Hakikat Ulama Menurut Syaikh Nahrowi, Beda dengan Tukang Ndalil
Cari Berita

Advertisement

Hakikat Ulama Menurut Syaikh Nahrowi, Beda dengan Tukang Ndalil

Duta Islam #03
Sabtu, 02 Juni 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Syaikh Muhammad Irfa'i Nahrowi. Foto: Istimewa.
DutaIslam.Com – Si Anu yang berasal dari kampung sebelah sering kali gagal paham membedakan ulama dan bukan ulama. Asal membela sesama Anu disebutlah ulama. Asal bisa ndalil disebutlah ulama. Suatu ketika gara-gara membela si Anu, Rocky Gerung yang beragama Non Islam juga disebut ulama.

Padahal, penyandang gelar ulama bukan orang sembarangan. Mereka yang menyandang gelar ulama adalah orang yang berilmu dan mengamalkan ilmunya. Ulama juga berbeda dengan khutaba (penceramah). Apa bedanya?

Syekh Muhammad Irfa’i Nahrowi An-Naqsyabandi mengatakan, umat mesti membedakan dengan tegas yang mana ulama dan yang mana sekadar khutaba’ (penceramah). Keduanya jangan sampai dikaburkan.

“Sabda Rasulullah, sebagaimana diperingatankan oleh Sahabat Ibnu Mas'ud RA, "Sesungguhnya kalian sekarang ini pada zaman yang masih banyak ulamanya, sedikit tukang ceramahnya. Dan sesungguhnya setelah kalian akan datang suatu zaman yang banyak tukang ceramahnya dan sedikit ulamanya," ujar Syaikh dalam ngaji sore di Pesantren Qoshrul Arifin Kasepuhan Atas Angin, Cikoneng, Ciamis, dilansir NU Online, Sabtu (02/05/2018)

Syaikh Nahrowi menjelaskan, kedudukan ulama sangat tinggi. Ulama adalah mereka yang takut (yakhsya) kepada Allah. Dan hanya para ulamalah yang takut kepada Allah. Dengan kata lain, hanya orang pandai yang takut kepada Allah.

“Kalau Allah melarang membuka aib orang lain, sedang dia tahu membuka aib itu dilarang, dan dia membuka aib orang lain di muka umum, menghina dan memperolok-olok, bukankah ulama,” katanya.

Lebih lanjut Syaikh mengatakan, ulama adalah pewaris Nabi. Sementara Nabi kita tidak memiliki tutur kata yang fahisy dan tidak pula mutafahisy (keji, jorok dan menyakitkan hati).

“Bisakah orang seperti itu dikatakan ulama?” Mencaci-maki sesembahan selain Allah saja tidak boleh, kenapa mencaci-maki sesama Muslim, sesama anak bangsa?” tanyanya.

Syaikh melanjutkan, seandainya orang yang berkata keji, jorok dan menyakitkan hati dikatakan ulama, maka termasuk dalam ulama apakah mereka. Menurut Syaikh, lebih baik seandainya gelar ulama itu Allah yang memberikannya.

“Mari kita pahami Islam; Al-Qur'an dan Al-Hadits sampai hakikatnya. Jangan sekadar kulitnya saja. Demikianlah agar hati kita tidak keras, sekeras batu bahkan lebih, dan agar kiblat pandang awamul muslimin tepat (tidak salah),” tutur Mursyid Tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah ini.

Syaikh mengajak agar momentum puasa di bulan Ramadhan ini dijadikan sebagai sarana mujahadah untuk memperbaiki diri.

“Kita sempurnakan puasa agar kita termasuk orang muttaqin, orang yang bertaqwa; orang yang terjaga akal bicaranya, terjaga jiwa perasaannya, hati dan perbuatannya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah,” pungkasnya. [dutaislam.com/pin]

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB