DutaIslam.Com –
Adanya perbedaan penetapan awal bulan Ramadhan, Syawwal dan Dzulhijjah, selalu
berhubungan dengan ibadah. Karena itulah, kelendernya disebut kalender ibadah.
Ini berbeda dengan kalender al-manak yang disusun secara umum tidak berkaitan
langsung dengan ibadah. Sayangnya, hingga sekarang, antara ahli falak dan hisab
cenderung sepakat dalam perbedaan.
Itulah yang disampaikan Drs. KH Ghazali Masruri, Ketua
Lembaga Falakiyah (LF) PBNU dalam pembukaan acara “Penyerasian Hisab Tahun
2017-2018 PBNU Lembaga Falakiyah” di Lantai III Gedung Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unisnu Jepara, Jumat (13/05/2016) malam. Acara Penyerasian Hisab berlangsung di
hotel Jepara Indah, Jepara 6-8 Syaban/ 13-15 Mei 2016.
Dalam pembukaan bertema acara “Imkanur Rukyat Itu Hisab,
Bukan Kriteria Solusi Penyatuan Kalender Ibadah’, Kiai Ghazali mengatakan
keakraban kiai-kiai NU dengan Ilmu Hisab. Sejak berdiri, katanya, NU sudah
memiliki badan yang khusus menangani masalah falakiyah. Ini sekaligus menepis
dugaan NU kurang mengikuti perkembangan Falak.
Buku-buku tentang Falak lahir dari ulama pesantren didikan
NU. Antara lain: Taufiq ar-Rahman, Syawariq al-Anwar, Syams al-Hilal, dan Nur al-Anwar karya KH Nur Ahmad SS, Kriyan Jepara. Durusul Falakiyah (Kiai Maksum bin Ali, Jombang), Khulashotul Falakiyah (Kiai Zubair Umar al-Jailani, Salatiga), Irsyadul Murid (KH Ghazali, Sampang, Madura) dan lainnya.
Saking banyaknya karya dan metode yang dilahirkan ulama ahli
hisab tersebut, harus dibuktikan secara ilmiah dan perlu observasi (rukyat). “Hisab
itu bersifat prediktif. Bahkan hisab kolektif yang berbasis tahkiki pun selalu
dalam keadaan harus diobservasi sebagai sarana uji kesahihan,” ujar Kiai
Ghazali.
Kembali Kepada Qur’an
dan Sunnah
Perbedaan dalam hisab tidak sama dengan perbedaan dalam
fiqih yang selalu ada toleransi “fihi qaulani”. Ketika hasil hitung yang
terjadi selisih menitan, tidak masalah. Namun, jika perbedaan itu hingga berjam-jam
atau berhari-hari, ini persoalan serius.
Menjawab itu, Saifudin Waspada, Wakil Ketua PW Muhammadiyah
Jawa Tengah, dalam sambutannya menyebut tiga faktor ketidakmampuan umat menyatukan
kalender, yakni 1. Penyakralan kalender.
Padahal kalender itu astronomis dan politis. Tidak membawa konsekuensi pahala
dan dosa, 2. Karena memandang sebelah mata perkembangan sains dan teknologi, 3.
Saling membela kepentingan kelompok masing-masing.
Dulu, keputusan itsbat KH Hasyim As’ary dan KH Ahmad Dahlan sama-sama
menggunakan metode rukyat. Terjadinya perbedaan metode, menurut Kiai Ghazali, karena
para astronom tidak kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta kurang menguasai
bahasa Arab. Selain itu, mereka juga tidak merujuk keputusan bersama ormas-ormas
Islam di Indonesia tahun 2013 yang menetapkan kalender ibadah harus dengan
hisab dan rukyat sekaligus.
“Dalam Bahasa Arab, hilal
itu artinya terlihat. Jika tidak terlihat, maka itu bukan hilal. Kata ro’a juga punya 10 makna, yang artinya
melihat. Rukyat dengan demikian harus observasi dengan mata, baik secara
telanjang maupun dengan alat,” papar Kiai Ghazali.
Puluhan peserta yang hadir antara lain, Kiai Zabidi (Ketua
LFNU Jepara), KH Nurrahman Fauzan (Yaptinu), Drs. H. Muhdi M.Ag (Kepala Kantor Kemenag
Jepara), Jatmiko (Kepala Bidang Ekonomi dan Pembangunan Pemda Jepara) mewakili
bupati, beberapa ketua MWC NU dan Lembaga serta Banom di Linkungan PCNU Jepara. [dutaislam.com/ m abdullah badri]
