiriman doa kepadanya sempat viral
di grup-grup santri, baik Facebook maupun WhatsApp.
Owi pernah nyantri sekitar tahun 2000. Karena itulah Owi
pantas didoakan oleh komunitas muslimin pesantren. Kedua orang tuanya pun aktivis
NU di daerah. Tercatat, ibunya yang bernama Nyai Masruroh adalah Ketua Pengurus
Anak Cabang (PAC) Muslimat NU Kecamatan Sumpiuh. Sementara, ayahnya Kiai
Muhammad Husni Muzaitun adalah Ketua Pengurus Ranting (PR) NU Desa Selandaka,
Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah.
Owi, santri yang pada tahun 2005 pernah tergabung dalam Persatuan
Bulutangkis (PB) Djarum di Kudus ini, kata orang tuanya, memang suka dengan
bulutangkis sejak kecil. Dorongan menjadi atlit kian mudah karena ayahnya juga
hobi main bulutangkis.
Olimpiade Matematika
Sama hebatnya dengan prestasi Owi adalah santri-santri
didikan lembaga pendidikan NU di Jepara. Dua siswa dari Yayasan Pendidikan NU
(YPNU) Mathalibul Huda, Mlonggo, Jepara juga menjadi juara dalam Olimpiade di
Singapura. Bukan olahraga, namun matematika.
Dalam ajang bergengsi bernama Singapore International Mathematic Olympiad Challenge (Simoc) pada
12-15 Agutus 2016, Anisa Hayati, siswa kelas X MA NU Mathalibul Huda menyabet 2
medali emas kategori individu, kelompok dan best over all. Adik kelasnya di
kelas IX MTs NU Mathalibul Huda bernama Dedi Wahyudi juga meraih medali perak
(kelompok) dan perunggu (individu).
Selain dari Mathalibul Huda, santri Jepara yang menang dalam
kompetisi tingkat Benua Asia itu ada yang berasal dari SDUT Bumi Kartini. Mereka
adalah Izzati Kayla Anandita, Raihan Yusfi Zamroni (juara harapan/ kelompok) dan
Ahmad Maulana Malik Ibrahim (medali perunggu/ individu). Baru kelas 5 tapi
prestasinya menggila.
Nama-nama santri di atas adalah sosok yang menginspirasi anak
negeri. Ini membuktikan bahwa santri itu poros ilmuan dan intelektual yang
tidak pas jika disebut hanya bisa tahlilan, burdahan, maulidan, ratiban, manaqiban,
ziarah, yasinan, dan segala bentuk amaliyah yang disebut kalangan salafi-wahabi
sebagai bid’ah, syirik dan biang kemunduran.
Islam yang berkemajuan itu jika mendapat nikmat lekas
bersyukur, sebagaimana dilakukan oleh orang tua Owi sesaat setelah dikabarkan
menang olimpiade. Kabar prestasi dan kemenangan, bagi santri, adalah bagian
dari tahadduts bin nikmat (saling
menebar nikmat).
Artinya, nikmat dalam syukur itu tidak terselip rasa sombong atas asumsi dirinya sendiri yang lebih tinggi dari lainnya. Jika tidak
demikian, kalangan santri menyebutnya dengan istilah “setan berbentuk manusia”.
Dalam bahasa guru besar saya, KH Ma’mun Ahmad Kudus, orang
seperti itu ibarat “kesandung roto
kebentus awang-awang” (tersandung datar, terbentur udara). Dia tidak merasa
bersalah kepada orang lain, padahal, orang lain sudah merasakan akibat
kesalahannya.
Dari sini, para santri telah terbukti banyak menginspirasi negeri.
Ini belum saya lanjut pembahasan bagaimana para kiai-santri tanpa pamrih
berjuang, berkorban harta, nyawa dan lainnya untuk memerdekakan negeri.
Tapi di ujung sana, masih ada saja yang mengharamkan hormat
bendera, menyebut Pancasila tidak relevan, menuduh Indonesia negara thaghut,
kafir dan halal pemimpinnya dibunuh, hingga pada 17-an kemarin, tidak ada suara
dari mereka mengibarkan bendera merah putih. Bahkan mempertanyakan kemerdekaan
Indonesia. Ah. [dutaislam.com/lukman]
M Abdullah Badri, santri Mazro'atul Ulum Damaran Kudus
