Ini Proses Persidangan Taubatnya Ibnu Taimiyah yang Berbelit-Belit
Cari Berita

Advertisement

Ini Proses Persidangan Taubatnya Ibnu Taimiyah yang Berbelit-Belit

Kamis, 14 Juli 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Ustadz Ibnu Abdillah Al-Katibiy

DutaIslam.Com - Kini marilah kita simak penuturan seorang ulama yang sezaman dengan Ibnu Taimiyyah, yakni Ibnu Syakir Al-Kutuby dalam salah satu kitab tarikhnya juz 20. Sudah diabadikan oleh seorang ulama besar dari kalangan Ahlus sunnah yang terkenal di seluruh penjuru dunia, Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Astqolani dalam kitabnya "Ad-Duroru Al-Kaaminah". Ibnu Hajar tiada lain adalah pensyarah Kitab Shohih Bukhari berjudul Fathul Bari. Berikut penuturan beliau: 

Sidang Pertama:
"Di tahun 705 di hari ke delapan bulan Rajab, Ibnu Taimiyyah disidang dalam satu majlis persidangan yang dihadiri oleh para penguasa dan para ulama ahli fiqih di hadapan wakil sulthon. Di sana, Ibnu Taimiyyah ditanya mengenai aqidahnya. Lalu ia mengutarakan sedikit dari aqidahnya. Selanjutnya dihadirkan kitab aqidahnya berjudul Al-Wasithiyyah yang kemudian dibacakan dalam persidangan itu. Terjadilah banyak pembahasan dan klarifikasi, namun masih ada sisa pembahasan yang ditunda untuk sidang berikutnya.

Di tahun 707 hri ke-6 bln Rabi'ul Awwal hari kamis, Ibnu Taimiyyah menyebutkan taubatnya dari akidah dan falsafah sesatnya di hadapan para ulama Ahlus sunnah wal jama'ah dari kalangan empat madzhab, bahkan beliau membuat perjanjian kepada para ulama dan hakim secara tertulis dan bersedia tanda tangan untuk tidak kembali ke aliran sesatnya. Namun sesudah itu, ternyata dia masih sering membuat fatwa-fatwa nyeleneh dan mengkhianati surat perjanjiannya, sampai akhirnya ia mondar-mandir masuk penjara dan meninggal di penjara sebagaimana nanti akan diutarakan ucapan dari para ulama.

Berikut ini pernyataan Ibnu taimiyyah mengenai pertaubatannya:

الحمد الله، الذي أعتقده أن في القرءان معنى قائم بذات الله وهو صفة من صفات ذاته القديمة الأزلية وهو غير مخلوق، وليس بحرف ولا صوت، وليس هو حالا في مخلوق أصلا ولا ورق ولا حبر ولا غير ذلك، والذي أعتقده في قوله: ? الرحمن على آلعرش آستوى ? [سورة طه] أنه على ما قال الجماعة الحاضرون وليس على حقيقته وظاهره، ولا أعلم كنه المراد به، بل لا يعلم ذلك إلا الله، والقول في النزول كالقول في الاستواء أقول فيه ما أقول فيه لا أعرف كنه المراد به بل لا يعلم ذلك إلا الله، وليس على حقيقته وظاهره كما قال الجماعة الحاضرون، وكل ما يخالف هذا الاعتقاد فهو باطل، وكل ما في خطي أو لفظي مما يخالف ذلك فهو باطل، وكل ما في ذلك مما فيه إضلال الخلق أو نسبة ما لا يليق بالله إليه فأنا بريء منه فقد تبرأت منه وتائب إلى الله من كل ما يخالفه وكل ما كتبته وقلته في هذه الورقة فأنا مختار فى ذلك غير مكره.

