DutaIslam.Com - Kawan
KH Musthafa Bisri (Gus Mus) seorang pelukis keturunan Tionghoa pernah memamerkan
karyanya di musium OHD Magelang. Yang dilukis Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari
dan gambar Gus Dur. Dalam hati, Gus Mus heran ada pelukis cina tapi yang
digambar Gus Dur. “Kalau tidak ada orang itu, tidak ada NKRI,” pria itu
menjawab batin Gus Mus sambil menuding lukisan Mbah Hasyim.
Cerita itu diutarakan Gus Mus dalam pengajian umum di Asrama
Pelajar Islam Mathali’ul Anwar (APIMA), Randusari, Rt. 04 Rw. 01, Tahunan, Jepara
dalam rangka Haflah At-Tasyakkur lil
Ikhtitam ke 22, Senin (23/05/2016) malam. Ribuan orang hadir dalam acara
tersebut.
Pria itu, ujar Gus Mus, mengatakan kalau Mbah Hasyim adalah kiainya
kiai yang mencetak kiai-kiai di Indonesia, yakni kiai-kiai yang menggerakkan
orang Indonesia sehingga Indonesia merdeka. Dia juga mengajak Gus Mus membangun
museum NU karena NU, -bagi pelukis yang tidak disebut namanya itu,- adalah
kelanjutan pondok-pondok pesantren para kiai. Museum NU itu dimaksudkan untuk
meluruskan sejarah.
Banyak para kiai dan santri pesantren yang berperan dalam
kemerdekaan Indonesia namun tidak tertulis dalam sejarah. “Wah, sampeyan itu
tidak tahu. Kiai-kiai itu memang tidak mau disebut jasanya karena takut pahala
ikhlasnya hilang,” ujar Gus Mus kepada sang pelukis.
Para kiai itu, lanjut Gus Mus dalam pengajian, tidak ada
yang usul diri ingin disebutkan jasa-jasanya. Semua orang sudah tahu, sebelum
ada TNI, ada Sabilillah dan Hizbullah. Semua yang membuat adalah para kiai.
Tapi memang betul, yang heroik mengajak perang pada 10
November (Hari Pahlawan Nasional), tidak disebut nama-nama dan aktornya. Ketika
sekutu mendarat di Surabaya, ketika itu pemerintah pusat di Jakarta tidak
mengambil kebijakan apapun. Semuanya diserahkan kepada daerah. Akhirnya Bung
Tomo sowan ke KH Hasyim As’ary yang kemudian melahirkan resolusi jihad.
“Sayangnya, siapa yang memimpin 10 November tidak dicatat
dalam sejarah, yaitu Kiai Abbas Buntet. Santri-santri banyak yang jadi korban,
tidak ada catatannya juga. Begitu juga Kiai Subki Parakan yang terkenal Bambu
Runcingnya, juga tidak tercatat,” papar Gus Mus.
Teman pelukis Gus Mus itu mengingatkan temuannya atas sebuah
buku cetakan Kuwait dengan penulis Sayyid
Muhammad Hasan Syihab, seorang wartawan Arab yang pernah bertugas meliput
ketika Revolusi Indonesia. “Tulisannya panjang, mulai zaman Diponegoro hingga
kemerdekaan,” tuturnya.
“Judulnya, al-Allamah Muhammad
Hasyim Asy’ary Wadli’u Ashliyati Istiqlali Indonesia. Kalau diterjemahkan
jadinya Maha Kiai Hasyim Asy’ary Peletak Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia,”
tandas Gus Mus. [dutaislam.com/ab]
