DutaIslam.Com – Terpilihnya non muslim menjadi seorang pejabat di Indonesia tidak bisa dilarang oleh umat Islam. Itu adalah hak. Sikap tidak setuju atas kepemimpinan seorang non muslim hanya karena alasan beda agama adalah cermin ketidakadilan umat Islam yang tidak mau berbuat ihsan terhadap diri sendiri, kurang mau bersatu dan suka melihat hasil akhir daripada proses.
Hal itu disampaikan Habib Abdur Rahim Assegaf Puang Makka
bin Habib Jamaluddin Assegaf Puang Rama dari Makassar, dalam Seminar dengan subtema
“Kepemimpinan dalam Tarekat” yang digelar Pengurus Pusat Mahasiswa Ahlith
Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (Matan) bekerjasama dengan Dekanat
Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ), di aula setempat, Ahad (28 Mei 2016)
malam.
Dalam acara yang dirangkai dengan pelantikan Pengurus Matan
Cabang Jember tersebut, Puang Makka mengajak untuk menelusuri faktor kesuksesan
seorang pemimpin tanpa melihat agama yang dipeluknya. “Kita harus bedah sebelum
mereka terpilih dan berkuasa. Saya tidak tertarik menyikapi agama mereka,”
jelasnya kepada puluhan hadirin.
Menurut Mursyid Thariqah Khalwatiyah Syiekh Yusuf
al-Makassari itu, Indonesia akan menemukan banyak solusi jika urusan republik
ini diserahkan kepada pemimpin yang hatinya sudah diasah. “Banyak orang pintar,
tapi cara penyampaian mereka dengan hikmah susah didapat. Banyak juga orang cerdas,
tapi sedikit yang amanah,” ujarnya.
Terjadilah tabrakan kepentingan antara manusia. Kalau sudah
seperti itu, lanjut Puang, manusia tidak lebih baik dari binatang semacam
burung walet. Mereka tidak bertabrakan di lalu lintasnya walau ribuan terbang mengitari.
“Manusia tabrakan karena tidak mau mengalah dengan sesamanya,” tegasnya.
Karena itulah, Puang Makka menyebut tidak semua manusia itu
khalifah Allah. Buktinya, di antara mereka ada yang lebih rendah dari binatang.
Al-Qur’an Surat al-A’raf 179 menyebut “ulaika
kal-an’ami bal hum adhollu (mereka itu seperti binatang ternak, bahkan
lebih sesat lagi)”. [dutaislam.com/ m abdullah
badri]