(كتبه أحمد بن تيمية) وذلك يوم الخميس سادس شهر ربيع الآخر سنة سبع وسبعمائة

"Segala puji bagi Allah yang aku yakini bahwa di dalam Al-Quran memiliki makna yang berdiri dengan Dzat Allah Swt yakni sifat dari sifat-sifat Dzat Allah Swt Yang Maha Dahulu lagi Maha Azali dan Al-Quran bukanlah makhluq, bukan berupa huruf dan suara, bukan suatu keadaan bagi makhluk sama sekali dan pula bukan berupa kertas dan tinta dan bukan yang lainnya. Saya meyakini bahwa firman Allah Swt " الرحمن على آلعرش آستوى yakni apa yang telah dikatakan oleh para jama'ah (ulama) yang hadir ini dan bukanlah istawa itu secara hakekat dan dhohirnya. Saya juga tak mengetahui arti dan tujuan yang sesungguhnya kecuali Allah Swt, bukan istawa dengan cara hakekat dan dhohir seperti yang dinyatakan oleh jama'ah yang hadir ini. Seluruhnya yang bertentangan dengan akidah ini yaitu batil. Seluruh apa yang ada dalam tulisanku dan ucapanku yang bertentangan dari semua itu adalah batil. Seluruh apa yang sudah saya tulis dan ucapkan sebelumnya adalah sebuah penyesatan terhadap umat atau penisbatan sesuatu yang tak patut bagi Allah Swt, sehingga saya berlepas diri dan menjauhkan diri dari seluruh itu. Saya bertaubat terhadap Allah dari ajaran yang menyalahi-Nya. Semua yang saya dan saya ucapkan di kertas ini maka aku dengan suka rela tanpa adanya paksaan"

Tertanda: (Ahmad Ibnu Taimiyyah), Kamis, 6-Rabiul Awwal-707 H.

Di atas surat pernyaan itu sudah ditanda tangani di bagian atasnya oleh Ketua hakim, Badruddin bin jama'ah. Pernyataan ini sudah disaksikan, dipercaya dan ditanda tangani oleh :
Muhammad bin Ibrahim Asy-Syafi'i, ia menyebutkan :

المذكور
(Saya mengakui segala apa yg sudah dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah ditanggal tersebut)
Abdul Ghoni bin Muhammad Al-Hanbali :

اعترف بكل ما كتب بخطه
(Saya mengakui apa yg sudah dinyatakannya)

Ahmad Badan Intelijen Negara Rif'ah
Abdul Aziz An-Namrowi:

أقر بذلك
(Saya mengakuinya)

Ali bin Miuhammad bin Khoththob Al-Baji Asy-Syafi'i:

أقر بذلك كله بتاريخه
(Saya mengakui itu dengan tanggalnya)

Hasan bin Ahmad bin Muhammad Al-Husaini:

جرى ذلك بحضوري في تاريخه
(Ini terjadi di hadapanku dengan tanggalnya)
Abdullah bin jama'ah (Saya mengakuinya)

Muhammad bin Utsman Al-Barbajubi:

أقز بذلك وكتبه بحضوري
(Saya mengakuinya dan menulisnya dihadapanku)

Mereka semua ialah para ulama besar di masa itu salah satunya yakni Syaikh Ibnu Rif'ah yang telah mengarang kitab Al-Matlabu Al-'Aali "syarah dari kitab Al-Wasith imam Ghozali jumlahnya 40 jilid. Tapi faktanya Ibnu Taimiyah tak lama melanggar perjanjian tersebut dan kembali lagi dengan ajaran-ajaran menyimpangnya. Sampai-sampai dikatakan oleh seorang ulama :

لكن لم تمض مدة على ذلك حتى نقض ابن تيمية عهوده ومواثيقه كما هو عادة أئمة الضلال ورجع إلى عادته القديمة في الإضلال.

" Akan tetapi tidak lama setelah itu Ibnu Taimiyyah melanggar perjanjian dan pernyataannya itu sebagaimana kebiasaan para imam sesat dan ia kembali pada kebiasaan lamanya di dalam menyesatkan umat"

Sidang ke-2:
Diadakan hari Jum'ah hari ke-12 Rajab. Ikut hadir di waktu itu seorang ulama besar Shofiyuddin Al-Hindiy. Sehingga mulailah pembahasan, mereka mewakilkan terhadap Syaikh Kamaluddin Az-Zamalkani dan akhirnya beliau memenangkan diskusi itu. Beliau telah membungkam habis Ibnu Taimiyyah dalam persidangan tersebut. Merasa khawatir atas dirinya, Ibnu Taimiyyah akhirnya memberi kesaksian kepada beberapa orang yang hadir bahwa ia mengaku bermadzhab Syafi'i dan beraqidah dengan aqidah Imam Syafi'i. Maka orang-orang ridho dengannya dan mereka pun pulang.

Sidang ke-3:
Pada awal mula, Ibnu Taimiyyah mengaku bermadzhab Syafi'i, tetapi pada kenyataannya dia masih membuat ulah dengan fatwa-fatwa yang aneh-aneh sehingga tidak sedikit mempengaruhi orang lain. Sehingga pada akhir bulan Rajab, para ulama ahli fiqih dan para qodhi berkumpul di satu persidangan yang dihadiri wakil shulthon saat itu. Sehingga mereka semua saling membahas menyangkut permasalahan aqidah. Dan berjalanlah persidangan sebagaimana persidangan pertama.

Setelah beberapa hari datanglah surat dari Sulthon untuk berangkat bersama seorang utusan dari Mesir dengan permintaan ketua qodhi Najmuddin. Di antara isi surat tersebut berbunyi "Kalian mengetahui apa yang terjadi di tahun 98 berkaitan aqidah Ibnu Taimiyyah". Maka mereka bertanya kepada beberapa orang tentang apa yang terjadi pada Ibnu Taimiyyah. Maka orang-orang mendatangkan aqidah Ibnu Taimiyyah kepada qodhi Jalaluddin Al-Quzwaini yang sempat dihadapkan pada ketua Qodhi Imamuddin. Sehingga mereka membincangkan masalah ini pada raja agar mengirim surat untuk masalah ini dan raja pun menyetujuinya.

Sesudah itu Raja memerintahkan Syamsuddin Muhammad Al-Muhamadar Ibnu untuk mendatangi Ibnu Taimiyyah dan dia juga berkata pada Ibnu Taimiyyah "Raja sudah memerintahkanmu untuk pergi esok hari". Ibnu Taimiyyah bertolak hadir ditemani oleh dua orang, yakni Abdullah dan Abdurrahman serta beberapa jama'ahnya.

Sidang ke-4:
Pada hri ke tujuh Syawwal sampailah Ibnu Taimiyyah ke Mesir dan diadakan satu persidangan berikutnya di benteng Kairo di hadapan para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab. Setelah Itu Syaikh Syamsuddin bin Adnan Asy-Syafi'i berkata dan menyatakan berkaitan beberapa pasal dari aqidah Ibnu Taimiyyah. 

Ibnu Taimiyyah memulai pembicaraan dengan pujian kepada Allah Swt & berkata dengan pembicaraan yang mengarah kepada kesan memberi nasehat, bukan klarifikasi. Sehingga dijawab "Wahai syaikh, apa yang kau bicarakan kami sudah mengetahuinya dan kami tak ada hajat atas nasehatmu. Kami telah menampilkan pertanyaan padamu maka jawablah !". 

Ibnu Taimiiyah hendak mengulangi pujian kepada Allah, namun para ulama menyetopnya dan berbicara "Jawablah wahai syaikh". Maka Ibnu Taimiyyah terdiam".

Para ulama mengulangi pertanyaan berulang-ulang kali namun Ibnu Taimiyyah senantiasa berbelit-belit dalam berkata. Sehingga seseorang qodhi yang bermadzhab Maliki memerintahkannya untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah di satu ruang yang ada di benteng tersebut dengan dua orang yang ikut bersamanya itu. 

Begitu lamanya ia menetap di penjara dalam benteng tersebut sampai beliau meninggal dalam penjara pada tengah malam hari tanggal 22 Dzulqo'dah thn 728 H.

Peristiwa ini sudah ditulis oleh para ulama di dalam banyak literaul kitab yang mu'tabar, diantaranya kitab Ad-Duraru Al-Kaminah karya Ibnu Hajar, kitab Nihayah Al-Arab Fi Funun Al-Adab karya As-Syeikh Syihabuddin An-Nuwairy meninggal 733 H cetakan Dar Al-Kutub Al-Misriyyah dan lainnya. 

Begitu lah peristiwa singkat Ibnu Taimiyah, seorang figur dari cikal-bakal munculnya aliran wahhabiyyah, seorang ulama andalan yang dijadikan rujukan oleh para ulama wahhabi. Mudah-mudahan perihal ini jadi renungan bagi para pengikut wahabi. [dutaislam.com/ ab]
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB