Presiden Fiqih Itu Bernama Gus Dur
Cari Berita

Advertisement

Presiden Fiqih Itu Bernama Gus Dur

Selasa, 22 Maret 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
DutaIslam.Com - Opini

Oleh: Muhammad Sulton Fatoni

Pernah mendengar kata  abenomics? Sebuah neologisme yang merujuk kepada Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe yang mengambil kebijakan saat mengatasi krisis ekonomi di negerinya. Begitu juga reaganomic yang merujuk kepada Amerika Serikat, Presiden Ronald Reagan yang berangkat dari teori supply side economics berupaya menekan inflasi dan angka pengangguran di Amerika Serikat. 

Di Indonesia, media juga sempat mengutip istilah SBYnomic untuk  menggambarkan istilah lainnya, keep buying strategy yang diucapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sewaktu mengantarkan RAPBN 2014 pada 16 Agustus 2013 lalu.

Setiap orang berkecenderungan terhadap hal tertentu meskipun pikirannya diselimuti berjuta persoalan. Kecenderungan tersebut tak lepas dari karakter orang-orang sekelilingnya saat ia tumbuh, lingkungan, kognitif dan latar budaya. Lalu kecenderungan apa yang bisa diperhatikan dari sosok Abdurrahman Wahid, satu-satunya “gus” di dunia yang ditakdirkan menjadi Presiden? Tak terhitung “gelar” yang disematkan kepada Gus Dur, dari yang serius seperti Guru Bangsa, Tokoh Pluralisme, Bapak Tionghoa; hingga yang bernada guyonan, seperti Presiden Republik Akhirat, Presiden Dunia Akhirat, dan lainnya. 

Gelar mengalir begitu deras dari kelompok-kelompok masyarakat yang merasa mendapatkan sentuhan dari Gus Dur, begitu beliau akrab disapa. Saya pun menggelari Gus Dur sebagai Presiden Fiqh Indonesia. Tentu gelar ini saya sematkan dengan beberapa alasan dan bukti.


Pertama, Gus Dur termasuk satu-satunya Presiden Indonesia yang rajin bicara tentang keislaman dan keindonesiaan. Banyak peristiwa yang Gus Dur kaitkan dengan keislaman, baik Islam dalam bentuk nilai maupun norma yang mentradisi. Catatan saya, sejak Oktober 1999 hingga Juli 2001 hampir seluruh babak-babak pernyataan Presiden Gus Dur bermuatan nilai-nilai keislaman. Bicara tentang Pemerintahan, penegakan hukum, sosial, politik, ekonomi, pertahanan-keamanan dan lainnya hampir selalu Gus Dur kaitkan dengan keislaman. Seperti pemerintahan yang jujur, teknologi berbasis moral, berdoa untuk Indonesia, pemimpin negara harus sabar, konflik karena tidak adil, sidang MPR tidak sah, TNI-Polri wajib membela konstitusi, pemerintahan bersih, deklarasi HAM PBB beda dengan fiqh, salat ghaib untuk Baharuddin Lopa, Pak Harto Taubat Nasuha, dan masih banyak yang lainnya.

Kedua, Gus Dur termasuk satu-satunya Presiden Indonesia yang rajin melontarkan gagasan keislaman dan keindonesiaan. Pemikiran kontroversi Gus Dur ternyata tidak berhenti meskipun beliau menjadi Presiden. Beberapa kasus saya sampaikan di sini. Misalnya, saat Perayaan Natal tanggal 27 Desember 1999, dalam sambutannya, Presiden Gus Dur mengkritik umat Islam Indonesia yang tidak konsisten dengan agamanya. Menurut Gus Dur, ketika umat Islam konsekuen dengan refleksi atas Maulid (kelahiran) Nabi Muhammad saw. maka umat Islam juga harus konsekuen dengan realitas perayaan Natal (kelahiran) Jesus Kristus di kalangan umat Kristiani.

Pada tanggal 4 Juli 2001 dalam sebuah acara, Presiden Gus Dur juga menggagas perlunya perubahan terhadap susunan hukum Islam. Presiden Gus Dur merujuk pada kasus perbedaan pandangan antara Deklarasi HAM PBB dan fiqh tentang perpindahan agama, terutama perpindahan orang Islam ke agama lain (murtad). Presiden Gus Dur saat itu mengatakan:

"Kita harus renungkan kembali apakah kita tak perlu melakukan perubahan pada susunan hukum kita? Apalagi dalam ushul fiqh dikenal kaidah الحكم يدور مع علته وجودا وعدما , bahwa hukum bisa berubah sesuai dengan sebabnya ada atau tidak adanya hukum itu sendiri. Prinsip hukum Islam itu tidak mengenal stratifikasi. Artinya, hukum secara praksis harus dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan manusia, bukan dengan keadaan zaman."

