Tidak Hafal Nama Menteri Bukan Pertanyaan Alam Kubur
Cari Berita

Advertisement

Tidak Hafal Nama Menteri Bukan Pertanyaan Alam Kubur

Rabu, 18 Mei 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Prie GS

DutaIslam.Com - Beberapa waktu lalu, seorang santri menjadi viral di jejaring sosial karena menjawab secara keliru tiga nama menteri yang ditanyakan Presiden Jokowi saat Presiden berkunjung ke pesantren itu. Jawaban yang salah itu segera menimbulkan gelak tawa berkepanjangan karena nama-mana yang ia sebut adalah nama-nama besar: Ahok, Prabowo dan Megawati.

Belum lama ini saya mendatangi pengasuh pesantren itu, Gus Yusuf, di Tegalrejo Magelang dan meminta beliau adakah berkenan mempertemukan saya dengan santri tersebut. Namanya Fikri, asal Pekalongan. Saya bertanya kepadanya, bagaimana rasanya berdekatan dengan presiden dan menjawab pertanyaannya di depan khalayak.

‘’Melayang-layang, ‘’ katanya. Saya tanyakan juga, arti namanya saat ia usai menyebut nama lengkapnya. ‘’Pikiran yang bersih,’’ jawabya. ‘’Pikiranmu bersih tapi jawabanmu salah,’’ canda saya. Dan ia tergelak di tingkah gelak hadirin.

Jika tak ada perubahan, adegan ini akan Anda saksikan sebagai acara televisi teman makan sahur Anda di bulan Ramadhan ini. Saya bertanya kepada Fikri lebih jauh tentang keadaannya sehari-hari. Ayah ibunya adalah orang-orang sederhana. Mereka hanya bisa memberi bekal Fikri antara 300  hingga 400 ribu sebulan. Jumlah yang sangat kecil untuk biaya hidup seorang remaja dalam sebulan. Adakah jumlah itu cukup?

‘’Kadang cukup, kadang tidak.’’

 ‘’Kapan ia cukup, dan kapan ia tak cukup?’’

 ‘’Saat saya sedang banyak hafalan dan kepala jadi berat. Butuh jajan gorengan.’’

Dari sini, saya mengerti keadaan Fikri dan keluarganya. Maka ketika Presiden datang membawa sepeda gunung untuk hadiah, Fikri, mengaku di dalam hati berdoa habis-habisan, agar sepeda itu dihadiahkan kepadanya. Doanya terkabul.  Tapi sepeda itu bukan untuk dirinya, melainkan untuk ia kirim ke Pekalongan agar menjadi kendaraan ayahnya.

 ‘’Agar urusan ayah menjadi mudah,’’ katanya.

Jawaban Fikri ini hampir saja membuat saya berteriak ‘’cut’’ pada sutradara karena  sulit melanjutkan bicara. Tetapi segera saya memanipulasi perasaan dengan pertanyaan lanjutan:

‘’Jadi kamu lebih fokus pada sepeda itu, ketimbang bertemu presiden.’’

‘’Iya.’’ Kembali ruangan pecah oleh gelak tawa.

Kebetulan saat itu, Gus Yusuf sedang menceritakan bagaimana Rasulullah  pernah bersalaman dengan sahabat yang bertangan kasar. Sahabat itu menjawab bahwa ia harus bekerja keras setiap  kali demi  mencari nafkah untuk keluarganya. Sebuah jawaban yang membuat Rasul menjangkau tangan kasar itu kembali dan menciumnya.

Cerita itu juga hampir membuat saya berteriak ‘’cut’’ untuk kedua kali. Lalu saya bertanya pada Gus Yus, apakah juga boleh kalau saya mencium tangan Fikri. ‘’Ciumlah,’’ kata Gus Yusuf. Dan saya mencium tangannya. Adegan itu mungkin dibalut gelak tawa, tetapi saya sedang bersungguh-sungguh mengajar diri sendiri, untuk tunduk kepada siapapun pengajar kebaikan. Kepada bapak ibu saya, saya tidak semulia Fikri. Saya terkenang-kenang terus kebahagiaan anak itu saat mengirim ayahnya sepeda.

Kepada Gus Yusuf saya bertanya:

‘’Sempat singgah kritik, santri Anda tak hafal nama menteri.’’

‘’Tak mengapa. Pertanyaan serupa tak ditanyakan di alam kubur,’’ jawab Gus Yusuf.


Prie GS, Budayawan
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB