Mashlahah: Orientasi Islam Nusantara
Cari Berita

Advertisement

Mashlahah: Orientasi Islam Nusantara

Duta Islam #02
Sabtu, 23 Juni 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami

Oleh Ayik Heriansyah

DutaIslam.Com - Nusantara menjadi sorotan dunia Islam kontemporer karena menjadi kawasan muslim yang damai, dihuni oleh ratusan juta muslim, menepati daerah tenggara benua Asia yang dilintasi oleh garis khatulistiwa, membentang dari Patani Thailand selatan, semanjung Malaysia, dari Sabang sampai Merauke, Mindanao Filipina Selatan dan Brunai Darussalam di utara Kalimanatan. Di Bandingkan kawasan muslim lainnya, Islam Nusantara relatif stabil dan jauh dari konflik bersenjata. Memang ada sedikit gejolak di Filipina Selatan tapi terlokasir sehingga tidak mengusik ketentraman kawasan secara keseluruhan.

Dari sekian banyak sebaran umat Islam, muslim di nusantara termasuk daerah pinggir sebelah timur jika di lihat dari Arab sebagai pusat agama Islam. Secara kesukuan umat Islam yang mendiami bagian tenggara Asia ini lebih banyak suku bangsanya. Yang terbesar adalah suku Jawa dan Melayu. Di samping itu ada juga suku Aceh, Batak, Banjar, Bugis, Maluku, Rohingya, Sulu, Madura, dll. Karena suku Jawa suku terbesar maka di Haramain sebelum abad 20, pelajar-pelajar dari nusantara disebut al-Jawi oleh guru-guru mereka. Keragaman suku bangsa otomatis menyebabkan keragaman bahasa dan budaya. Namun keragaman suku, bahasa dan budaya muslim di nusantara tidak membawa bencana sosial politik sebagaimana saudara mereka di Arab.

Kedatangan guru-guru agama Islam ke Nusantara menandai masuknya ajaran Islam kemudian menjadi islamisasi Nusantara. Jejak-jejak peninggalan masa awal kedatangan para guru agama itu sulit diindentifikasi karena mereka mengajarkan Islam beriringan dengan aktivitas perdagangan. Carool Kersteen mengatakan: penulisan sejarah Islam di Nusantara memiliki tantangan tersendiri bagi para peneliti: sebelum akhir 1800-an, bahkan bisa dikatakan sampai 1945, Indonesia belum ada. (Carool Kersten’ 2017: 15). Tantangan lainnya, pada periode-periode awal islamisasi Nusantara adalah ketiadaan data mengenai pengalaman keagamaan rakyat biasa. Sampai akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sumber-sumber utamanya terfokus ke penguasa dan ulama. (Carool Kersten, 2017: 20). Khususnya aspek sosial dan pendidikan.kalangan bawah jejak interaksi mereka dengan para guru agama Islam sulit dilacak.

Elitisme guru agama Islam periode awal di Nusantara dapat dipahami karena mereka adalah pedagang yang berhubungan bisnis dengan raja-raja di  Nusantara.  Kala itu raja pengendali semua aspek kehidupan termasuk bisnis, ekonomi dan perdagangan. Bagi para guru agama Islam itu, raja sebagai mitra bisnis sekaligus objek dakwah. Mengislamkan raja sama artinya dengan mengislamkan semua rakyat dalam satu kerajaan. Kemudian terbentuk hubungan guru-murid yang membuat islamisasi bisa menjangkau wilayah geografis yang makin luas. Pada titik ini Islam tampil sebagai kekuatan pengikat yang menyatukan berbagai kelompok masyarakat yang beragam, yang melampaui perbedaan-perbedaan terkait identitas lokal-primordial. (Jajat Burhanuddin, 2017: viii).

Para pembawa Islam ke Nusantara berprofesi sebagai pedagang. Profesi ini menuntut mereka sikap terbuka (inklusif), mudah bergaul dengan semua orang dan suka menebar kebaikan. Sejalan dengan hal itu, berangkat dari tujuan pendidikan Islam adalah menanamkan kebaikan, maka metode terbaik untuk menanamkan kebaikan ialah dengan berbuat baik kepada individu yang dididik. Memberi contoh nyata berbuat baik akan berkesan kuat pada jiwa seseorang. Perbuatan lebih fasih daripada kata-kata.

Karena itu Islam Nusantara berorientasi kepada kemaslahatan manusia dalam penerapan syariah yang merupakan tujuan dari penerapan syariat itu sendiri. Dikenal dengan istilah maqashidu al-syariah. Syariat bukan syariat. Fiqh bukan untuk fiqh. Fatwa bukan untuk fatwa. Syariat, fiqh dan fatwa ditujukan untuk menciptakan kemaslahatan hidup manusia dan alam lingkungan. Kemaslahatan (mashlahah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah prinsip-prinsip pokok (al-kulliyat al-khams), yaitu hifdz al-din (memelihara agama), hifdz al-‘aql (memelihara akal), hifdz al-nafs (memelihara jiwa), hifdz al-maal (memelihara harta) dan hifdz al-‘irdh (memelihara keturunan). (Afifuddin Muhajir, et al, 2015: 63).

Al-Syatibi (w. 790 H), seorang ulama terkemuka bermadzhab Maliki nenandaskan bahwa Tuhan mendesain hukum-hukum-Nya tak lain demi terciptanya maslahah, baik di dunia maupun akhirat. Wujud maslahah itu sendiri terfragmentasi dalam beragam konteks perubahan yang terus bergerak dinamis. (Abu Yasid, 2016: 254). Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang tokoh Islam bermadzhab Hanbali menyimpulkan bahwa syariat Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan-tujuan kemanusiaan yang universal yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan dan kebijaksanaan (al-hikmah). Penghormatan pada nilai-nilai kemanusiaan adalah soko guru hukum Islam, Izzuddin bin Abdi Salam berkata, tercapainya kemaslahatan manusia adalah tujuan dari seluruh pembebanan hukum dalam Islam (innama al-takalif kulluha raji’atun ila mashalih ‘ibad). (Abdul Moqsith Ghazali et al, 2015: 107).

Kemaslahatan mencakup dunia dan akhirat. Keduanya terangkum dalam bingkai syariat. Tapi pada saat yang sama, syariat juga mengakui adanya perbedaan pada cara pengaturan keduanya. Maslahat untuk urusan akhirat mempunyai mekanisme pengaturan yang tidak sama dengan mekanisme pengaturan maslahat urusan dunia. menurut Izzuddin Abdus Salam, kemaslahatan akhirat hanya bisa diketahui melalui dalil-dalil syar’i yakni al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas. Sedangkan kemaslahatan dunia bisa diketahui bersandar pada keadaan dan pengalaman di dunia nyata, adat dan budaya yang bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, maslahat dunia sesungguhnya bisa dirumuskan dan dikelola oleh akal budi manusia sendiri, misalnya melalui local wisdom, adat istiadat dan pengalaman praktis yang dilakukan masyarakat. (Akhmad Sahal et al, 2015: 19-20).

Banyak kaidah fiqh yang mengacu kepada kemaslahatan antara lain;
الضرار يزال
“Kemudaratan harus dihilangkan”
اذا ضاق الا مر اتسع واذا اتسع ضاق
“Dalam kondisi sempit ada kelapangan dan dalam kondisi lapang ada kesempitan”
درء المفاسد مقدم على جلب مصالح
“Menolak kerusakan didahulukan daripada mendatangkan kemaslahatan”

Dakwah Wali Songo mencerminkan beberapa kaidah di atas terutama Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Sunan Kalijaga misalnya sangat toleran pada budaya lokal. Ia berkeyakinan masyarakat akan menjauh jika diserang. Maka, mereka harus didekati secara bertahap. Sunan Kalijaga percaya jika Islam sudah dipahami kebiasaan buruk masyarakat akan hilang dengan sendirinya. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan dan seni suara suluk ketika berdakwah. Dia juga menciptakan baju takwa, perayaan sekaten, grebeg mulud, laying kalimasahada, lakon wayang Petruk jadi raja. Lanskap pusat kota berupa keraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga. (Afifuddin Muhajir, et al, 2015: 68).

Dengan kreativitas para guru agama Islam di Nusantara, maka jangan dipandang sebagai bentuk penyimpangan (bid’ah) karena Islam Nusantara bergerak pada tataran penerapan syariat bukan membuat syariat. Bukan untuk mengubah wahyu melainkan ikhtiar mendialogkan wahyu dengan realitas masyarakat dan lingkungan di Nusantara dalam rangka menemukan konteks yang tepat serta akurat sehingga implementasi syariat mencapai tujuannya sehingga misi ajaran Islam membawa rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil ‘alamin) dapat terwujud.

Islam Nusantara adalah Islam yang khas ala Indonesia, gabungan teologi, hukum dan etika Islam dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan adat istiadat di tanah air. Karakter Islam Nusantara menunjukkan adanya sinergi antara ajaran Islam dengan adat istiadat yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kehadiran Islam tidak merusak atau menantang tradisi yang ada. Sebaliknya,  Islam datang untuk memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada, secara bertahap (tajridi). Pertemuan Islam dengan adat dan tradisi Nusantara kemudian membentuk sistem sosial, lembaga pendidikan (pesantren) serta sistem pemerintahan kesultanan. (Said Aqil Siraj: 2015 dalam Zainul Milal Bizawie, 2016: 3).

Pemahaman tentang formulasi Islam Nusantara menjadi penting untuk memetakan identitas Islam di negeri ini. Islam Nusantara yang dimaksudkan sebuah pemahaman yang bergumul,berdialog dan menyatu dengan kebudayaan Nusantara dengan melalui proses seleksi, akulturasi dan adaptasi. (Abdul Mun’im: 2010 dalam Zainul Milal Bizawie’ 2016: 3). Islam Nusantara adalah Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap masalah-masalah bangsa dan negara. Islam yang dinamis dan bersahabat dengan lingkungan kultur, sub-kultur dan agama yang beragam. Islam bukan hanya cocok untuk orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatif yakni rahmatan lil ‘alamin. (Zainul Milal Bizawie’ 2016: 3).

Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam moderat yang penuh toleransi, Islam yang bisa hidup dalam keberagaman, Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak azazi manusia, sehingga Islam Nusantara dapat menjadi model bagi bangsa lain untuk mengambil nilai-nilai positif di wilayahnya masing-masing. (Lukman Hakim Saifuddin dalam  Zainul Milal Bizawie 2016: xix). Islam Nusantara merupakan model  yang tepat diterapkan pada sebuah bangsa yang majemuk, yang menekankan pada prinsip-prinsip ajaran Islam yang tawasuth (moderat), tawazun (seimbang), tasamuh (toleransi) dan i’tidal (adil).

Penerapan nilai-nilai Islam di Nusantara bisa jadi tidak sama. Ada tradisi yang berbeda di setiap tempat yang menuntut penyesuaian. Islam Nusantara memaknai keberagaman sebagai sebuah kekayaan yang membawa manfaat atau maslahat. Karena itu ketika nilai-nilai Islam tersebut diimplementasikan di ranah lokal, maka akan menunjukkan kekhasannya. Misalnya bagaimana nilai-nilai Islam terkait penyikapan terhadap perempuan. Penghormatan terhadap perempuan  tidak selalu sama bentuk ekspresinya antara satu tempat dengan tempat lain. Penyikapan terhadap perbedaan, bahkan terhadap perbedaan kategori aqidah atau kepercayaan sekalipun, dilakukan dengan mengedepankan toleransi. (Lukman Hakim Saifuddin dalam  Zainul Milal Bizawie 2016: xx). [dutaislam.com/gg]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB