![]() |
Dari kiri: Dr. Mahmud Suyuti, Habib Luthfi bin Yahya dan Habib Abdurrahim Puang Makka Foto: dutaislam.com/facebook |
DutaIslam.Com – Dalam
dialog Keaswajaan di aula Fakultas Hukum Universitas Jember (UNEJ) pada Ahad
(28/05/2016), ketua Mahasiswa Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah
(Matan) Provinsi Sulawesi Selatan, Dr. Mahmud Suyuti bertubi-tubi menyindir
kaum wahabi yang suka mendewakan simbol daripada substansi dalam cara beragama
mereka.
Suyuti membagi jenggot jadi 3 macam, yakni jenggot biologis,
aksesoris dan teroris. Disebut jenggot biologis karena tumbuh sendiri. Inilah
yang menurutnya bukan sunnah qauli
(ucapan Nabi) dan bukan juga sunnah
taqriri (berdasarkan ketetapan Nabi), melainkan “tumbuh sendiri”.
Sindiran ala canda Dr. Mahmud Suyuti itu juga dilanjutkan
kritik kepada kaum wahabi yang melarang mencium tangan dengan alasan bid’ah. Padahal,
menurutnya, mereka juga melakukan bid’ah lain seperti cium pipi kanan dan cium
pipi kiri (cipika-cipiki).
Cadar juga tidak luput dari kritiknya. Menurut doktor hadits
yang hafal Kitab Shahih Bukhari ini, pengguna cadar tidak punya kesempatan
melakukan sunnah Nabi seperti dalam hadits tabassumuka
li akhika shadaqoh/ seyummmu kepada saudaramu itu sedekah. “Bagaimana mau
tersenyum kalau hanya mata yang kelihatan,” tegasnya.
Intinya, wahabi itu inginnnya semua dipertentangkan. Seolah-olah
yang dilakukan oleh liyan harus sesuai kehendaknya. Orang lain disalahkan hanya
karena hadits-hadits yang dikutip tidak utuh. Misalnya soal membaca basmalah di
awal membaca Al-Fatihah dalam shalat. Hadits yang mereka ambil tidak
dilengkapi asbabul wurud dan
hadits-hadits lain.
“Anas mendengar basmalah secara terang karena dia sahabat
paling tepat waktu shalat berjama’ah bersama Nabi. Aisyah mendengar secara sirr (kurang
jelas) karena posisinya saat berjama’ah dengan Nabi berada di belakang jauh. Sementara
Ukays tidak mendengar karena sering telat jama'ah. Hadits yang telat jama’ah
inilah yang diambil buat dalil,” ujarnya di hadapan ratusan hadirin.
Karena sibuk mempertentangkan yang tidak substansial itu,
ketika shalat, orang-orang wahabi lebih suka “menata kaki” daripada menata
niat. Mereka merapatkan kaki, mengganggu niat orang shalat orang lain di
sampingnya yang sedang menata niat.
Agar shalatnya dianggap rajin, jidat mereka harus hitam.
Dalihnya mengikuti jidat para sahabat Nabi. Padahal, menurutnya, jidat hitam
pada zaman Nabi itu terjadi karena dulu lantai masjid tidak ada yang pakai
karpet dan keramik. [dutaislam.com/ab]
