DutaIslam.Com – Cerita diawali dari polemik Jaka Tingkir/ Sultan
Hadiwijaya yang menjadi Raja Kesultanan Demak, sementara ia bukan keturunan
raja. Atas dasar itu, Arya Penangsang bermaksud memberontak dengan mengutus dua
prajurit bersenjatakan Keris Setan Kober miliknya.
Sesampainya di wilayah kerajaan, dua prajurit Arya
Penangsang itu menggunakan aji-aji Begonondo untuk menyirep orang-orang di
istana. Tidurlah semua orang. Namun, ketika Jaka Tingkir ditusuk menggunakan
Setan Kober, senjata Arya Penangsang itu tidak berfungsi. Ternyata, Jaka
Tingkir memiliki ajian Lembu Sekilan.
Terjadilah peperangan karena para prajurit Jaka Tingkir
terbangun. Dua Parjurit Arya Penangsang dibebaskan namun Keris Setan Kober
disita oleh Jaka Tingkir. Kegagalan dua prajurit itu membuat Arya Penangsang
marah. Mereka dihajar habis-habisan.
Kepada gurunya, Sunan Kudus, Arya Penangsang minta restu
untuk merebut Kerajaan Demak dengan cara perang. Namun, ia dilarang. Sunan
Kudus memberikan solusi kepada Arya Penangsang dengan sebuah kursi duduk. Siapa
pun yang menduduki kursi yang sudah dirajah Sunan Kudus itu, ia akan mengalami
nasib sial selama 40 hari. Jika ingin merebut Demak, Arya Penangsang harus
punya strategi agar Jaka Tingkir bisa duduk di kursi itu.
Pertemuan antara Arya Penangsang, Jaka Tingkir dan Sunan
Kudus digendakan dengan tetap menyertakan Ki Ageng Pemanahan. Hampir saja Jaka
Tingkir duduk di kursi sial itu, namun dicegah oleh Ki Ageng Pemanahan dengan
alasan tidak sopan kepada Sunan Kudus, karena selain ia adalah tamu yang tidak
layak duduk di kursi mewah, Jaka Tingkir adalah adik seperguruan Arya
Penangsang dari Sunan Kudus. Arya Penangsang lah yang akhirnya duduk di kursi
sial itu.
Daripada diserang duluan, Ki Ageng Pemanahan mengusulkan
Jaka Tingkir agar melawan Kerajaan Jipang pimpinan Arya Penangsang dengan cara
baris pendem. Yang diutus jadi panglima perang ketika itu adalah Sutowijoyo, anak
Ki Ageng Pemanahan sendiri.
“Arya Penangsang, metu
kuwe!” teriak Sutowijoyo. Tak lama kemudian, muncul laki-laki angkuh dari
balik panggung. “Hei, Sutowijoyo, bocah
mambu kencur wani-wanine nantang Aryo Penangsang. Nek pancen awakmu ngajak
perang saiki, tak layani opo sing dadi kekarepanmu. Aku ora wedi. Mati urip
tetep tak lakoni tantanganmu. Prajurit, majuuuu…!”
Dalam perang yang berkecamuk, dalang menceritakan peristiwa
perang itu. “Aryo penangsang mati, mergo
njabut keris ning wetenge, ususe mbrodol. Aryo penangsang dikalahke Jaka
Tingkir alias Sultan Hadiwijoyo, goro-goro Aryo Penangsang ora manut dawuhe
bopo Sunan Kudus ora oleh nyebrang Kali Serang,” begitu narasi dalang. Tombak
Pleret milik Jaka Tingkir akhirnya menembus dada Arya Penangsang.
Anda tidak menyaksikan itu di televisi opera van Java atau
di panggung profesional lain. Itu adalah pertunjukan drama teater yang
seutuhnya diperankan para santri Asrama Pelajar Islam Mathaliul Anwar (APIMA), Rt.
04 Rw. 01, Desa Randusari, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Ahad (22 Mei
2016) malam.
Drama berjudul “Joko Tingkir versus Arya Penangsang” di atas
diperankan oleh 8 santri di halaman mushalla ponpes APIMA. Joko Tingkir
diperankan oleh Zahid, Arya Penangsang (Agus Badari), Sunan Kudus (Ragil),
Sutowijoyo (Gunawan), Ki Gede Pemanahan (Zub), Prajurit Jaka Tingkir (Falah +
Fadholi), Prajurit Arya Penangsang (Aziz Magelang + Ari Ndalem) dan Mantani
(Agus Suwarto). Dalangnya bernama Saiful Munir asal Lampung.
Menurut Romadhon (25), santri 2004 asal Boyolali, pementasan
teater tersebut adalah yang ke-4 kalinya di APIMA dalam rangkaian kegiatan Haflah At-Tasyakkur lil Ikhtitam yang tahun ini jatuh ke 22. Semua pemeran adalah santri. Pelatihnya juga
santri. Kisah dan skenario juga ditulis oleh para pemain yang santri, bareng-bareng.
Pertunjukan malam itu menjadi istimewa karena perlengkapan lighting, penataan
artistik panggung, suara dan lainnya dibantu oleh Lembaga Seni Budaya Muslimin
Indonesia (Lesbumi) PCNU Jepara. “Kami tidak melatih mereka, hanya memfasilitasi
perangkat teater yang perlu disediakan,” kata Ngateman, Ketua Lesbumi NU Jepara.
APIMA terbilang ponpes unik di Jepara. Dalam haflah selama
seminggu (17-23 Mei 2016), kegiatan yang diselenggarakan selalu melibatkan
banyak orang, terutama masyarakat umum. Kegiatan itu antara lain: sepak bola
dan pasar malam (17/05), nonton layar tancap bersama (18/05), pengajian
khataman santri kampung (19/05), karnaval APIMA ke-8 (20/05), donor darah dan qashidahan al-Kautsar (21/05), pentas seni teater (22/05) dan puncaknya,
pengajian umum bersama Gus Mus (23/05).
Kata Romadhon, kegiatan haflah selalu menyertakan ribuan
orang agar masyarakat sekitar merasa memiliki ponpes yang mayoritas dihuni oleh
santri luar Jepara dan luar Jawa tersebut. “Jumlah santrinya ada sekitar 130-an,”
lanjutnya.
Pengasuh ponpes, Kiai Ali Masykur, yang juga Ketua MWC NU
Tahunan, lanjut Romadhon, sengaja mengundang banyak orang, walau ke pondok mereka
membawa kostum reok ponorogo dalam festival atau membawa kelompok pecinta vespa Jepara pada pertandingan
sepak bola atau pasar malam. “Mirip tradisi di Pondok Pesantren API Tegalrejo,
Magelang,” jelasnya. #Ayo Mondok! [dutaislam.com/ abdullah badri]
