Foto: NU Online |
Demikian disampaikan aktivis Gusdurian Savic Ali pada diskusi terbatas yang bertema Optimalisasi Peran dan Sinergi Antarpemangku Kepentingan dalam Penanganan Ujaran Kebencian di Hotel Aryaduta Jakarta, Kamis (15/3) siang.
“Internet ini memang ruang terbuka. Kalau ada yang melakukan hate speech, lihat saja ideologinya. Afiliasi ideologi bisa menjelaskan juga kenapa seseorang melontarkan ujaran kebencian,” kata Savic dalam diskusi terbatas yang diikuti sedikitnya 30 peserta.
Savic Ali menambahkan bahwa pertarungan politik menyumbang besar angka penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Bahkan pelintiran kebencian juga digunakan oleh para elit politik untuk menjatuhkan lawannya.
“Kita bisa mengedukasi masyarakat. Tetapi kalau elit politiknya belum selesai, kita akan selalu kerepotan. Ini efek rivalitas politik,” kata Savic.
Indonesia, kata Savic, lebih baik dari Amerika. Indonesia bahkan jauh lebih baik daripada negara-negara dengan penduduk Muslim lainnya. Rivalitas politik di Amerika bisa memproduksi hoaks dan hate speech luar biasa.
“Parahnya hoaks dan ujaran kebencian bisa mengantarkan seseorang menjadi Presiden Amerika yang sebenarnya bertentangan dengan American values (nilai-nilai demokrasi Amerika),” kata Savic.
Sedangkan faktor lain adalah motif ekonomi. Banyak media yang tidak memiliki reporter. Mereka hanya mempunyai dua atau tiga redaktur. Mereka ambil bahan berita dari sana-sini. Tapi produksi hoaks dan ujaran kebencian yang mereka produksi sangat menghasilkan. Hoaks, kata Savic, tidak selalu mengandung ujaran kebencian. Demikian juga sebaliknya.
Adapun terkait pasukan siber yang mengatasnamakan agama, ia tidak berkeberatan. Menurutnya, dalam koridor demokrasi keberadaan pasukan siber masih bisa dibenarkan.
“Silakan saja berorganisi. Cyber army boleh saja untuk men-defend hak. Tetapi kalau sudah melakukan agresi terhadap kelompok lain, ini masalah,” kata Savic. [dutaislam.com/pin]
source: NU Online