DutaIslam.Com –
Membedakan tasawuf dengan tarekat, lalu memilih bertasawuf tanpa tarekat (tasawuf yes tarekat no) adalah
kesalahpahaman yang harus diluruskan. Jika tasawuf adalah akhlak yang masih
bisa diikuti oleh logika, maka tarekat sesungguhnya adalah energi tauhid yang
lahir dari intensitas dzikir dan syahadat kepada Allah terus menerus. Tarekat
adalah tauhid.
Nikah harus ada akad karena ia adalah energi kasih sayang
dalam hubungan rumah tangga. Energi itu menerangi pasangan suami istri untuk
teguh menjalani bahteranya. Nikah adalah akhlaq (tasawuf), akad adalah energi
(tarekat). Tasawuf ibarat lampu. Tapi kalau tidak ada listriknya, tidak akan
ada cahaya. Cahaya itulah yang ditamsilkan sebagai tarekat.
Keterangan di atas mengemuka dalam Dialog Tarekat bersama
Habib A Rahim Puang Makka yang diadakan pada malam sebelum “Workshop Penyusunan
Buku Perkuliahan Pendidikan Islam dalam Hubungan Dengan Nilai-Nilai Luhur
Pancasila” di aula Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ), Ahad (28/05/2016).
Hadir sebagai pendamping Puang Makka, Dekan Fakultas Hukum
UNEJ, Dr. Nurul Ghufron dan Ketua Umum Pengurus Pusat Mahasiswa Ahlith Thariqah
al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (Matan), Dr. Hamdani Muin.
Menurut Puang Makka, panggilan Habib A Rahim, tidak ada yang
menakutkan masuk tarekat. Tarekat hanya media penajam energi akad dua syahadat
yang menyambung tanpa putus dari Rasulullah. Selain itu, biasa saja.
Yang seringkali sulit disikapi, lanjutnya, adalah ketika
ketentuan hati pengamal tarekat bertentangan dengan logika. “Pikiran itu
keraguan yang bisa mematikan hati padahal hati adalah keyakinan,” ujar Rais
Majlis Ifta’ Idaroh Wustha Jamiyyah Ahluth Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah
wilayah Sulawesi Selatan itu.
Itulah sebabnya, dalam kepemimpinan tarekat tidak mutlak
dibenarkan adanya dialog dan musyawarah yang memungkinkan terjadinya tarikan
kepentingan dan modal. Seorang mursyid (pemimpin) tarekat harus memiliki mesin
logika (ilman) dan mesin hati (hikman) menghadapi banyak masalah. Ia harus optimal
menggunakan keduanya. “Inilah yang membuat letih kepemimpinan seorang mursyid,”
tandas Puang Makka yang pernah jadi anggota DPRD Makassar 1999-2004 itu.
Jika pemimpin formal semacam presiden diangkat berdasarkan
legalitas dan SK jabatan, maka dalam tarekat, masyarakatlah yang mengakuinya.
Untuk mencapai itu, butuh ketajaman hati dan dzauq yang harus terus diasah
sehingga menjadi sifat baik dan akhlaq.
“Mursyid itu tidak terikat dengan
perjanjian kelompok yang bisa mengandung syubhat kepentingan yang lalim
berdasarkan logika saja. Wibawanya pun berdasar cerminan akhlaqnya,” tuturnya
kepada puluhan peserta dialog. [dutaislam.com/
m abdullah badri]