Di kesempatan yang lain, tepatnya pada 17 Mei 2001, juga di hadapan publik, Presiden Gus Dur mendorong umat Islam agar cerdas mengaitkan syariat Islam dengan hukum nasional. Presiden Gus Dur menggulirkan ide konfederasi agar tidak terjadi benturan antara syariat Islam dengan konstitusi Indonesia. Presiden Gus Dur mengatakan:

"Gagasan konfederasi dalam konteks ini penting sekali, yaitu boleh berbeda bentuk dan beragam namun isinya satu. Salah satu terpenting sebagai bangsa, kita tidak boleh melanggar konstitusi. Kewajiban kita menegakkan konstitusi karena ini pegangan kita bersama dalam hidup di kawasan ini."

Ketiga, Gus Dur satu-satunya Presiden yang memberikan arahan kepada umat Islam untuk mengikuti pendapat-pendapat ulama fiqh. Dari Istana Presiden, Gus Dur sering melontarkan pandangan ulama fiqh untuk mengingatkan masyarakat atas kasus-kasus tertentu yang perlu mendapatkan perhatian. Contoh, pada pada tanggal 24 Oktoober 1999 Presiden Gus Dur mengatakan bahwa semua umat beragama diharamkan konflik di antara mereka. Presiden Gus Dur berpendapat:

"Kita tidak layak berperang karena agama. Sampai sekarang masih sering terjadi kesalahpahaman tentang umat Islam. Terutama tentang kelompok yang menyebut dirinya fundamentalis. Mereka memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Kita menggunakan secara salah istilah fundamentalis."

Kasus lain yang menarik dari Presiden Gus Dur adalah saat menghadapi mantan Presiden Soeharto. Menurut Gus Dur, Soeharto harus diadili dan jika pengadilan memutuskan salah, Pemerintah bisa memberikan pengampunan. Keunikan fiqh Gus Dur tampak dari alur penanganannya. Gus Dur mengatakan:

"Sekarang sudah tampak bahwa hukum itu tegak. Bukti paling kuat adalah terjadi pemeriksaan intensif terhadap keluarga mantan Presiden Soeharto. Kalau nggak sanggup diadili di pengadilan karena tim kedokteran menyatakan sakit, oke diadili saja di Cendana. Kalau tidak bisa juga, ya diadili di Pengadilan tanpa kehadiran dia. Kalau nggak bisa ya dengan cara lain lagi. Kita nggak boleh putus asa dalam hal ini."

Kasus penanganan mantan Presiden Soeharto ini cukup menarik. Nalar fiqh Presiden Gus Dur sangat kuat dengan model penyelesaian yang optional. Mungkin praktisi hukum belum familiar dengan langkah optional Gus Dur di atas. Namun bagi masyarakat pesantren yang mengenal fiqh iftiradhi (hipotetis/teoritis), langkah Gus Dur yang optional itu tidak mengejutkan. Bahkan Gus mempraktikkan nalar fiqh iftiradhi hingga pada tahapan yang hampir mustahil terjadi, yang tercermin dalam kalimat terakhir dari pernyataannya, “kalau nggak bisa ya dengan cara lain lagi. Kita nggak boleh putus asa dalam hal ini.”

Keempat, Gus Dur satu-satu Presiden Indonesia yang paling rajin mengajak umat Islam untuk beribadah. Beberapa momentum penting yang terjadi di tengah masyarakat direspons Gus Dur dengan mengajak masyarakat mempraktikkan fiqh, meskipun dalam bentuk yang paling sederhana. Misalnya, pada tanggal 4 Juli 2001 saat Jaksa Agung RI Baharuddin Lopa meninggal dunia, Presiden Gus Dur berseru, “secara khusus saya menghimbau umat Islam untuk menunaikan salat gaib.”

Kasus lain saat MPR mulai kencang mempersoalkan, pada tanggal 29 Oktober 2000 Presiden merespons dari Pondok Pesantren Sunan Drajat Lamongan, “saya terkesan nasehat Kiai Abdul Ghofur agar sebagai pemimpin negara senantiasa bersabar dalam menghadapi cobaan.”

Sejak Indonesia merdeka, Islam di negara ini diposisikan sebagai sebuah agama yang terlepas dari negara. Islam diterima sebagai nilai, tidak lebih dari itu. Namun di era Presiden Gus Dur, umat Islam didorong untuk melakukan langkah cerdas agar berkontribusi dalam proses pembangunan hukum positif. Gus Dur mematahkan tesis sebelumnya bahwa negara hanya mengakomodasi hukum perdata Islam. Ide konfederasi yang digulirkan Presiden Gus Dur adalah langkah progresif untuk melakukan penguatan hukum Islam di Indonesia tanpa menimbulkan resistensi.
Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB