Kyai Subchi Bambu Runcing
Cari Berita

Advertisement

Kyai Subchi Bambu Runcing

Jumat, 01 Januari 2016
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Oleh Ahmad Baso

Kiai Haji Subchi – sering juga ditulis Subeki (+ 1855-1959) – adalah pengasuh Pesantren Parakan Kauman, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Kiai sosialis ini dikenal sebagai “kiai bambu runcing” tempat ribuan pejuang kemerdekaan Indonesia di tahun 1945 menimba ilmu, doa-doa dan jampi-jampi untuk senjata mereka sebelum terjun ke medan laga.

Kiai Subchi lahir di Parakan Kauman, Temanggung, sekitar tahun 1850. Kiai Subchi adalah putra sulung KH. Harun Rasyid, seorang penghulu mesjid di desanya, dengan nama kecil Muhammad Benjing. Setelah berumah tangga beliau berganti nama menjadi Somowardojo. Setelah naik haji beliau berganti nama lagi untuk kedua kalinya menjadi Subchi. Ketika masih bayi dalam gendongan ibunya sekitar tahun 1855 beliau dibawa mengungsi dari kejaran tentara Belanda dari satu desa ke desa lainnya. Maklum, waktu itu kakeknya, Kiai Abdul Wahab, putra Tumenggung Bupati Suroloyo Mlangi, Yogyakarta, adalah salah seorang anggota pasukan Pangeran Diponegoro yang ikut dalam Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajahan Belanda.

Sisa-sisa pasukan Diponegoro usai penangkapan sang pangeran di tahun 1830 berpencar di beberapa tempat melanjutkan perlawanan di desa-desa sambil menghindar dari kejaran tentara Belanda. Termasuk kakek beliau yang mengundurkan diri bergerak menyusuri Kali Progo melalui daerah Sentolo, Godean, Borobudur, Bandongan, Secang Temanggung, hingga akhirnya ke Parakan, sebuah persimpangan tapal batas Karesidenan Banyumas, Kedu, Pekalongan, dan Semarang. Daerah dataran tinggi di kaki Gunung Sindoro itu menjadi tempat bertemunya bermacam-macam sisa prajurit Diponegoro dari berbagai daerah. Tidaklah mengherankan jika penduduk Parakan mempunyai unsur kebudayaan yang bercampur antara ketulusan rakyat Banyumas, kesabaran rakyat Kedu, keberanian rakyat Pekalongan, dan keterampilan rakyat Semarang. Karakter kebudayaan seperti inilah yang diwarisi keluarga Kiai Subchi.

Sejak kecil Kiai Subchi dididik oleh ayahnya langsung dalam disiplin keagamaan yang tinggi. Setelah itu beliau nyantri di Pondok Pesantren Sumolangu, Kebumen, Jawa Tengah, di bawah asuhan Syekh Abdurrahman (ayahanda Kiai Mahfudh Somalangu yang terkenal itu).

Untuk menutupi kebutuhan hidup keluarganya, beliau menggarap sawah dan bercocok tanam padi dan beberapa tanaman produktif lainnya. Tidak heran kalau beliau sukses sebagai petani, hingga dikenal kiai yang kaya. Tanahnya ada di mana-mana, terlebih di sekitar Kauman. Tapi kekayaan tersebut tidak membuat beliau kikir. Masyarakat sekitar Parakan juga mengenal beliau sebagai pemurah dan suka membantu orang-orang yang kesusahan. Jiwa sosialnya tinggi. 

Di usia tuanya, tanah-tanah itu diberikan kepada penduduk sekitar yang tidak mampu dalam bentuk kontrak musyarakah atau sistem bagi hasil. Hasilnya dibagi dua antara beliau sebagai pemilik tanah dan pihak penggarap tanah. Kadang hasilnya berupa keuntungan dalam bentuk cash, kadang juga dalam bentuk pembagian tanah. Kiai Subchi memberi keuntungan yang terakhir ini kepada orang-orang yang tidak punya tanah. Inilah ide awal beliau tentang keadilan sosial atau sosialisme. Ini berbeda tajam dari sistem kapitalisme yang melihat manusia dalam dua kategori: majikan pemilik modal, termasuk tanah, dan kaum buruh yang dilepaskan haknya atas tanah.

Menurut Kiai Subchi, tidak ada artinya berbicara kesejahteraan, pemerataan pendapatan atau keadilan sosial kalau warga Indonesia tidak punya alat produksi berupa tanah. Dan tanah itu harus dibagi bersama dengan mempertimbangkan aspek kekeluargaan sesama warga Indonesia. Dari sini kemudian muncul ide tentang tanah berfungsi sosial yang menjadi inti ide sosialisme atau distribusi pendapatan. Dan praktik musyarakah atau bagi hasil yang sudah dikenal bangsa kita sejak berabad-abad merupakan instrumen utama untuk mewujudkan distribusi atau pemerataan pendapatan itu.

Seorang wartawan Amerika yang kemudian menjadi sarjana politik terkemuka, George McTurnan Kahin, dalam memoarnya berjudul Southeast Asia: A Testament (2003), pernah bertemu dengan Kiai Subchi. Mereka berdua berdiskusi tentang tatanan sosial-politik yang adil, termasuk ide sosialisme yang digali dari dalam tradisi pesantren itu. Seperti ide tentang musyarakah – yang kemudian bermetamorfosa menjadi “masyarakat” dalam bahasa kita. Waktu itu Kahin, yang mengkader banyak mahasiswa Indonesia di Cornell dalam ilmu politik, datang bersama Roeslan Abdulgani, menjabat Sekjen Departemen Penerangan, ke Parakan pada minggu pertama Desember 1948. Ide sosialisme Kiai Subchi dan pesantren ini kemudian diwujudkan oleh para pendiri bangsa ini (founding fathers) ke dalam konstitusi negara baru kita dalam Pasal 33 ayat satu: “Perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama atas asas kekeluargaan”.

Setelah Nahdlatul Ulama (NU) berdiri pada tahun 1926, Kiai Subchi lalu ikut mendirikan NU di Temanggung, bersama beberapa kiai lainnya. Beliau menjabat sebagai Rais Syuriyah Pengurus Cabang NU Temanggung, didampingi KH. Ali (pendiri Pesantren Zaidatul Ma’arif Parakan) sebagai wakil rais dan KH. Raden Sumomihardho (ayahanda KH. Muhaiminan Gunardo, wafat 1946) sebagai sekretarisnya. Sementara KH. Nawawi (wafat 1968) bertindak sebagai ketua tanfidziyah pertama. Keempat ulama perintis NU Temanggung inilah yang kemudian dkenal sebagai “kiai-kiai bambu runcing” di masa revolusi kemerdekaan.

Kiai Subchi juga menaruh perhatian besar terhadap kaderisasi anak muda NU melalui Anshor NU (waktu itu disingkat ANO). KH. Saifuddin Zuhri misalnya menginformasikan bahwa sewaktu menjadi instruktur pengkaderan Anshor di Temanggung sekitar tahun 1941, menteri agama di era Sukarno ini menjumpai Kiai Subchi juga ikut mendampingi anak-anak muda NU itu selama kegiatan kaderisasi – meski saat itu usia beliau sudah tergolong sepuh.

Di masa-masa awal revolusi kemerdekaan Indonesia setiap hari ada ribuan pejuang bambu runcing mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka ke front-front pertempuran di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan ada yang datang dari Jawa Barat. Tujuan utama para tamu ini adalah bertemu dengan Kiai Subchi untuk meminta doa dan barakah beliau, termasuk meminta perkenan beliau untuk “menyuwuk” para anggota laskar rakyat yang datang dari berbagai penjuru Tanah Air.

Menjelang pertempuran Ambarawa di bulan Desember 1945, Panglima Divisi V Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kolonel Sudirman –sebelum menjadi Panglima Besar setahun kemudian – juga sempat singgah dari markasnya di Purwokerto ke markas BMT di Parakan dalam perjalanan menuju perang Ambarawa. Beliau sempat sowan dan minta barakah kepada Kiai Subchi. Kiai Saifudin Zuhri maupun Kiai Muhaiminan Gunardo menyebut kedatangan Kolonel Soedirman beserta pasukannya membawa peralatan tempur lengkap. Itu terjadi setelah bawahan beliau, Letnan Kolonel Isdiman, selaku komandan pasukan TKR dalam pertempuran Ambarawa gugur diserang Sekutu pada tanggal 26 November 1945. Komando pertempuran Ambarawa lalu diambilalih oleh tentara kader PETA ini. Mungkin karena keberkahan kiai Parakan ini, konon dalam cerita masyarakat, Jenderal Sudirman setiap kali akan terjun ke medan laga, terlebih dahulu mencari sumur warga untuk mengambil air wudhu.

Peran Kiai Subchi seperti ini kemudian menjadi incaran tentara Belanda. Dalam agresi militer kedua yang dilancarkan Belanda pada Desember 1948, mereka memasuki kota Parakan dan menggebrak rumah beliau. Kiai Subchi sempat menyelamatkan diri dan mengungsi keluar kota bersama beberapa kiai. Namun putra beliau, Kiai Abdurrahman, gugur tertembak setelah melakukan perlawanan. Ia merupakan syuhada pertama sejak Gerakan Bambu Runcing dari Kauman Parakan digelar.

Source: Ahmad Baso

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB