Kiai Mustandji, Ahli Riyadhah yang Membuka Rahasia Kematiannya Sendiri
Cari Berita

Advertisement

Kiai Mustandji, Ahli Riyadhah yang Membuka Rahasia Kematiannya Sendiri

Duta Islam #03
Kamis, 21 Juni 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Add caption
DutaIslam.Com - Bagi masyarakat Desa Errabu Kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep dan sekitarnya nama Kiai Mustandji Yusuf tidak asing didengar. Beliau merupakan Pengasuh Pondok Pesantren Mashlatul Hidayah yang semasa hidupnya kerap menjadi sandaran masyarakat.

Riyadhah yang dilakukannya hampir sepanjang hidup membuat tabir ghaib tersingkap. Beliau pun disebut-sebut sebagai sosok kiai yang memiliki ilmu mukasyafah. Bila ada masyarakat sekitar yang memiliki masalah berhubungan dengan hal ghaib, datang ke Kiai Mustandji menjadi pilihan.

Beliau lahir di Errabu pada tahun 1941 dan wafat pada tahun 2008, setelah puluhan tahun berjuang membesarkan Pondok Pesantren Mashlahatul Hidayah (Baca: Kiai Mustandji: Keturunan Tukang Topeng yang Jadi Kiai, Ahli Tirakat, Diyakini Punya Ilmu Rogosukmo)

Satu dintara banyak hal yang menarik pada kehidupan Kiai Mustadji ialah ilmu mukasyafahnya. Beberapa kali diketahui beliau mengetahui waktu kematian seseorang. Bahkan kematian dirinya diketahui dan diungkapkannya jauh-jauh hari.

Diceritakan, Kiai Mustandji sering melempar candaan kepada istrinya, Nyai Muallimah. Kiai Mustandji bilang Nyai Muallimah akan meninggal lebih dulu daripada Kiai Mustanjdi. Nyai Muallimah membalas candaan sang suami dengan candaan pula. Katanya, bukan Nyai Muallimah yang akan meninggal lebih dulu. Tetapi Kiai Mustandji karena sering-sakit-sakitan.

Kisaran tahun 2000-an saat itu, Kiai Mustandji memang positif menderita kencing manis. Gejalanya sudah ada jauh-jauh hari. Namun, Kiai Mustandji enggan memeriksa penyakitnya secara rutin kepada dokter. Hingga suatu ketika, sakit Kiai Mustandji semakin parah. Sekitar tiga bulan lamanya, kiai tak bisa berjalan. Kakinya bengkak. Kemana-mana kiai harus ditimang oleh keluarga.

Kiai Mustandji akhirnya diopname di rumah sakit Prenduan. Sejak itu, kiai bersedia memeriksakan penyakitnya secara rutin. Pengobatan medis secara optimal kemudian mengusir penyakitnya. Kiai Mustandji sembuh dan bisa beraktifitas seperti sedia kala. Waktu terus berjalan, sembuh dari kencing manis Kiai Mustandji diserang penyakit paru-paru. Penyakit ini ditengarai akibat konsumsi rokok berlebihan. Walaupun pada akhirnya penyakit kiai sembuh setelah mendapat perawatan medis.

Waktu terus berjalan, penyakit kencing manis Kiai Mustandji ternyata kambuh lagi. Sembuh dari sakit paru-paru, penyakit kencing manis menyerang lagi. Kondisi ini kembali mengharuskan kiai cek kesehatan rutin lagi setiap minggu. Putri beliau Nyai Qurrotu Aini mengantarnya ke dokter setiap saat.

Tahun 2001 candaan Kiai Mustandji kepada sang istri jadi kenyataan. Nyai Muallimah dipanggil tuhan lebih awal, sementara Kiai Mustandji masih terus bertahan dengan penyakit yang dideritanya. Nyai Muallimah meninggal dengan penyakit tidak wajar. Ilmu kedoteran tidak dapat mendeteksi penyakitnya. Dibuktikan, ketika dibawa ke rumah saki Pamekasan, pihak rumah sakit angkat tangan angkat tangan. Dokter tidak tahu penyakit Nyai Muallimah karena secara medis kondisi tubuh Nyai Muallimah baik-baik saja. Nyai Muallimah akhirnya dibawa pulang ke Errabu dan  meninggal beberapa saat setibanya dari rumah sakit.

Tiga hari sebelum dirujuk ke Pamekasan, Nyai Muallimah sempat dirawat di rumah sakit Sumenep. Pihak rumah sakit juga tidak mampu mengobati Nyai Muallimah. Kiai Mustandji sempat melarang Nyai Muallimah untuk dirujuk ke Pamekasan. Kiai mengatakan Nyai Muallimah akan meninggal dunia. Kiai mengucapkan itu ketika masih di rumah sakit Sumenep. Namun, Nyai Qurrotu Aini tetap berkeingian agar ibundanya dibawa ke rumah sakit Pamekasan. Akhirnya, kiai nurut saja. Dan ternyata tebakan kiai tidak melesat. Nyai Muallimah meninggal tepat malam Kamis sebagaiman diungkapkan kiai saat itu.

