Bagaimana Bersikap Terhadap Hadits Dha'if (Puasa Rajab?)
Cari Berita

Advertisement

Bagaimana Bersikap Terhadap Hadits Dha'if (Puasa Rajab?)

Duta Islam #03
Minggu, 18 Maret 2018
Download Ngaji Gus Baha

Flashdisk Ebook Islami
Foto: Istimewa
DutaIslam.Com - Sebagian orang enggan melakukan amalan (shalat dan puasa) khusus di bulan Rajab karena dasar hukumnya lemah, yakni hadits-hadits dha'if. Tampaknya, keraguan beramal berdasarkan hadits-hadits dha'if disebabkan oleh faktor ketidaktahuan tentang fakta hadits dha'if dan pendapat para ulama seputar pengamalan hadits dha'if.

Hadits dha'if adalah hadits yang kehilangan salah satu syarat dari hadits maqbul (hadits shahih). Tapi hadits dha'if bukan berarti hadits "palsu." Hadits dha'if tetap hadits Nabi Saw yang memiliki derajat lebih tinggi daripada perkataan manusia biasa. Mengaggap hadits dha'if sebagai hadits "palsu" sehingga menolaknya secara mutlak dan atau tidak mau menjadikan sebagai dalil, merupakan tindakan gegabah.

Para ulama berbeda pendapat soal positioning hadits dha'if terkait kehujjahannya di masalah hukum halal haram. Sedangkan untuk  dijadikan dalil amal yang berhubungan dengan fadhailul a'mal, at-Targhib, at-Tarhib, informasi sejarah, keutamaan tempat dan waktu tertentu, jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa hadits dha'if dapat diamalkan. (Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu'Juz 3 hal 226, kitab al-Adzkar hal. 8, kitab Fatawa ar-Ramli juz 4 hal. 383, kitab Mawahibul Jalil lil Khitab juz 17 hal. 1, Syaikh Ali al-Qari dalam kitab al-Hadzdzul Aufar seperti yang disebutkan oleh Imam al-Laknawi dalam kitab al-Ajwibah Fadhilah hal. 36, Imam Ibnu Hajar dalam kitab Syarah Arba'in an-Nawawiyah hal. 32, kitab Fatawa Imam Ibnu Hajar al-Haitami juz 2 hal. 54)

Berkata Imam Suyuthi dalam kitab Tadribur Rawi juz 1 hal. 297: "Diperbolehkan oleh para ahli hadits mempermudah dalam sanad hadits dha'if yang bukan maudhu' dan beramal dengannya tanpa menjelaskan kedha'ifannya dalam hal yang bukan berkenaan dengan sifat-sifat Allah ta'ala.

Pendapat Fuqaha Keempat Madzhab
Dalam kitab I'lamul Muwaqqi'in juz 1 hal. 31 disebutkan bahwa Imam Abu Hanifah mendahulukan hadits dha'if daripada qiyas. Salah satunya beliau melarang tertawa (qahqahah) dalam shalat di mana hadits tentang qahqahah merupakan hadits dha'if.

Imam Syafi'i juga mendahulukan hadits dha'if daripada qiyas pada kasus bolehnya shalat di waktu -waktu yang diharamkan shalat. Imam Malik juga mendahulukan hadits mursal, munqathi, balaghat dan qaul sahabat daripada qiyas.

Diriwayatkan dalam kitab Fathul Mughits juz 1 hal. 72 bahwa Imam Ahmad bin Hanbal menyuruh seseorang yang berada di suatu negeri yang tidak ditemukan selain ahli hadits, maka tanyalah ahli hadits jika ada suatu masalah. Karena terlalu beresiko jika menggunakan ra'yu, sebab itulah beliau mengungkapkan bahwa 'hadits dha'if lebih aku sukai ketimbang ra'yu'".

Kehujjahan hadits dha'if juga diungkapkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Ibthalul Qiyas hal. 68 dan kitab Ihkamul Ahkam, Imam Ibnu Abdil Baar dalam kitab at-Tamhid juz 16 hal. 218, juz 24 hal. 290, Imam al-Harwi dalam kitab Dzimmul Kalam juz 1 hal. 179, Imam Ibnu Abdil Hadi dalam kitab Tanqih at-Tahqiq hal. 357

Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu al-Fatawa juz 1 hal. 251 mengatakan : barangsiapa yang menukil dari Imam Ahmad bahwa sesungguhnya ia berhujjah dengan hadits dha'if, bukan dengan hadits shahih atau hasan, maka ia telah keliru." Pernyataan Ibnu Taimiyah tidak sesuai dengan fakta karena kategori hadits hasan baru muncul pada masa Imam Tirmidzi. Imam Ahmad membagi hadits dengan dua jenis yaitu shahih dan dha'if. Jadi ungkapan Imam Ahmad bin Hanbal lebih baik berhujjah dengan hadits dha'if daripada ra'yu, hadits dha'if yang dimaksud adalah keseluruhannya baik yang terkategori "hasan" maupun dha'if. [dutaislam.com/pin]

Keterangan:
Diringkas dari buku Hukum Menganalkan Hadits dha'if karya Ustadz Erwin As-Sundawi 

Jual Kacamata Minus

close
Iklan Flashdisk Kitab 32 GB