Sejak itu Kiai Mustandji hidup tanpa istri ketiga yang mendampinginya secara langsung. Sedangkan istrinya yang ke empat,  Nyai Mughitsah, tinggal di Moncek Tengah. Kiai Mustandji menjalani hidupnya dengan penyakit kencing manis . Seminggu sekali kiai harus cek kesehatan ke Sumenep. Ketika turun dari angkutan umum lalu naik becak menuju rumah dokter, Kiai Mustandji sering menangis. Kiai sedih, khawatir bila penyakitnya akan dialami putra-putranya kelak. Kiai tidak ingin penyakit tersebut menurun karena memakan biaya banyak. Sekali ke dokter, biaya yang harus di keluarkan rata-rata sampai Rp 700 ribu. Sementara kencing manis masih naik turun, antara 400 hingga 500.

Tahun 2008, penyakit Kiai Mustandji terus memburuk, komplikasi, meskipun tidak begitu tanpak secara fisik.  Tidak hanya kencing manis, paru-parunya juga kembali kambuh. Ditambah penyakit ginjal akibat kurangnya cairan. Kiai kembali diopname di RS. Mohammad Anwar Sumenep. Tiga hari di rumah sakit kiai minta dalam keadaan sakit. Kiai tidak kerasan di rumah sakit setelah ada dua pasien di kamar yang sama. Kiai Mustandji tidak kerasan karena keramaian. Kiai juga tidak tahan dengan oksigen di tubuhnya hingga sering dibuka.

Dokter belum membolehkan kiai pulang karena masih perlu perawatan. Namun, kiai tetap memaksa pulang, bahkan dokternya kena marah. Atas dasar itu kiai akhirnya dipulangkan paksa melalui surat keterangan yang ditanda tangani pihak keluarga. Kiai kemudian menghabiskan hari-harinya di pesantren dengan kondisi sakit-sakitan, namun tetap dengan semangat dan pengabdian tinggi kepada pesantren.

Bulan Sya’ban 1429 H/ Agustus 2018 M, putra bungusnya Kiai Abdin Nuril Mujib wisuda tahfidz Al Qur’an di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo. Kiai memaksa untuk ikut menghadiri wisuda. Kiai sempat dilarang karena kondisinya tidak memungkinkan. Namun, kiai tetap ingin ikut, bahkan tidak masalah jika harus meninggal di Sukorejo.

Masa-masa itu kondisi fisik kiai memang sudah lemah. Kiai juga telah memberikan isyarat akan kematiannya. Hal ini terjadi misalnya menjelang perayaan 50 tahun berdirinya Mashlahtul Hidayah yang berlangsung pada Syawal 1429 H. Dua bulan sebelumnya, persiapan telah dilakukan panitia. Dalam satu kesempatan kiai mengatakan tidak ingin ikut-ikutan dengan persiapan acara. Alasanya karena beliau tidak akan ikut perayaan. Namun, kiai tidak menyatakan dengan jelas alasannya.

Sore hari tanggal 2 Ramadhan 1429 H/2 September 2008, kiai mendatangi kediaman Nyai Qurrotu Aini yang lokasi berdekatan. Kepada Nyai Qurroh kiai tiba-tiba mengatakan bahwa usianya tinggal 17 hari lagi. Nyai Qurrotu Aini terkejut mendengar kata-kata kiai. Perkataan kiai terus terfikirkan oleh Nyai Qurrotu Aini. Sementara kondisi kiai tidak ada perubahan lebih baik, hingga tanggal 17 Ramadhan, kiai sudah lebih sering di tempat tidur dengan kondisi tubuh yang lemas. 

Saat itu santri baru saja libur lebaran setelah penutupan Pondok Ramadhan. Sebelum kembali ke rumah masing-masing, Nyai Qurrotu Aini meminta kepada santri agar sowan kepada kiai. Kepada beberapa santri Nyai Qurrotu Aini mengatakan, jika beruntung maka masih akan bertemu dengan kiai setelah pesantren kembali aktif. Jika tidak, maka tidak akan ada kesempatan lagi untuk bertemu kiai.

Sore hari tanggal 18 Ramadhan 1429 H/18 Sepetember 2018 M, kiai meminta kepada orang-orang di sekitarnya agar tidak berisik. Katanya, ada banyak tamu yang datang. Nyai Qurroh yang tidak tahu tamu yang dimaksud kiai bertanya, siapa tamu kiai. Karena saat itu kondisi pesantren sepi dan tidak ada tamu kecuali pihak keluarga. Namun, kiai hanya meminta diam agar tidak berisik. Berkali-kali kedua tangan diangkat layaknya orang bersalaman dengan tamu sambil berucap “waalaikum salam”. Pihak keluarga yang tidak mengetahui tamu yang dimaksud kiai hanya diam. Kiai juga meminta untuk membaca Al-Qur’an surat yasin.

Dan tibalah pagi harinya, tanggal 19 Ramadhan/19 Sepetember 2008 bertepatan Hari Jumat sekitar pukul 05.35 Kiai menghembuskan nafas terakhirnya. Masyarakat Desa Errabu dan sekitarnya serta beberapa tokoh agama dan pengasuh pesantren di desa sekitar berdatangan mengikuti upacara pemakaman kiai Mustandji di area pesarean keluarga besar Mashalatul Hidayah yang berlokasi di sebelah utara mushalla barat.

Beberapa santri yang sudah pulang ke rumah masing-masing kembali ke pesantren mengikuti prosesi pemakaman kiai. Termasuk santri dari Jember dan Kangean kembali ke pesantren, padahal baru saja sampai ke rumah untuk menikmati libur panjang. [dutaislam.com/pin]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB